Wawan Kurniawan
Dia tidak akan meneguk racun itu bila peristiwa kemarin tak terjadi. Seminggu sebelumnya, di dalam mimpinya– seorang perempuan berbaju merah dengan rambut panjang sebahu datang menghampirinya di sebuah tepi pantai yang asing baginya. Tanpa sempat melihat wajahnya dengan jelas, perempuan itu langsung memeluknya dari belakang. Begitu erat hingga tulang-tulangnya serasa ingin remuk.
Saat mendengar bunyi retak disertai kesakitan yang tak terkira, barulah dia terbangun.
Dilihatnya jam dinding masih menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh dua menit. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar. Dia putuskan untuk kembali memejamkan mata dan sama sekali tak mengingat apa yang terjadi di mimpinya. Tapi rasa sakit di bagian belakangnya terasa hingga dia harus beberapa kali mengubah posisi tidurnya.
Dia berhasil tidur dan bangun pada pukul sepuluh pagi. Biasanya, dia bangun di siang hari setelah begadang menerjemahkan beberapa naskah yang ada di laptopnya.
Rasa sakit di bagian belakangnya, membuat dia bangun lebih pagi. Meskipun tidurnya sudah terganggu saat dini hari. Dia mencoba mencari kemungkinan penyebab sakit itu.
”Mungkin posisi tidur saya yang bermasalah.”
”Tunggu, mungkin juga karena terlalu lama duduk bekerja.”
”Tidak, sepertinya karena semalam saya kurang minum air.”
Di antara kemungkinan yang dia pikirkan, tak sedikit pun terbesit di kepalanya tentang mimpi itu.
Sembari memikirkan sakitnya, dia teringat janjinya pada Eka, pemilik penerbit yang hendak mencetak terjemahannya. Sudah dua kali dia meminta perpanjangan waktu untuk membuat terjemahannya semakin matang. Enam hari lagi tenggat waktu itu pun akan berakhir. Dia juga tak ingin meminta perpanjangan lagi, tapi di sisi lain, dia masih merasa belum selesai dengan terjemahannya itu.
Dengan melawan rasa sakit di bagian belakang tubuhnya, dia berjalan pelan menuju kamar mandi sambil berpegang pada dinding rumahnya. Langkahnya persis seperti seorang lelaki tua yang kehilangan tongkat. Satu tangannya di dinding, yang satunya lagi di belakang– memijit bagian pinggangnya sendiri.
”Kenapa ini? Mengapa harus sakit seperti ini Tuhan?” batinnya.
Tak ada siapa-siapa di rumahnya. Dulu, dia pernah memelihara seekor kucing dan diberi nama Maret–bulan kelahiran dirinya juga beberapa penulis favoritnya. Sekarang, jarak menuju kamar mandi terasa jauh baginya.
Dia mundur beberapa langkah lalu menjatuhkan dirinya di sebuah kursi empuk berwarna coklat di bagian ruang kerjanya. Dia menarik napas panjang, kembali mencari posisi yang tepat untuk menghilangkan rasa sakitnya. Duduk di kursi itu membuatnya merasa lebih baik.
Dia lalu mengambil sebuah buku yang ada di meja kecil di samping kursinya. Di meja itu, ada beberapa buah novel yang sedang dia baca, sebuah buku catatan tipis dengan sampul putih tanpa ada gambar sama sekali. Juga dua pulpen yang sering dia gunakan untuk mencatat atau membuat daftar di bukunya. Jika tidak untuk mencatat, pulpen itu acap kali jadi alat untuk menghilangkan cemasnya dengan cara mengetuk-ngetuk meja dengan bagian bawah pulpennya.
Buku yang dia baca masih menyisakan sekitar seratus dua puluh tiga halaman lagi sebelum tuntas. Perasaannya menjadi lebih baik setelah duduk dan membaca beberapa halaman buku. Dia bersandar dan membiarkan punggungnya tertelan empuk kursinya.
Tiba-tiba dia merasa ingin buang air kecil namun posisi nyaman itu membuatnya malas untuk berdiri. Di samping kanannya, jendela belum terbuka hingga sinar matahari tak sepenuhnya masuk ke dalam rumah. Tapi, rasa hangat kemudian terasa di sela-sela pahanya setelah dia membiarkan dirinya buang air di tempat. Dia menutup mata, menghayati aliran air kencingnya yang terasa hangat.
Dia baru meninggalkan kursinya setelah menghabiskan bukunya.
