Ahda Imran
Pagi di musim dingin itu aku mencukur habis jenggot dan semua bulu misaiku. Membakar seluruh dokumen, hingga secarik kertas berisi coretan yang paling tak berguna sekalipun. Keluar dari penginapan, aku merasa lega menemukan hari tak bersalju.
Berdiri di trotoar persimpangan jalan, di antara ceceran salju dan deretan pohon platanus yang membeku, aku tahu benar bayangan itu sedang mengintaiku dari salah satu bangunan. Deretan toko, kafe, restoran orang Turki, gedung sekolah, apartemen, atau mungkin dari salah satu bagian gereja di seberang boulevard.
Seperti halnya seorang pembohong yang fasih mengetahui pembohong lainnya, sebagai pembunuh instingku terlatih benar mencium bau tubuh seorang pembunuh yang sedang mengintaiku. Meski tak bisa kupastikan dari mana arahnya dan berapa jauh jaraknya dari tubuhku.
Pasti ia sudah terlatih menghadapi sasaran dalam udara yang berkabut. Tapi baik kunyalakan juga rokok agar ia lebih leluasa memastikan sasarannya, sekaligus isyarat yang mustahil tidak dipahaminya. Jika saja hari terang, dari ujung teleskopnya ia akan melihat betapa tenangnya wajahku. Betapa ia tahu apa arti sebuah kematian bagiku, bagi jalan perjuangan Bapak dan partai. Jalan rahasia di mana setiap jejak kaki memang harus dibersihkan.
Jika mustahil bagimu menemukan orang yang bersedia mengorbankan hidupnya demi dirimu, orang-orang seperti itu ada di sekeliling Bapak. Jutaan jumlahnya. Aku salah seorang di antara mereka, dan untuk itulah aku sekarang berada di sini.
Semua bermula ketika seorang pembisik berkata pada Bapak, bahwa aku adalah pembunuh terbaik. Melalui orang-orang suruhannya, pembisik itu mengeluarkanku dari penjara, tepat sehari sebelum aku menjalani hukuman mati. Hukuman mati itu tetap dijalankan oleh seorang tahanan yang diseret menggantikanku berdiri di depan regu tembak. Seorang tahanan bermata sayu yang, mungkin kau tak percaya, selalu membawa botol berisi air cucian kaki ibunya.
”Dia harus dipaksa jadi pahlawan agar aku bisa menyelamatkanmu.” Begitu pembisik itu menceritakannya dengan tekanan yang terasa lebih ditujukan pada dirinya; ia telah menyelamatkan hidupku dan aku berutang nyawa padanya. Aku setuju tapi pada hari itu juga aku sangat membenci pembisik itu.
Pembisik bertubuh mirip babi itu lalu membawaku ke depan Bapak. Pesohor bermata dingin, tubuhnya tegap, pemilik sejenis senyum yang tentu kau hafal benar arti di baliknya. Seseorang yang kepadanya jutaan pengagum dan anggota partai berharap ia bisa menumbangkan Kerajaan, merebut kekuasaan. Di depan Bapak aku berdiri tegap, sementara, dengan cara yang berlebihan, pembisik itu terus menjelaskan siapa diriku dan itu membuat Bapak tampak bosan. Bapak berjalan meninggalkan ruangan sambil selintas mengatakan sesuatu yang tak didengar pembisik itu, ”Kamu pasti tidak ingin seseorang berbohong pada saya, bukan?”
Bukan hanya mengerti, tapi aku paham apa yang harus dilakukan. Karena membunuh telah jadi kesenangan yang diberikan Tuhan padaku, tak perlu waktu tiga hari, dengan cara yang tak perlu kukatakan padamu, tanpa satu pun adanya tanda pembunuhan, pembisik itu kusudahi hidupnya. Di pemakaman, dalam pidatonya yang mengharukan, Bapak berkata, ”Partai kita telah kehilangan seorang anggotanya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Kita kehilangan kader terbaik.”
Sejak itu, aku berada di tempat gelap dan rahasia. Mengawal dan melindungi Bapak, termasuk mengawasi kesetiaan para pembesar partai. Itu terjadi lama sebelum Datuk Musa Nan Putih, di negara tempat pengasingannya, mati terbunuh setelah menyerukan dukungannya pada Bapak untuk melawan Kerajaan.
