Langsung ke konten utama

Hujan yang Hangat

Tedy Heriyadi


Hujan seperti inilah persis di saat kau terlahir ke dunia ini dengan tangisan yang membentuk paduan suara bersama gemercik air yang jatuh. Dalam tangis, kau merasakan kehangatan ketika hujan dalam pangkuan ayahmu yang berbisik tepat di samping telinga kananmu.”Varsha Agnimaya.”

Kutulis surat ini ketika jatuhnya bulir-bulir hujan ke bumi. Doa pun tak lewat kusampaikan kepada tuan semesta agar kau selamat sentosa. Kau akan menjadi perempuan yang berjasa bagi masyarakat dan bisa menghangatkan suasana hati seseorang yang dingin, termasuk aku sekarang. Hatiku dingin. Aku ditemani oleh sepi yang dingin. Apalagi kini hujan semakin mendinginkan hatiku dengan kesepian yang dingin. Dinginku bertambah dingin.

May!

Hanya dengan mengingatmu saja hatiku hangat dan damai. Aku bisa tersenyum membayangkanmu meski saat hujan dan sepi seperti sekarang. Mungkin akan lebih manis apabila kau kupeluk menjelang tidur malam.

Aku ingin memelukmu sambil bercerita dongeng atau kisah-kisah masa lalu atau mungkin cerita-cerita legenda yang sering kudengar dari guruku sejak aku masih siswa sekolah dasar. Kita tertawa bersama. Melihat ke luar jendela dan menghitung jumlah bintang di langit ketika malam hari. Selalu kupanjatkan doa agar kau diberi keselamatan di mana pun kau berada. Hingga pada akhirnya kita bisa bertemu dan mewujudkan kejadian yang kuceritakan tadi.

Dengan doa-doa yang selalu kupanjatkan demi keselamatanmu, aku yakin sekarang kau telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Meski hingga saat ini aku belum tahu pasti wajahmu seperti apa saat remaja. Minggu lalu aku sengaja berseluncur di media sosial. Kucari nama Varsha Agnimaya di Facebook. Lalu, kutemukan foto gadis remaja cantik yang masih memakai seragam SMA. Berkulit putih, rambut lurus terurai, mata yang bulat, dan senyuman yang berseri. Kuyakin itu dirimu.

Pasti banyak laki-laki remaja yang menyukaimu. Mungkin tak jarang ada laki-laki yang langsung menyatakan cinta padamu. Seperti ayahmu dulu. Dia memiliki paras yang tampan serta postur badan yang ideal, tentunya idaman para kaum hawa. Selain tampang yang begitu sempurna, sifatnya yang ramah membuat banyak juga perempuan yang terpesona. Bahkan, ada juga yang sangat tergila-gila oleh ayahmu.

Dia tidak memedulikan perempuan-perempuan itu. Ayahmu lebih memilih aku untuk menjadi teman hidupnya. Tepat di bawah guyuran hujan aku dan ayahmu menjalani hubungan. Waktu itu, dia memberikan sebatang cokelat yang dibungkus dengan kertas kado berwarna ungu dan pita merah muda. Ayahmu adalah orang yang sangat romantis. Akibat kejadian itu, banyak perempuan yang patah hati melihat atau mendengar kisah kami berdua.

Aku selalu mendampinginya ke mana pun dia pergi hingga aku mempunyai perasaan takut kehilangan. Dia selalu menjagaku seperti sebuah tembok yang selalu membuntutiku ke mana pun aku pergi. Tak pernah sedikit pun dia membuatku kecewa. Entah mengapa aku selalu bahagia bersamanya. Bahkan di saat badai pun aku masih bisa tersenyum dan tertawa jika bersamanya. Ayahmu benar-benar pria idaman wanita.

Hal yang aneh atau perilaku yang tak lazim orang-orang lakukan telah kami lakukan bersama. Ayahmu romantis. Dia mau saja bertingkah aneh bersamaku di hadapan umum. Dunia serasa milik kami berdua. Tidak memedulikan cibiran orang-orang sekitar yang disertai pandangan-pandangan mata yang sinis. Mereka hanya orang-orang yang iri terhadap hubungan kami.