Setelah kembali membaca terjemahannya, dia membaringkan badannya di lantai. Siang tadi, setelah menghubungi Wiliam, salah seorang temannya yang bekerja sebagai dokter umum di sebuah puskesmas, dia diminta untuk tidak tidur di atas kasur. Dia belum ingin tidur, tapi rasa sakit di bagian belakangnya semakin menjadi-jadi. Hanya dengan berbaring, dia merasa lebih baik. Sebelum tidur, dia kembali menghubungi Nadira, kekasihnya.
Dua hari sebelumnya, Nadira kembali ke Selayar untuk mempersiapkan pernikahan mereka yang dijadwalkan berlangsung pada pertengahan tahun ini. Tapi Nadira tak kunjung mengangkat telepon, atau bahkan membalas chat-nya.
Sehari sebelum Nadira pulang, cuaca di Selayar sedang memasuki masa yang ekstrem hingga sinyal pun terganggu. Kemarin Nadira masih sempat berkabar, dia memberitahu jika cuaca semakin tampak buruk dan komunikasi mungkin akan terganggu.
Dari sebuah media yang memberitakan Selayar, dilihatnya angin kencang serta gelombang tinggi yang terus menghantam. Tak ada kabar dari Nadira, malam itu firasatnya mulai merasakan sesuatu yang menakutkan. Rasa sakitnya kadang tak terpikirkan kala dia kembali mencari kabar tentang Nadira. Sembari menunggu keajaiban, dia membaca chat di WhatsApp beberapa hari sebelumnya. Membaca itu, membuatnya tersenyum, lalu tertawa sendiri. Hingga tanpa disadari, dia tertidur sambil menggenggam ponselnya malam itu.
Lagi, mimpi itu kembali terulang. Selama lima malam berturut-turut. Pada akhirnya, semua yang terjadi dalam mimpi itu terekam jelas di ingatannya. Dia mampu mengingat apa yang terjadi tapi tak bisa mengenali siapa perempuan dan di mana pantai tempat mereka berada.
Malam itu juga, sebelum tidur kembali dia mencoba menghubungi Nadira, menceritakan tentang mimpi dan cemasnya yang tertahan selama beberapa hari ini. Tapi, firasat buruk kembali mendesak di dadanya. Ada sesuatu yang mungkin terjadi. Media yang memberitakan Selayar pun tak kunjung mengabarkan berita terbaru setelah cuaca ekstrem beberapa hari terakhir ini terjadi.
Rasa sakit di bagian belakangnya kemudian menjalar menuju satu titik, tulang ekornya. Malam itu juga, dia tak lagi bisa duduk dan membiarkan dirinya berbaring di lantai. Dia melihat langit-langit kamarnya, memperhatikan cahaya lampu yang tampak berpendar. Lampu di kamar kemudian mati, seketika tubuhnya tak bisa digerakkan sama sekali.
Beberapa saat kemudian, lampu menyala dan kembali dilihatnya sosok perempuan berbaju merah dengan rambut panjang yang selama ini ada di mimpinya. Bedanya, kali ini dia bisa melihat wajahnya, dan perempuan itu adalah Nadira.
Dadanya sesak, bukan karena takut melainkan firasat buruk yang selama ini dia rasakan sepertinya terjawab. Sesuatu terjadi dengan Nadira. Sosok itu menghilang dengan cepat, hanya sekali tarikan napas. Saat itu juga, tubuhnya kembali normal dan dia bangkit melawan rasa sakit di tulang ekornya.
Laptopnya masih terbuka, naskah terjemahannya masih belum rampung. Kabar Nadira tak kunjung tiba. Rasa sakitnya semakin tak tertahankan. Dia berdiri sambil menahan sakitnya, dia meringis kesakitan. Hidupnya terasa kalut. Sebuah suara di kepalanya meminta dia segera berjalan ke dapur. Sebuah botol racun serangga tersimpan di balik pintu belakang dapur.
Sosok yang dilihatnya barusan mungkin saja adalah Nadira, kekasihnya. Maut telah menjemputnya lebih dulu. Dia tak mampu menerjemahkan peristiwa sebaik dia menerjemahkan naskah yang ada di laptopnya.
Dia tertatih melangkah menuju botol racun itu. Pada saat dia mulai mendekat, akulah yang kemudian memeluknya dari belakang hingga segala yang ada dalam dirinya remuk. Sedang Nadira lebih dulu kupeluk dalam gelombang tinggi yang menghantam. Mengapa dia tak menerjemahkan aku lebih dulu?
Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai, novel dan menerjemahkan. Mengikuti kelas menulis cerpen Kompas (2015), menerbitkan buku puisi berjudul Persinggahan Perangai Sepi (2013) dan Sajak Penghuni Surga (2017). Salah satu novel karyanya yang berjudul Seratus Tahun Kebisuan menjadi Novel Pilihan Unnes International Novel Writing Contest 2017.