Sebagaimana kau mengikutinya, Bapak dan para pembesar partai menyambut dukungan orang tua alim yang sangat dihormati rakyat itu. Seseorang yang memilih hidup di pengasingan sebab merasa hidupnya terancam oleh pemerintah Kerajaan. Kerajaan sengaja tak pernah mengusik apalagi memburu orang yang dianggap sebagai pemberontak itu. Penangkapannya hanya membuat ia makin menjadi pahlawan di mata rakyat, selain juga akan membenarkan tudingan bahwa pemerintah Kerajaan mengancam hidupnya.
Dukungan Datuk Musa Nan Putih tentu menguntungkan Bapak. Tetapi, sebaiknya kau tahu, bagaimana pada hari itu juga Bapak dan seorang pembesar partai memanggilku. Dalam wajah yang penuh kebencian Bapak menyebut nama Datuk Musa Nan Putih, sebelum berkata padaku, ”Kamu pasti tidak ingin seseorang berbohong pada saya, bukan?”
Selebihnya, pembesar partai yang mendampingi Bapak mengatakan, dukungan Datuk Musa Nan Putih adalah kebohongan dan muslihat yang berbahaya. Laporan dari orang-orang partai yang diselundupkan ke dalam lingkaran Datuk Musa Nan Putih, mengisyaratkan bahwa dengan mendukung Bapak sebenarnya Datuk Musa Nan Putih sedang memberi alasan pada Kerajaan untuk menghancurkan Bapak karena telah bersekongkol dengan pemberontak.
Hanya beberapa inci dari wajahku, pembesar partai yang kau kenal sebagai bekas pembesar Kerajaan, pemilik banyak tambang batubara itu, berkata dengan mulut bau daging bakar, ”Dia bisa ambil keuntungan dari kehancuran kita, toh? Dia bakal pulang dari pengasingan, pimpin rakyat dan bikin pemberontakan. Kita harus mendahului dia! Kayak Bapak bilang, you selesaikan!”
Maka suatu hari aku telah berada di sebuah kota kecil, di bagian selatan negara tempat pengasingan Datuk Musa Nan Putih; di atap sebuah bangunan, setelah semalaman menunggu dalam udara yang membekukan. Teleskop senjataku bergerak pelan dan mendapati Datuk Musa Nan Putih di balik kaca jendela kamarnya. Di sela-sela salju pada kayu jendela, aku melihat orang alim itu sedang duduk berdoa. Dengan tingkat kesabaran yang pasti membuatmu kagum, dalam posisi menelungkup menahan dingin, aku tak bergerak, menahan napas, membidiknya lekat-lekat.
Tiba-tiba saja kulihat lelaki tua itu menghentikan doanya. Ia memandang ke luar seakan ada sesuatu yang berbisik padanya, sebelum bangkit dan membuka daun jendela. Di ujung teleskop, wajah Datuk Musa Nan Putih kutemukan tampak begitu tenang, memandang ke arahku, bibirnya tersenyum. Sorot mata dan senyum yang membuat perasaanku jadi aneh. Suara lonceng gereja. Aku melepas tembakan.
Pembunuhan Datuk Musa Nan Putih membuat rakyat marah. Bapak segera mengambil keuntungan. Apalagi pembunuhan itu terjadi tak lama setelah Datuk Musa Nan Putih menyatakan dukungannya pada Bapak untuk melawan Kerajaan. Meski para pembesar Kerajaan menyangkal telah membunuhnya, namun suara mereka lebih mirip gumam di tengah pidato Bapak yang berapi-api.
”Seorang alim, seorang pemimpin spiritual bangsa yang dicintai rakyat telah dibunuh oleh pemerintah yang zalim, oleh rezim yang pengecut dan dungu!” Kerumunan rakyat semakin hari semakin membesar. Perang suci bukan lagi sekadar bisik-bisik, melainkan telah jadi seruan.
Berada jauh di suatu negara, secepat itu aku juga segera paham permainan apa yang sedang terjadi, dan bagaimana setiap bagian dari permainan itu telah dipersiapkan dengan baik. Termasuk perintah yang kuterima. Kau tahu, entah mengapa, peristiwa sekejap saat aku menemukan sorot mata dan senyum Datuk Musa Nan Putih di ujung teleskop, sebelum menembaknya, membuatku meragukan semua yang dikatakan pejabat partai pada hari aku mendapat perintah membunuhnya.
