Langsung ke konten utama

Sekoci dan Sepasang Lumba-lumba

Mashdar Zainal


ARIMBI tak mengerti mengapa tiba-tiba ia sudah berada dalam sekoci itu. Semalam demamnya menjadi-jadi, badannya panas sekali. Saat itu-yang Arimbi ingat, Sugi datang dan membopong tubuhnya, lalu membaringkannya di suatu tempat yang dingin dan agak keras. Arimbi tak yakin di mana tempat itu. Apakah di puskesmas, atau di kamar Sugi, atau barangkali masih di kamar Arimbi sendiri. Tapi kini Arimbi tahu, di mana semalam Sugi membaringkan tubuhnya. Di dalam sebuah sekoci. Ya. Di dalam sebuah sekoci.

Kini, sekoci itu bergoyang-goyang ringan di tengah laut lepas. Dengan Arimbi yang duduk telimpuh sambil memandang laut yang bagai tanpa ujung. Laut lepas dengan warna abu-abu. Seorang diri. Tanpa Sugi. Dan tanpa siapapun.

Lalu ke mana Sugi? Arimbi tersenyum nyeri. Matanya kembali perih.

Orang-orang mengatakan, Sugi hilang tiga bulan lalu saat melaut di tengah badai. Orang-orang sudah mengingatkan Sugi untuk lekas memutar haluan dan balik saat tanda-tanda badai mulai datang. Tapi Sugi tak menghiraukan. Yang Sugi pikirkan hanyalah ikan-ikan yang berlimpah itu mendatangi jaringnya. Saat badai datang, air akan bergolak dan membuat ikan-ikan berenang tak tentu arah, sehingga mereka tak sempat berpikir untuk berenang menjauhi jaring-jaring Sugi.

“Lautku, badaiku, giringlah ikan-ikan itu menuju surganya, menuju jaringku,” demikianlah orang-orang mendengar Sugi berteriak, membalas peringatan mereka yang mengajaknya pulang. Maka, orang-orangpun menepi meninggalkan Sugi yang matanya terus menyala di bawah badai.

Arimbi dan Sugi akan menikah beberapa bulan lagi. Sebuah pernikahan, meski tak usah dirayakan seperti pernikahan putri dan pangeran, tetap saja butuh biaya. Demi itulah Sugi rajin melaut beberapa bulan terakhir ini. Arimbi dan Sugi sudah menjalin hubungan semenjak mereka duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama. Arimbi anak seorang kepala desa, dan Sugi hanya anak seorang buruh nelayan yang hari-harinya diliputi bau amis di pelelangan ikan. Orangtua Arimbi tak pernah merestui hubungan itu. Bahkan setelah keduanya beranjak dewasa. Namun, Arimbi dan Sugi bagai laut dan pantai, tak hendak terpisahkan.

“Terkadang aku membayangkan, kita menjadi sepasang lumba-lumba yang berenang di laut lepas, bebas, melompat ke udara, dan selalu beriringan,” ucap Sugi suatu sore di lepas pantai yang tak jauh dari rumahnya.

Arimbi mendengarkan dengan saksama, hingga tanpa sadar bibirnya turut berujar, “Tanpa harus peduli pada perbedaan-perbedaan, yang kadangkala membuat kita bagai seekor cupang yang terkekang dalam akuarium, memusuhi diri sendiri.”

“Apa kau juga ingin menjadi seekor lumba-lumba?”

“Sepertinya menjadi seekor lumba-lumba memang lebih baik.”

Dan keduanya meloloskan pandangan ke cakrawala, hingga Ayah Arimbi muncul dengan teriakan yang mengalahkan bising ombak. Ayah Arimbi menyeret tangan Arimbi menjauhi Sugi. Arimbi pernah dikurung. Pernah diancam ini-itu. Tapi rupanya, perasaan Arimbi pada Sugi bukanlah perasaan reka-reka. Betapa banyak yang dialami Arimbi demi mempertahankan pemuda legam pencari ikan itu. Termasuk berniat mati, kalau ayah-ibunya terus-menerus mencela dan tak merestui hubungan mereka. Melihat Arimbi sedemikian yakin mempertahankan Sugi, lambat laun, orangtua Arimbi pun pasrah. Hubungan mereka pun beroleh restu.