Dia tidak akan meneguk racun itu bila peristiwa kemarin tak terjadi. Seminggu sebelumnya, di dalam mimpinya– seorang perempuan berbaju merah dengan rambut panjang sebahu datang menghampirinya di sebuah tepi pantai yang asing baginya. Tanpa sempat melihat wajahnya dengan jelas, perempuan itu langsung memeluknya dari belakang. Begitu erat hingga tulang-tulangnya serasa ingin remuk.
Saat mendengar bunyi retak disertai kesakitan yang tak terkira, barulah dia terbangun.
Dilihatnya jam dinding masih menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh dua menit. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar. Dia putuskan untuk kembali memejamkan mata dan sama sekali tak mengingat apa yang terjadi di mimpinya. Tapi rasa sakit di bagian belakangnya terasa hingga dia harus beberapa kali mengubah posisi tidurnya.
Dia berhasil tidur dan bangun pada pukul sepuluh pagi. Biasanya, dia bangun di siang hari setelah begadang menerjemahkan beberapa naskah yang ada di laptopnya.
Rasa sakit di bagian belakangnya, membuat dia bangun lebih pagi. Meskipun tidurnya sudah terganggu saat dini hari. Dia mencoba mencari kemungkinan penyebab sakit itu.
”Mungkin posisi tidur saya yang bermasalah.”
”Tunggu, mungkin juga karena terlalu lama duduk bekerja.”
”Tidak, sepertinya karena semalam saya kurang minum air.”
Di antara kemungkinan yang dia pikirkan, tak sedikit pun terbesit di kepalanya tentang mimpi itu.
Sembari memikirkan sakitnya, dia teringat janjinya pada Eka, pemilik penerbit yang hendak mencetak terjemahannya. Sudah dua kali dia meminta perpanjangan waktu untuk membuat terjemahannya semakin matang. Enam hari lagi tenggat waktu itu pun akan berakhir. Dia juga tak ingin meminta perpanjangan lagi, tapi di sisi lain, dia masih merasa belum selesai dengan terjemahannya itu.
Dengan melawan rasa sakit di bagian belakang tubuhnya, dia berjalan pelan menuju kamar mandi sambil berpegang pada dinding rumahnya. Langkahnya persis seperti seorang lelaki tua yang kehilangan tongkat. Satu tangannya di dinding, yang satunya lagi di belakang– memijit bagian pinggangnya sendiri.
”Kenapa ini? Mengapa harus sakit seperti ini Tuhan?” batinnya.
Tak ada siapa-siapa di rumahnya. Dulu, dia pernah memelihara seekor kucing dan diberi nama Maret–bulan kelahiran dirinya juga beberapa penulis favoritnya. Sekarang, jarak menuju kamar mandi terasa jauh baginya.
Dia mundur beberapa langkah lalu menjatuhkan dirinya di sebuah kursi empuk berwarna coklat di bagian ruang kerjanya. Dia menarik napas panjang, kembali mencari posisi yang tepat untuk menghilangkan rasa sakitnya. Duduk di kursi itu membuatnya merasa lebih baik.
Dia lalu mengambil sebuah buku yang ada di meja kecil di samping kursinya. Di meja itu, ada beberapa buah novel yang sedang dia baca, sebuah buku catatan tipis dengan sampul putih tanpa ada gambar sama sekali. Juga dua pulpen yang sering dia gunakan untuk mencatat atau membuat daftar di bukunya. Jika tidak untuk mencatat, pulpen itu acap kali jadi alat untuk menghilangkan cemasnya dengan cara mengetuk-ngetuk meja dengan bagian bawah pulpennya.
Buku yang dia baca masih menyisakan sekitar seratus dua puluh tiga halaman lagi sebelum tuntas. Perasaannya menjadi lebih baik setelah duduk dan membaca beberapa halaman buku. Dia bersandar dan membiarkan punggungnya tertelan empuk kursinya.
Tiba-tiba dia merasa ingin buang air kecil namun posisi nyaman itu membuatnya malas untuk berdiri. Di samping kanannya, jendela belum terbuka hingga sinar matahari tak sepenuhnya masuk ke dalam rumah. Tapi, rasa hangat kemudian terasa di sela-sela pahanya setelah dia membiarkan dirinya buang air di tempat. Dia menutup mata, menghayati aliran air kencingnya yang terasa hangat.
Dia baru meninggalkan kursinya setelah menghabiskan bukunya.
Setelah kembali membaca terjemahannya, dia membaringkan badannya di lantai. Siang tadi, setelah menghubungi Wiliam, salah seorang temannya yang bekerja sebagai dokter umum di sebuah puskesmas, dia diminta untuk tidak tidur di atas kasur. Dia belum ingin tidur, tapi rasa sakit di bagian belakangnya semakin menjadi-jadi. Hanya dengan berbaring, dia merasa lebih baik. Sebelum tidur, dia kembali menghubungi Nadira, kekasihnya.