Tetapi, apa pun semua muslihat di balik semua permainan ini, aku telah bersumpah hanya menikmati hidupku sebagai pembunuh. Aku tahu benar bahwa hanya ada satu perintah setelah itu; lakukan apa pun asal jangan tertangkap! Di luar perintah itu, aku tahu diam-diam ada bagian berikutnya dari permainan ini. Selain orang-orang Kerajaan yang berusaha menangkapku, ada bayang lain yang juga sedang memburuku. Setiap jejak mesti dibersihkan.
Bayangan itulah yang kini sedang mengintaiku di ujung teleskop, dari arah yang tidak kuketahui. Dengan nyala sebatang rokok aku berdiri di trotoar persimpangan jalan itu. Sebentar ia akan menarik pelatuk senjatanya, lalu kepalaku basah dan berlubang. Tubuhku tersungkur, berdarah di atas trotoar dan salju. Jauh dari tempatku sekarang berdiri, di Tanah Air, Bapak terus berpidato di tengah rakyat, ”Seorang alim, seorang pemimpin spiritual bangsa yang dicintai rakyat, telah dibunuh oleh pemerintah yang zalim, oleh rezim yang pengecut dan dungu!”
Seekor gagak hinggap dan berkaok-kaok di depan sebuah kafe yang tampak lengang. Angin menderu dan bergulung di atas hutan kecil yang berwarna putih. Satu dua kendaraan melintas perlahan. Dari arah dan jarak yang tidak kuketahui, bayangan itu mengawasiku di ujung teleskop. Nyala rokok makin pendek, lalu padam. Hari bertambah dingin dan gerimis salju mulai turun, bertambah juga tebalnya, seperti uap napasku. Tubuhku terasa beku. Aku masih terus berdiri di simpang jalan itu.
Ahda Imran, lahir di Payakumbuh, 10 Agustus 1966. Pernah melakoni pekerjaan sebagai jurnalis dan redaktur budaya di sebuah koran yang terbit di Bandung. Buku terbarunya berupa roman biografi bertajuk Jais Darga Namaku disambut hangat pembaca. Ahda juga menulis puisi, cerpen, esai, dan naskah teater. Kumpulan puisinya, Rusa Berbulu Merah, masuk daftar nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014.
Pagi di musim dingin itu aku mencukur habis jenggot dan semua bulu misaiku. Membakar seluruh dokumen, hingga secarik kertas berisi coretan yang paling tak berguna sekalipun. Keluar dari penginapan, aku merasa lega menemukan hari tak bersalju.
Berdiri di trotoar persimpangan jalan, di antara ceceran salju dan deretan pohon platanus yang membeku, aku tahu benar bayangan itu sedang mengintaiku dari salah satu bangunan. Deretan toko, kafe, restoran orang Turki, gedung sekolah, apartemen, atau mungkin dari salah satu bagian gereja di seberang boulevard.
Seperti halnya seorang pembohong yang fasih mengetahui pembohong lainnya, sebagai pembunuh instingku terlatih benar mencium bau tubuh seorang pembunuh yang sedang mengintaiku. Meski tak bisa kupastikan dari mana arahnya dan berapa jauh jaraknya dari tubuhku.
Pasti ia sudah terlatih menghadapi sasaran dalam udara yang berkabut. Tapi baik kunyalakan juga rokok agar ia lebih leluasa memastikan sasarannya, sekaligus isyarat yang mustahil tidak dipahaminya. Jika saja hari terang, dari ujung teleskopnya ia akan melihat betapa tenangnya wajahku. Betapa ia tahu apa arti sebuah kematian bagiku, bagi jalan perjuangan Bapak dan partai. Jalan rahasia di mana setiap jejak kaki memang harus dibersihkan.
Jika mustahil bagimu menemukan orang yang bersedia mengorbankan hidupnya demi dirimu, orang-orang seperti itu ada di sekeliling Bapak. Jutaan jumlahnya. Aku salah seorang di antara mereka, dan untuk itulah aku sekarang berada di sini.
Semua bermula ketika seorang pembisik berkata pada Bapak, bahwa aku adalah pembunuh terbaik. Melalui orang-orang suruhannya, pembisik itu mengeluarkanku dari penjara, tepat sehari sebelum aku menjalani hukuman mati. Hukuman mati itu tetap dijalankan oleh seorang tahanan yang diseret menggantikanku berdiri di depan regu tembak. Seorang tahanan bermata sayu yang, mungkin kau tak percaya, selalu membawa botol berisi air cucian kaki ibunya.