Namun, rupanya alam tak menghendaki keduanya menyatu dengan cara itu. Alam mengambil Sugi. Memisahkannya dari Arimbi. Hingga perlahan, Arimbi menjadi seorang penyendiri. Pemurung. Ia mulai suka mengarang-ngarang cerita sendiri. Arimbi tak pernah percaya pada orang-orang yang mengomongkan bahwa Sugi sudah pergi. Kata orang-orang, Sugi telah menjadi milik sang laut, dan tak mungkin kembali. Laut tak pernah mengembalikan apa yang ia minta. Karena laut sudah terlalu banyak memberi. Jadi, sekali saja ia meminta sesuatu, sesuatu itu akan menjadi miliknya, selamanya. Pun Sugi.

Seperti apapun Arimbi tak memercayai omongan orang-orang, nyatanya, Sugi memang tak pernah muncul semenjak kabar badai itu. Arimbi tak bisa melakukan apa-apa sebagaimana orang-orang. Laut begitu luas. Mencari Sugi di tengah belantara laut, sama halnya mencari sebuah keajaiban yang hanya ada di angan-angan. Sugi telah hilang. Sugi telah pergi. Dan hanya mukjizat yang bisa membawanya kembali.

“Kalau orang-orang tak mampu mencari Sugi sampai ketemu, aku yang akan mencarinya sendiri,” pekik Arimbi suatu kali, “Sugi tak mungkin pergi begitu saja. Kalau ia pergi pasti ia akan mengajakku serta. Pasti.”

Namun, di kesempatan lain, Arimbi juga mengoceh, “Barangkali Sugi sedang menyelam ke kedalaman laut untuk mengambil beberapa butir manik mutiara. Aku pernah bilang kalau aku suka sekali manik mutiara. Pasti bagus untuk mahar nanti. Jadi, Sugi pasti akan kembali dengan maharnya. Ia sudah janji. Pasti.”

Di waktu yang lain, Arimbi pun pernah berkoar, “Atau, Sugi sedang belajar berenang. Sugi pernah bilang, ia ingin menjadi seekor lumba-lumba. Suatu saat, barangkali Sugi akan datang setelah ia bisa berenang dan menyelam dengan baik. Dan kami akan kembali ke laut bersama-sama. Sugi akan membimbingku untuk menjadi seekor lumba-lumba yang baik. Jadi, pasti Sugi akan kembali. Pasti.”

Orangtua Arimbi tahu, semenjak kabar badai yang menelan Sugi, sesuatu dalam diri Arimbi mulai runtuh. Ia sering berdiri di muka jendela kamarnya, menatap jauh ke dusun Sugi di pesisir, yang hanya mempertontonkan atap-atap rumah yang kusam seperti cangkang lokan yang berserakan ditinggal penghuninya. Arimbi tak doyan makan. Tubuhnya layu dan kerontang. Bahkan, saat orang-orang tidur, Arimbi memilih untuk tetap terjaga. Dari jendela yang sama, dalam keadaan terjaga, Arimbi kerap bermimpi-Arimbi menyebutnya begitu, Sugi muncul dari gelap malam.

Tepat beberapa hari sebelum hari yang seharusnya menjadi hari bahagia itu, Arimbi diserang demam. Demam itu menggerogoti tubuh Arimbi seperti binatang-binatang kecil tak bernama yang menggerogoti sisa makanan yang dilempar ke bibir laut. Hingga malam itu, ketika orang-orang terlelap dibuai udara malam pesisir yang dingin, Sugi mendatangi Arimbi yang tengah terbaring lemas di ranjangnya. Ibu Arimbi tertidur dalam keadaan duduk, dengan kepala roboh di tubir ranjang. Meski demikian, ibu Arimbi tak dapat merasakan kedatangan Sugi. Ranjang itu hanya berkeriut sebentar dan tiba-tiba tubuh Arimbi lenyap begitu saja.

