Langsung ke konten utama

Minuman buat Para Penyair

Gunawan Maryanto

Sederhananya, manusia terdiri dari 3 jenis: penyair baik, penyair buruk, dan bukan penyair. Dan ini semua memang bermula ketika dunia masih begitu sederhana. Ketika dua elang raksasa saling berkejaran di langit yang masih begitu muda.

Perang besar antardewa baru saja selesai atau mesti diselesaikan. Jika tidak perang, itu tak akan selesai dan Anda tak akan bisa membaca cerita ini, hari ini. Kaum Aesir, rombongan dewa- dewa yang galak, keras kepala, dan suka berperang, melawan para Vanir, dewa-dewa yang lembut hati, senang bersahabat, penyubur tanah dan tanaman.

Aesir biasanya dengan mudah—kadang juga tidak mudah—mengalahkan lawan-lawannya: para raksasa, serigala, naga, juga dewa-dewa lain. Tapi, tidak kali ini. Berhadapan dengan dewa pujaan para petani dan pencinta lingkungan, mereka akhirnya memilih berdamai. Bukan karena mereka tidak suka berperang lagi. Tapi, mereka butuh kemenangan. Atau kekalahan.

Perang tanpa kemenangan atau kekalahan seperti malam panjang yang tak berkesudahan. Malam panjang tanpa bulan—karena bulannya sudah dimakan serigala Fenrir—yang jika terus ditempuh hanya akan mengantarkan mereka kepada Hel. Neraka bagi mereka yang mati biasa-biasa saja.

Mereka tentu tak bisa membayangkan betapa membosankannya menemani Hel di dalam purinya yang gelap. Menemani putri Kegelapan itu makan malam menghabiskan makanan dalam mangkuk Kelaparan yang tak bakal bisa habis.

Vanir ternyata tak bisa dikalahkan, juga tak bisa mengalahkan mereka. Jadi, para Aesir memilih untuk berdamai. Dan kemudian mencari musuh lainnya—jalan yang akan membawa mereka menuju Valhalla, surga bagi para pejuang. Surga yang akan membuat mereka kembali bertarung dari hari ke hari. Bukan makan malam abadi bersama Hel.

Perdamaian itu diwujudkan dengan mengumpulkan ludah seluruh dewa yang bertarung dalam sebuah guci. Lalu mereka menggelar pesta besar. Thor, dewa petir dari Aesir, membawa ketel raksasa untuk membuat bir. Ketel itu dulu didapatkannya dari raksasa Hymir lewat sebuah perjuangan antara hidup dan mati tentu saja. Lain kali saja ceritanya. Sekarang mereka tengah berpesta dan bertarung lagi karena mabuk. Beberapa tanpa sengaja mati tertusuk pedang dan pergi ke Valhalla. Tapi, ada juga yang ke Hel karena mati tersedak makanan atau kebanyakan minum lalu jatuh ke jurang.

Di ujung pagi sebelum mereka bubar dan kembali ke kahyangan masing-masing, Odin, sang Maha Bapa, dewa para dewa, dewa yang pernah menggantung dirinya di pohon Kehidupan, meniupkan api kehidupan ke dalam guci yang penuh ludah Aesir dan Vanir. Maka terjadilah yang harus terjadi, sesosok dewa tampan keluar dari dalam guci. Dialah Kvasir, dewa setengah Aesir setengah Vanir, lambang dari perdamaian mereka. Di kemudian hari, orang-orang akan mengenangnya sebagai dewa Penyair, dewa perpaduan antara kepala dan hati—kepala Aesir dan hati Vanir.

Para dewa berkerumun untuk mendengarkan kata-kata indah yang muncul dari mulut Kvasir. Tak pernah sebelumnya mereka mendengar puisi-puisi yang indah seindah puisi Kvasir.

Odin tersenyum karena mendapat hadiah sebuah puisi panjang yang menyebut seluruh namanya. Freya menangis mendengar puisi-puisi cinta tak berbalas. Bulu kuduk Thor meremang mendengar Kvasir mendendangkan balada kepahlawanan. Tapi, para dewa mesti kecewa karena Kvasir akan pergi. Ia memutuskan tak akan tinggal bersama mereka.

”Aku akan berkelana ke sembilan dunia. Aku ingin melihat segalanya. Dan menuliskannya. Aku akan sesekali kembali dan membacakan puisi-puisiku. Tapi, begitulah. Aku tak punya rumah. Rumahku seluruh dunia.”

Para dewa melepas kepergian Kvasir. Sebuah puisi perpisahan tercipta. Puisi terindah yang pernah ada.

Demikian Kvasir mengembara ke banyak dunia dan membuat ribuan puisi dari sana. Puisi-puisi itu pun mengembara lebih jauh, lebih luas lagi dari Kvasir. Kehadirannya selalu ditunggu oleh semua penghuni dunia. Juga oleh kematian.

Odin cemas. Kvasir sudah lama tak mampir dan membacakan puisi-puisinya. Semenjak Kvasir hadir di dunia, semua dewa keranjingan puisi. Bahkan, Loki yang tak punya hati pun mencoba menulis puisi untuk para perempuan yang digandrunginya. Tapi, tetap saja tak ada yang bisa menulis seindah dan sedalam Kvasir. Maka ketika berbulan-bulan Kvasir tak mampir ke Asgard, Odin jadi gelisah.