”Dia harus dipaksa jadi pahlawan agar aku bisa menyelamatkanmu.” Begitu pembisik itu menceritakannya dengan tekanan yang terasa lebih ditujukan pada dirinya; ia telah menyelamatkan hidupku dan aku berutang nyawa padanya. Aku setuju tapi pada hari itu juga aku sangat membenci pembisik itu.
Pembisik bertubuh mirip babi itu lalu membawaku ke depan Bapak. Pesohor bermata dingin, tubuhnya tegap, pemilik sejenis senyum yang tentu kau hafal benar arti di baliknya. Seseorang yang kepadanya jutaan pengagum dan anggota partai berharap ia bisa menumbangkan Kerajaan, merebut kekuasaan. Di depan Bapak aku berdiri tegap, sementara, dengan cara yang berlebihan, pembisik itu terus menjelaskan siapa diriku dan itu membuat Bapak tampak bosan. Bapak berjalan meninggalkan ruangan sambil selintas mengatakan sesuatu yang tak didengar pembisik itu, ”Kamu pasti tidak ingin seseorang berbohong pada saya, bukan?”
Bukan hanya mengerti, tapi aku paham apa yang harus dilakukan. Karena membunuh telah jadi kesenangan yang diberikan Tuhan padaku, tak perlu waktu tiga hari, dengan cara yang tak perlu kukatakan padamu, tanpa satu pun adanya tanda pembunuhan, pembisik itu kusudahi hidupnya. Di pemakaman, dalam pidatonya yang mengharukan, Bapak berkata, ”Partai kita telah kehilangan seorang anggotanya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Kita kehilangan kader terbaik.”
Sejak itu, aku berada di tempat gelap dan rahasia. Mengawal dan melindungi Bapak, termasuk mengawasi kesetiaan para pembesar partai. Itu terjadi lama sebelum Datuk Musa Nan Putih, di negara tempat pengasingannya, mati terbunuh setelah menyerukan dukungannya pada Bapak untuk melawan Kerajaan.
Sebagaimana kau mengikutinya, Bapak dan para pembesar partai menyambut dukungan orang tua alim yang sangat dihormati rakyat itu. Seseorang yang memilih hidup di pengasingan sebab merasa hidupnya terancam oleh pemerintah Kerajaan. Kerajaan sengaja tak pernah mengusik apalagi memburu orang yang dianggap sebagai pemberontak itu. Penangkapannya hanya membuat ia makin menjadi pahlawan di mata rakyat, selain juga akan membenarkan tudingan bahwa pemerintah Kerajaan mengancam hidupnya.
Dukungan Datuk Musa Nan Putih tentu menguntungkan Bapak. Tetapi, sebaiknya kau tahu, bagaimana pada hari itu juga Bapak dan seorang pembesar partai memanggilku. Dalam wajah yang penuh kebencian Bapak menyebut nama Datuk Musa Nan Putih, sebelum berkata padaku, ”Kamu pasti tidak ingin seseorang berbohong pada saya, bukan?”
Selebihnya, pembesar partai yang mendampingi Bapak mengatakan, dukungan Datuk Musa Nan Putih adalah kebohongan dan muslihat yang berbahaya. Laporan dari orang-orang partai yang diselundupkan ke dalam lingkaran Datuk Musa Nan Putih, mengisyaratkan bahwa dengan mendukung Bapak sebenarnya Datuk Musa Nan Putih sedang memberi alasan pada Kerajaan untuk menghancurkan Bapak karena telah bersekongkol dengan pemberontak.
Hanya beberapa inci dari wajahku, pembesar partai yang kau kenal sebagai bekas pembesar Kerajaan, pemilik banyak tambang batubara itu, berkata dengan mulut bau daging bakar, ”Dia bisa ambil keuntungan dari kehancuran kita, toh? Dia bakal pulang dari pengasingan, pimpin rakyat dan bikin pemberontakan. Kita harus mendahului dia! Kayak Bapak bilang, you selesaikan!”
Maka suatu hari aku telah berada di sebuah kota kecil, di bagian selatan negara tempat pengasingan Datuk Musa Nan Putih; di atap sebuah bangunan, setelah semalaman menunggu dalam udara yang membekukan. Teleskop senjataku bergerak pelan dan mendapati Datuk Musa Nan Putih di balik kaca jendela kamarnya. Di sela-sela salju pada kayu jendela, aku melihat orang alim itu sedang duduk berdoa. Dengan tingkat kesabaran yang pasti membuatmu kagum, dalam posisi menelungkup menahan dingin, aku tak bergerak, menahan napas, membidiknya lekat-lekat.
