Mashdar Zainal Ayahku sebuah mercusuar di dekat dermaga. Mercusuar tua bertubuh jangkung, berkemeja putih, dan bertopi coklat tahi karat. Ketika malam sorot matanya masih bekerja dengan baik, menyala dan menelanjangi semesta pantai: kapal-kapal yang berayun di tepi dermaga, para nelayan berkalung sarung yang sibuk membetulkan mesin, sepasang kekasih yang duduk saling merapat di sebuah bangku panjang, seekor kepiting yang kehilangan ibunya—yang merangkak gegas meninggalkan garis-garis tipis di atas pasir. Ayahku sebuah mercusuar di dekat dermaga. Kakinya tak pernah mengenakan alas. Hanya menapak bebas di atas batuan cadas. Anak-anak kepiting dan binatang-binatang kecil tanpa nama selalu suka bersembunyi di bawah kakinya. Menggelitikinya sepanjang waktu. Namun ayah tak pernah tertawa, alih-alih beranjak dari tempatnya. Karena ayah adalah sebuah mercusuar. Dan sebuah mercusuar harus menyepakati dua sumpah, yang pertama ia harus teguh berdiri di tempat yang ditentukan, dan kedua i...