Maka, ia pun pergi mencari jawab. Mengenakan jubah pengembara dan topi besarnya, Odin menelusuri setiap jalan yang mungkin ditempuh Kvasir. Ia ditemani sepasang burung gagaknya, Huggin dan Munnin—si Pikiran dan si Kenangan. Mereka bertengger di setiap bahu Odin. Dari keduanyalah Odin dengan cepat menemukan sepasang kurcaci jahat, kakak-beradik Fjalar dan Galar.

Di sebuah puri di tepi laut yang sekaligus adalah bengkel kerja, Fjalar dan Galar menerima kedatangan Odin. Fjalar dan Galar tak bisa mengelak bahwa di puri itulah terakhir kali Kvasir menampakkan dirinya. Tapi, sepasang kurcaci jahat yang mahir membuat minuman fermentasi dari buah apa pun itu tak mengakui perbuatan mereka yang sesungguhnya.

Mereka hanya bilang bahwa Kvasir telah mati—karena kebanyakan minum fermentasi buah berry dan terlalu sedih mendengar puisi buruk Fjalar dan Galar—dan mereka melarungnya ke laut. Odin tak percaya begitu saja. Kedua kurcaci buruk ini pasti telah mengarang cerita untuk menutupi kejahatan mereka. Satu-satunya yang ia percaya adalah Kvasir telah mati.


Tapi, Odin memutuskan untuk pulang ke Asgard. Kedua kurcaci itu bernapas lega. Mereka mengira Odin telah berhasil mereka kibuli. Mereka lupa bahwa Odin telah merelakan sebelah matanya di sumur Mimir demi bisa minum seteguk air dari sumur pengetahuan itu. Seteguk saja dan ia menjadi tahu segalanya meski hanya dengan satu mata yang tersisa. Odin memang melangkah pulang. Tapi, tidak dengan sepasang gagaknya. Huggin dan Munnin bertengger di sebatang pohon tak jauh dari puri Flajar dan Galar.

Di Asgard, dengan sedih Odin mengabarkan kematian Kvasir. ”Tapi, Kvasir tak akan mati sia-sia. Puisi-puisi terbaik akan terus lahir dan dituliskan hingga Ragnarok tiba.” Ia mengangkat gelasnya diikuti oleh dewa-dewa lain. ”Untuk Kvasir dan puisi-puisinya!”

”Untuk Kvasir dan puisi-puisinya!”

Sementara para dewa mabuk dalam perayaan kematian Kvasir, Odin menyelinap ke dalam kamarnya. Ia menangis dalam diam. Menangis dengan satu mata. Kematian Kvasir adalah puisi tanpa kata yang begitu menyakitkan seperti lembing yang pernah tertancap di pinggangnya dulu ketika puisi-puisi belum lahir. Ia tak tahu bahwa di tempat yang gelap, di tepi sumur Mimir di mana para raksasa berkuasa, bola matanya juga bergetar dan berair. Duka Odin tampaknya telah menempuh perjalanan yang jauh.

Sebulan telah lewat saat Huggin dan Munnin akhirnya kembali ke bahu Odin. Lalu bergantian mereka berbisik di telinga kanan dan kiri Odin, menyampaikan hasil pengintaian mereka. Cerita mereka saling sambung dan saling melengkapi satu sama lain seolah diciptakan oleh seorang pengarang ulung.

Beginilah cerita mereka:

Fjalar dan Galar sengaja mengundang Kvasir ke rumah mereka begitu tahu sang Dewa Penyair itu tengah berkunjung ke kota mereka. Sebagai penyair yang waskita, Kvasir tahu kematian tengah menjemputnya. Karena itu, ia diam saja saat Fjalar dan Galar mengikat dan menyeretnya ke dapur. Bahkan, ia masih sempat menciptakan puisi tentang kematiannya sendiri saat Galar menyembelihnya pelan-pelan, sementara Fjalar menadah darah sang Penyair dengan baskom. Kedua kurcaci itu kemudian menggantung kedua kaki Kvasir ke atas untuk menyadap darahnya hingga tetes yang terakhir. Selanjutnya mereka membuang mayat Kvasir ke laut—mereka tak berbohong tentang itu.

Di dapur, darah Kvasir ditampung ke dalam 2 panci besar bernama Son dan Bodn. Selanjutnya di periuk Odrerir, mereka mencampur darah itu dengan air dan madu, mengaduk dan memasaknya hingga menggelegak. Setelah gelegak hilang, mereka memasukkan ragi dan buah berry yang telah dipotong-potong kecil.

Setelah proses memasak selesai, mereka menuang ramuan itu kembali ke dalam kedua panci besar dan menutupnya rapat-rapat. Sebulan kemudian, kedua kurcaci itu mencicipi minuman fermentasi ramuan mereka. Masing-masing sesendok makan. Tak lama, Fjalar dan Galar sudah menciptakan masing-masing sebait puisi. Puisi yang telah lama ingin mereka ciptakan, tetapi tak kunjung bisa. Puisi dari dalam hati yang telah terpendam sekian lama.