Tiba-tiba saja kulihat lelaki tua itu menghentikan doanya. Ia memandang ke luar seakan ada sesuatu yang berbisik padanya, sebelum bangkit dan membuka daun jendela. Di ujung teleskop, wajah Datuk Musa Nan Putih kutemukan tampak begitu tenang, memandang ke arahku, bibirnya tersenyum. Sorot mata dan senyum yang membuat perasaanku jadi aneh. Suara lonceng gereja. Aku melepas tembakan.
Pembunuhan Datuk Musa Nan Putih membuat rakyat marah. Bapak segera mengambil keuntungan. Apalagi pembunuhan itu terjadi tak lama setelah Datuk Musa Nan Putih menyatakan dukungannya pada Bapak untuk melawan Kerajaan. Meski para pembesar Kerajaan menyangkal telah membunuhnya, namun suara mereka lebih mirip gumam di tengah pidato Bapak yang berapi-api.
”Seorang alim, seorang pemimpin spiritual bangsa yang dicintai rakyat telah dibunuh oleh pemerintah yang zalim, oleh rezim yang pengecut dan dungu!” Kerumunan rakyat semakin hari semakin membesar. Perang suci bukan lagi sekadar bisik-bisik, melainkan telah jadi seruan.
Berada jauh di suatu negara, secepat itu aku juga segera paham permainan apa yang sedang terjadi, dan bagaimana setiap bagian dari permainan itu telah dipersiapkan dengan baik. Termasuk perintah yang kuterima. Kau tahu, entah mengapa, peristiwa sekejap saat aku menemukan sorot mata dan senyum Datuk Musa Nan Putih di ujung teleskop, sebelum menembaknya, membuatku meragukan semua yang dikatakan pejabat partai pada hari aku mendapat perintah membunuhnya.
Tetapi, apa pun semua muslihat di balik semua permainan ini, aku telah bersumpah hanya menikmati hidupku sebagai pembunuh. Aku tahu benar bahwa hanya ada satu perintah setelah itu; lakukan apa pun asal jangan tertangkap! Di luar perintah itu, aku tahu diam-diam ada bagian berikutnya dari permainan ini. Selain orang-orang Kerajaan yang berusaha menangkapku, ada bayang lain yang juga sedang memburuku. Setiap jejak mesti dibersihkan.
Bayangan itulah yang kini sedang mengintaiku di ujung teleskop, dari arah yang tidak kuketahui. Dengan nyala sebatang rokok aku berdiri di trotoar persimpangan jalan itu. Sebentar ia akan menarik pelatuk senjatanya, lalu kepalaku basah dan berlubang. Tubuhku tersungkur, berdarah di atas trotoar dan salju. Jauh dari tempatku sekarang berdiri, di Tanah Air, Bapak terus berpidato di tengah rakyat, ”Seorang alim, seorang pemimpin spiritual bangsa yang dicintai rakyat, telah dibunuh oleh pemerintah yang zalim, oleh rezim yang pengecut dan dungu!”
Seekor gagak hinggap dan berkaok-kaok di depan sebuah kafe yang tampak lengang. Angin menderu dan bergulung di atas hutan kecil yang berwarna putih. Satu dua kendaraan melintas perlahan. Dari arah dan jarak yang tidak kuketahui, bayangan itu mengawasiku di ujung teleskop. Nyala rokok makin pendek, lalu padam. Hari bertambah dingin dan gerimis salju mulai turun, bertambah juga tebalnya, seperti uap napasku. Tubuhku terasa beku. Aku masih terus berdiri di simpang jalan itu.
Ahda Imran, lahir di Payakumbuh, 10 Agustus 1966. Pernah melakoni pekerjaan sebagai jurnalis dan redaktur budaya di sebuah koran yang terbit di Bandung. Buku terbarunya berupa roman biografi bertajuk Jais Darga Namaku disambut hangat pembaca. Ahda juga menulis puisi, cerpen, esai, dan naskah teater. Kumpulan puisinya, Rusa Berbulu Merah, masuk daftar nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014.
Komentar
Posting Komentar