Dua hari sebelumnya, Nadira kembali ke Selayar untuk mempersiapkan pernikahan mereka yang dijadwalkan berlangsung pada pertengahan tahun ini. Tapi Nadira tak kunjung mengangkat telepon, atau bahkan membalas chat-nya.
Sehari sebelum Nadira pulang, cuaca di Selayar sedang memasuki masa yang ekstrem hingga sinyal pun terganggu. Kemarin Nadira masih sempat berkabar, dia memberitahu jika cuaca semakin tampak buruk dan komunikasi mungkin akan terganggu.
Dari sebuah media yang memberitakan Selayar, dilihatnya angin kencang serta gelombang tinggi yang terus menghantam. Tak ada kabar dari Nadira, malam itu firasatnya mulai merasakan sesuatu yang menakutkan. Rasa sakitnya kadang tak terpikirkan kala dia kembali mencari kabar tentang Nadira. Sembari menunggu keajaiban, dia membaca chat di WhatsApp beberapa hari sebelumnya. Membaca itu, membuatnya tersenyum, lalu tertawa sendiri. Hingga tanpa disadari, dia tertidur sambil menggenggam ponselnya malam itu.
Lagi, mimpi itu kembali terulang. Selama lima malam berturut-turut. Pada akhirnya, semua yang terjadi dalam mimpi itu terekam jelas di ingatannya. Dia mampu mengingat apa yang terjadi tapi tak bisa mengenali siapa perempuan dan di mana pantai tempat mereka berada.
Malam itu juga, sebelum tidur kembali dia mencoba menghubungi Nadira, menceritakan tentang mimpi dan cemasnya yang tertahan selama beberapa hari ini. Tapi, firasat buruk kembali mendesak di dadanya. Ada sesuatu yang mungkin terjadi. Media yang memberitakan Selayar pun tak kunjung mengabarkan berita terbaru setelah cuaca ekstrem beberapa hari terakhir ini terjadi.
Rasa sakit di bagian belakangnya kemudian menjalar menuju satu titik, tulang ekornya. Malam itu juga, dia tak lagi bisa duduk dan membiarkan dirinya berbaring di lantai. Dia melihat langit-langit kamarnya, memperhatikan cahaya lampu yang tampak berpendar. Lampu di kamar kemudian mati, seketika tubuhnya tak bisa digerakkan sama sekali.
Beberapa saat kemudian, lampu menyala dan kembali dilihatnya sosok perempuan berbaju merah dengan rambut panjang yang selama ini ada di mimpinya. Bedanya, kali ini dia bisa melihat wajahnya, dan perempuan itu adalah Nadira.
Dadanya sesak, bukan karena takut melainkan firasat buruk yang selama ini dia rasakan sepertinya terjawab. Sesuatu terjadi dengan Nadira. Sosok itu menghilang dengan cepat, hanya sekali tarikan napas. Saat itu juga, tubuhnya kembali normal dan dia bangkit melawan rasa sakit di tulang ekornya.
Laptopnya masih terbuka, naskah terjemahannya masih belum rampung. Kabar Nadira tak kunjung tiba. Rasa sakitnya semakin tak tertahankan. Dia berdiri sambil menahan sakitnya, dia meringis kesakitan. Hidupnya terasa kalut. Sebuah suara di kepalanya meminta dia segera berjalan ke dapur. Sebuah botol racun serangga tersimpan di balik pintu belakang dapur.
Sosok yang dilihatnya barusan mungkin saja adalah Nadira, kekasihnya. Maut telah menjemputnya lebih dulu. Dia tak mampu menerjemahkan peristiwa sebaik dia menerjemahkan naskah yang ada di laptopnya.
Dia tertatih melangkah menuju botol racun itu. Pada saat dia mulai mendekat, akulah yang kemudian memeluknya dari belakang hingga segala yang ada dalam dirinya remuk. Sedang Nadira lebih dulu kupeluk dalam gelombang tinggi yang menghantam. Mengapa dia tak menerjemahkan aku lebih dulu?
Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai, novel dan menerjemahkan. Mengikuti kelas menulis cerpen Kompas (2015), menerbitkan buku puisi berjudul Persinggahan Perangai Sepi (2013) dan Sajak Penghuni Surga (2017). Salah satu novel karyanya yang berjudul Seratus Tahun Kebisuan menjadi Novel Pilihan Unnes International Novel Writing Contest 2017.
Komentar
Posting Komentar