Ayahmu juga pandai merangkai kata. Bukan rayuan yang dia ucapkan, melainkan sebuah kalimat yang menginspirasi hidup semua orang. Dulu waktu kami berkencan di sebuah taman pusat kota, ayahmu pernah mengucapkan kalimat yang memang sedikit membuatku bingung.

”Tuhan itu Maha Membolak-Balikkan. Maka ada kalanya rusa akan memangsa harimau.”

Saat itu aku hanya bisa mengerutkan dahi dan hanya tertawa kecil saja.

Aku tidak terlalu mengerti apa yang dikatakan ayahmu itu. Tapi, sekarang aku baru mengerti. Menurutku, kalimat itu memiliki arti bahwa Tuhan Maha Pengatur segalanya. Mungkin ungkapan itu sudah kamu dengar juga dari ayahmu. Kata-katanya begitu indah, bukan? Ada bukti lain selain itu, namamu juga bagus untuk ditulis ataupun diucapkan.

Satu tahun lebih tujuh bulan usia hubungan kami, kami berniat untuk saling berkenalan dengan orangtua masing-masing. Saat itu aku bingung, aku anak yatim. Aku hanya tinggal bersama ibuku, itu pun dengan komunikasi yang kurang baik. Aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya terjadi antara aku dan ibuku. Aku menyarankan untuk menemui orangtua ayahmu dulu.

Ketika aku bertemu dengan orangtua ayahmu, bukannya bahagia yang aku dapatkan. Saat itu mereka memakiku dan memaki ayahmu. Mereka tidak merestui hubungan kami. Ayahmu berkeras untuk melindungiku dari lontaran kemarahan yang meledak-ledak. Namun, itu tidak bisa membendung amarah orangtua ayahmu. Bentakan demi bentakan yang keluar dari mulut orangtua ayahmu hampir meledakkan gendang telingaku. Kata-kata kasar juga satu tamparan keras tepat di wajah ayahmu membuat aku tidak tahan lagi untuk meluapkan air mataku.

”Dasar anak tak tahu diri!”

Kudengar kalimat itu dengan suaranya yang menghapus keheningan disertai ayunan tangan yang kencang menabrak pipi kanan ayahmu.

”Kami membesarkanmu bukan untuk bercinta dengan dia!”

Terdengar lagi kalimat yang keras dan kulihat lemparan-lemparan barang ke arah ayahmu.

”Dan kau! Sampai kapan pun tak akan pernah bisa mendekati anakku. Karena kau manusia tak berguna!”

Kalimat itu terdengar jelas ke telingaku dan langsung merambat cepat ke dalam hatiku. Tak lewat dengan telunjuk yang tepat di depan mataku.

Aku langsung berlari keluar dari rumah ayahmu. Saat itu sedang hujan, aku tidak membawa payung. Semula setiap hujan datang selalu kurasakan kehangatan dan kedamaian, kini berbalik menjadi dingin dan menyakitkan. Dengan terpaksa aku pulang diterpa jarum-jarum hujan yang selalu menusuk-nusuk kepalaku. Air mataku juga sudah larut dengan hujan. Suara petir yang begitu tajam tak setajam kalimat yang dikatakan orangtua ayahmu. Dingin. Aku kesepian.

Di sepanjang waktu menikmati kesendirianku, aku selalu mendoakan ayahmu. Lalu, aku menerima kabar dari teman ayahmu di gym bahwa dia akan menikah dengan seorang perempuan dalam waktu dekat. Hatiku terpukul. Jarum-jarum hujan kini menancap di dalam hati dan air mataku meluap lagi.

Aku sengaja tidak mau datang ke acara pernikahan ayahmu. Sakit. Lebih baik aku menikmati kesendirianku saja. Hingga akhirnya aku memiliki sebuah toko cokelat di pusat kota. Tapi, tak bisa kumungkiri bahwa aku selalu ingin tahu bagaimana kabarmu dan kabar ayahmu.

Dua tahun sudah aku menjalani bisnis cokelat ini. Ketika aku sedang menghitung jumlah cokelat, ada pelanggan yang berkunjung. Pelanggan itu seorang pria yang bajunya sedikit basah karena di luar sedang hujan. Dia menggendong bayi yang amat menggemaskan. Mata bayi itu berbinar-binar. Pria itu juga tersenyum melihatku. Aku hanya bisa diam tanpa berkata-kata setelah kutahu bahwa itu ayahmu. Ayahmu menyuruhku untuk menggendong bayinya yang tak lain adalah kamu.