Demikianlah. Setiap kali ingin membuat syair, mereka minum fermentasi darah Kvasir. Tapi, kedua kurcaci ini selain licik dan jahat, juga dikenal sebagai kurcaci yang pelit. Mereka tak mau membagi minuman ajaib mereka ini kepada banyak orang. Mereka tak ingin puisi-puisi indah mereka tersaingi.

Hanya dengan sahabat-sahabat dekatnya di mana mereka pernah berutang nyawa mereka mau berbagi. Salah satunya adalah raksasa bernama Gilling. Suatu kali, Gilling dan istrinya datang berkunjung. Fjalar dan Galar menyambutnya dan membiarkan mereka mencicipi minuman itu sehabis makan siang. Adu pantun pun terjadi tak lama kemudian. Gilling dan istrinya banyak menciptakan pantun jenaka yang membuat siang itu terasa begitu menggembirakan.

Sorenya, Flajar dan Galar mengajak sepasang suami istri itu memancing ke tengah laut. Mereka pun segera berangkat naik perahu. Flajar dan Galar yang mengayuh. Tapi, lantaran berat Gilling dan istrinya yang berlebih, perahu itu pun pelan- pelan tenggelam. Flajar akhirnya mendorong Gilling, sementara Galar mendorong istrinya ke laut sebelum perahu itu benar-benar tenggelam. Mereka selamat, tapi tidak dengan sepasang raksasa itu.

Sepasang kurcaci itu pun menutup hari dengan sebuah puisi panjang yang menceritakan kematian raksasa Gilling dan istrinya. Puisi tragedi yang indah itu pun segera tersiar ke seluruh penjuru dibawa oleh para pejalan, pedagang, pengembara, dan aktor-aktor keliling. Hingga pada suatu hari sampailah puisi itu di telinga Suttung, anak raksasa Gilling. Suttung dan Baugi, adiknya, segera menuju rumah Flajar dan Galar untuk menuntut balas.

Tidak susah untuk meringkus sepasang kurcaci jahat, apalagi bagi raksasa seperti Suttung dan Baugi. Mereka membawa kurcaci tawanan mereka itu ke tengah laut. Suttung hendak menenggelamkan para pembunuh itu sebagaimana mereka dulu menenggelamkan kedua orangtuanya. Flajar dan Galar menangis sepanjang perjalanan.

Keduanya berusaha membujuk Suttung dan Baugi untuk mengampuni mereka. Mereka menjanjikan harta benda yang tak ternilai harganya. Suttung dan Baugi tertawa. Mereka tak butuh harta benda. Kekayaan mereka berlimpah dan tak kurang suatu apa. Flajar dan Galar tidak menyerah, mereka terus berusaha membujuk hingga akhirnya menawarkan minuman fermentasi Kvasir. Suttung dan Baugi saling pandang. Mereka tidak segera mengiyakan. Mereka hanya saling pandang sambil terus mengayuh perahu mereka ke tengah lautan.

Sampai di sini cerita Gunnin dan Munnin berhenti.

”Lalu di mana minuman fermentasi Kvasir itu sekarang?”

Sepasang gagak itu menggeleng. ”Bisa di mana saja,” kata mereka. ”Di titik ini, kami kehilangan lacak. Mungkin masih di tangan Suttung dan Baugin. Tapi, kami dengar Suttung dan Bagui tak akur lagi. Ada yang bilang minuman itu dikuasai oleh seorang raksasa perempuan bernama Gunnlod. Dia anak dari Gilling. Dia tinggal di Gunung Hnitbjorg. Tapi, di luar sudah banyak beredar minuman fermentasi Kvasir tiruan. Siapa yang meminumnya juga akan mabuk dan mencipta puisi. Tapi, puisi-puisi yang buruk. Kita bisa melacak keberadaan minuman dari darah Kvasir itu melalui penyair-penyair yang baik.”

Odin segera mengenakan jubah dan topi besar penyamarannya. ”Kita menuju Gunung Hnitbjorg!”

Cerita tak berakhir di sini. Perebutan atas minuman fermentasi Kvasir terus berlanjut. Bahkan sebagian orang percaya minuman itu masih ada hingga hari ini. Tersimpan di tempat-tempat yang rahasia dan hanya dimiliki oleh para penyair pilihan. Sebagaimana Flajar dan Galar, mereka tentu tak ingin membagi minuman ajaib itu. Apalagi untuk seorang penulis rendahan semacam saya. Tapi, malam ini, saya ingin bertamu ke rumah seorang penyair kawakan yang puisi-puisinya saya kagumi. Saya membawa sebilah pisau untuk berjaga-jaga.


Catatan:
Diolah dari mitologi-mitologi Nordik.


Gunawan Maryanto, lahir 10 April 1976 di Yogyakarta. Ia salah satu aktor dan sutradara di Teater Garasi Yogyakarta. Buku kumpulan cerpennya, Bon Suwung 2005, Galigi (2007), Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2008), serta Usaha Menjadi Sakti (2009).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...