Kelewat tengah malam, suara ibu Arimbi menyobek keheningan. Ibu arimbi menjerit-jerit. Histeris. Arimbi hilang. Arimbi hilang. Arimbi hilang… Dan Arimbi memang lenyap. Menyisakan jendela kamar yang mengaga senyap. Seperti sebuah bingkai photo yang memajang sebuah ketiadaan. Seperti sebuah mulut yang memuntahkan segenap kehampaan.

Detik itu, Arimbi merasa tubuhnya seperti melayang, di antara dua tangan Sugi yang kekar dan begitu kuat mendekap tubuhnya yang ringkih. Arimbi melihat Sugi berjalan tanpa melihat arah. Hanya berjalan. Hanya menatapnya. Sugi menatap Arimbi. Dan Arimbi menatap Sugi. Keduanya seperti melayang dalam tatapan satu sama lain. Hingga Arimbi bisa terlelap dengan nyaman setelah sekian lama mengalami insomnia.

Hingga remang itu, Arimbi mendapati dirinya tengah duduk telimpuh dalam sebuah sekoci yang bergoyang-goyang ringan di tengah lautan. Lautan dengan warna abu-abu. Apakah ini masih sebuah mimpi? Arimbi meraba arah. Entahlah. Hanya ada dirinya, sekoci yang bergoyang ringan, dan laut lepas berwarna abu-abu.

Di sekoci itu, Arimbi merasa begitu dekat dengan Sugi. Bahkan Arimbi tak perlu merasa cemas ketika tiba-tiba gerimis pertama turun menimpa pipinya yang mulai kusam. Gerimis yang juga abu-abu. Arimbi merasa dirinya dalam keadaan yang jauh lebih baik, meski perlahan sekoci yang menyangga tubuhnya bergoyang semakin liar. Angin berkelebat seperti sosok-sosok berbentuk pipih yang menampar-nampar sekoci Arimbi. Sekoci itu kini seperti diayun-ayun. Diombang-ambing.

Titik-titik gerimis pun telah mengembang menjadi hujan. Sekoci Arimbi tampak seperti menari-nari. Begitu bungah. Begitu bergairah. Air hujan pun mulai menggenangi sekocil mungil itu. Arimbi mulai menggigil. Tapi ia tak merasa cemas sama sekali. Ia yakin, Sugi berada dekat sekali dengannya. Sangat dekat. Maka, sekoci mungil itu pun terus menari dan menari. Di tengah badai. Di tengah laut yang warnanya telah menjadi abu-abu sempurna.

Sekitar satu pekan setelah hilangnya Arimbi, para nelayan dikejutkan oleh munculnya sepasang lumba-lumba yang berenang di perairan laut dangkal. Orang-orang bersumpah, lumba-lumba itu kerap muncul, khususnya menjelang senja-dan hanya sepasang, tak ada yang lain. Mereka selalu berenang beriringan. Melompat ke udara dan saling mengejar. Layaknya sepasang mempelai.

“Bagaimana kalau kita buru saja,” ungkap salah seorang nelayan.

“Betul, lumayan untuk persediaan pasokan ikan asap di musim badai begini,” jawab yang lain.

“Jangan. Jangan pernah memburu lumba-lumba, pamali,” sahut yang lain pula.

“Tak masalah!”

“Eh, jangan!”

Malang, 2016


Mashdar Zainal lahir di Madiun, 5 Juni 1984, banyak menulis prosa. Cerpennya pernah masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas tahun 2011 dan 2012. Kini tengah menyiapkan buku kumpulan cerpen terbarunya, Dongeng Pendek tentang Kota-Kota dalam Kepala. Penulis bermukim di Malang.

Biodata Penulis
1. Nama lengkap : Darwanto
2. Nama pena : Mashdar Zainal
3. Lahir: Madiun, 5 Juni 1984
4. Alamat : Jalan Sawunggaling III/103, RT 019 RW 004 Jemundo, Taman, Sidoarjo, Jawa Timur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...