”Ayo, kau harus menggendong dia!” suruh ayahmu.

Ini hal pertama kalinya aku menggendong bayi. Aku merasa menjadi seorang ibu seutuhnya. Ketika aku menggendongmu, ada kehangatan yang terasa—merasuk ke dalam jiwa. Sampai saat ini aku masih ingat harum dirimu saat masih bayi. Hatiku yang dingin seketika menjadi hangat ketika kulihat kau tertawa melihat wajahku. Aku tak bosan melihatmu tertawa. Kugelitiki perutmu hingga kencing. Kubantu ayahmu untuk menggantikan popokmu yang bau pesingnya masih kuingat sampai saat ini.

Kuciumi juga pipimu yang menggemaskan itu. Kemudian kita menyempatkan untuk foto bersama. Dalam foto itu kau tersenyum ketika kugendong. Dingin yang kurasakan lenyap digilas kehangatan dari tubuhmu. Setelah kejadian itu, kita sudah tidak pernah bertemu lagi hingga sekarang.

Aku sadar dan bersyukur karena pernah berhubungan dengan ayahmu. Hubungan kami sangat berarti bagiku untuk memperbaiki diri. Terlalu banyak kebaikan yang diberikan ayahmu. Maka, aku yakin kamu juga orangnya baik seperti ayahmu. Perkataan ayahmu bahwa Tuhan Maha Membolak-balikkan telah kualami.

Mungkin peristiwa yang pernah kami alami dulu disebabkan oleh diriku yang belum baik. Namun, sekarang hidupku jauh lebih baik. Apalagi mengetahui kabar bahwa dirimu juga baik keadaannya lewat balasan surat ini. Ayahmu pasti mengajarkan berbagai kebaikan yang harus dilakukan sepanjang hidupmu.

Itulah yang ingin kuceritakan saat ini padamu. Aku ingin berbagi pengalamanku dengan ayahmu dulu. Karena aku menyayangimu seperti anak sendiri meskipun kita belum pernah bertemu. Atau mungkin saja kita pernah bertemu hanya saja tak saling sapa.

May!

Terakhir kupesankan padamu, janganlah sekali-kali mengecewakan ayahmu. Ayahmu terlalu baik untuk merasakan kecewa dan sedih. Selain itu, jagalah ayahmu bila sudah tua nanti. Hangatkanlah dia dengan pelukanmu yang penuh dengan kasih sayang meski hujan dan salju masih bisa mampir ke bumi. Jarum-jarum hujan akan terus menusuk-nusuk hati seseorang yang kecewa. Maka, sekali lagi aku ingatkan padamu jangan sesekali mengecewakan ayahmu.

Jangan lupa sampaikan salamku kepada ayahmu dan katakan bahwa dialah laki-laki terbaik yang pernah kumiliki. Kebaikannya telah mengubah hidupku menjadi lebih baik lagi. Kau akan banyak belajar tentang hidup dan kehidupan dari ayahmu. Kuharap kau bisa membalas suratku ini atau paling tidak menghubungiku ke nomor telepon yang sudah kutulis di ujung surat ini.

Aku juga menuliskan alamat toko cokelat milikku. Kau bisa datang ke sana untuk mendapatkan cokelat yang kau inginkan. Nanti akan kuberikan sebatang cokelat dengan bungkus kado warna ungu dan diikat pita merah muda. Kabari aku kalau kau mau berkunjung ke sana.

Aku yakin, ayahmu masih menyimpan foto kita bertiga. Kau pasti sudah melihatnya. Di foto itu kau akan melihat wajah ayahmu yang tersenyum manis. Berbagai kebaikan bersinar dari senyumnya itu. Dan akulah yang menggendongmu itu—seorang pria yang mungkin sebelumnya kau mengetahui diriku sebagai sahabat dekat ayahmu.



Tedy Heriyadi lahir di Bandung pada 22 Juli 1992. Bekerja sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung. Bergiat di Saung Sastra Lembang. Tercatat sebagai alumni Kelas Cerpen Kompas 2018, alumni kelas menulis Mediaberkarya 2018, dan alumni kelas menulis puisi bersama Joko Pinurbo dalam acara Kampung Buku Jogja #4 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...