Dewi Ria Utari
Aku tumbuh dengan sebuah larangan yang kudengar sejak aku memahami kata-kata. Sebuah larangan yang menetapkan bahwa seluruh kerabatku dan siapa pun yang masih segaris darah dengan nenek buyutku, untuk tidak memasuki hutan yang berada di pinggir desa tempat aku dan keluargaku hidup.
Hutan itu mungkin terdiri dari berbagai macam pepohonan dan tumbuhan. Aku tak pernah yakin karena aku hanya berani sampai di batas luar hutan itu yang ditandai dengan sebuah lapangan rumput seluas kira-kira selapangan sepak bola, untuk memberi jarak dengan perkebunan bermacam-macam milik beberapa warga desa. Aku sebut bermacam-macam karena memang mereka menanami kebunnya dengan bermacam-macam tanaman secara bergantian. Tergantung musim dan tergantung mana yang harganya tengah bagus di pasaran. Sering kali penduduk di sini menanaminya dengan jagung, kedelai, sayur-sayuran seperti kacang panjang, hingga tembakau. Keluargaku juga memiliki sebagian lahan kebun, namun karena sudah tak ada lagi lelaki di rumah kami, aku dan nenekku menyewakannya kepada orang lain. Terserah mereka mau menanami apa.
Sering kali begitu subuh mulai memperlihatkan cahaya, aku berjalan-jalan melintasi kebun-kebun ini hingga tiba di lapangan rumput itu. Sembari duduk di atas rumput, aku memandangi tepian hutan itu dan mulai berpikir macam-macam. Sebagian besar pikiranku berkisar pada siapa yang pernah masuk ke sana, seperti apa suasana hutan di dalam sana, dan seperti apa binatang yang hidup di tengah hutan. Sering pula aku membawa tikar dan buku, menggelarnya sedikit mendekat tepian hutan, dan membaca buku yang kubawa sambil tiduran. Hingga matahari mulai panas pukul delapan pagi, aku baru mengakhiri kegiatanku ini.
Tak banyak penduduk desa yang berjalan mendatangi kebun hingga batas lapangan rumput yang menjadi tempat favoritku setiap pagi. Paling jika ada, itu pun mereka yang tengah memanen hasil kebunnya, atau memeriksa hingga sejauh mana tanaman mereka rusak jika hama tengah terjadi, atau mengejar tikus, musang, atau hewan perusak tanaman lainnya. Selebihnya, aku tak pernah terusik. Paling jika mereka menemukanku di sana, mereka selalu mengingatkanku untuk tak masuk hutan.
Sebenarnya yang dilarang untuk masuk ke hutan ini cuma keluargaku saja. Tapi lama kelamaan, kebanyakan warga desa ini juga enggan untuk masuk hutan. Sehingga lambat laun, mereka yang pernah melihat isi dalam hutan ini cuma segelintir orang tua yang masih tersisa. Mereka, orang-orang tua itu bercerita bahwa dulu mereka dan sesepuh mereka, sering menjelajah tanah desa hingga masuk ke dalam hutan. Namun mereka tak lagi berani masuk ketika suatu pagi, kakek buyutku hilang di dalam hutan dan tak pernah kembali. Ada yang bilang ia tersesat dan tak bisa menemukan jalan pulang, ada juga yang berkata bahwa ia dimangsa binatang buas, dan sebagian lagi percaya ia sebenarnya terpikat makhluk jejadian penunggu hutan. Sebelum meninggal, nenek buyutku bercerita kepadaku, bahwa sebenarnya suaminya ditangkap pada suatu subuh dan saat itu juga digelandang ke pinggir hutan bersama puluhan orang dari beberapa desa lain. Di sana mereka disuruh berdiri berjajar menghadap ke hutan, dan ditembak mati oleh lelaki-lelaki berseragam. Tubuh-tubuh mereka kemudian diseret dan dibawa masuk ke dalam hutan.
Cerita ini tak pernah berani dibisikkan oleh warga desa selama bertahun-tahun. Hingga sekarang, anak-anak muda di desa hanya menerima begitu saja sebuah kepercayaan bahwa hutan ini angker dan akan membuatmu hilang jika memasukinya.
Selain larangan memasuki hutan, aku juga memiliki satu larangan lagi dari nenekku. Larangan itu adalah berbicara dengan pemilik rumah paling besar di desaku ini, yang halaman rumahnya ada tiga pohon liang liu. Jangankan bicara, mendekati rumah itu pun aku tak diperbolehkan. Kata nenekku, aku bisa kesurupan atau kesambet jika mendekati rumah itu. Tapi kata beberapa tetanggaku, pemilik rumah itu dulu pernah naksir nenek buyutku tapi entah kenapa kalah bersaing dengan kakek buyutku yang akhirnya mendapatkan nenek buyutku. Kini rumah itu dihuni cucu pemilik rumah itu dan aku sama sekali belum pernah melihatnya karena aku patuh pada larangan nenekku.
Namun seminggu lalu aku tak lagi bisa mematuhi larangan nenekku karena pada suatu pagi, saat aku sedang tidur-tiduran di lapangan rumput favoritku sambil mendengarkan musik dan membaca buku, lelaki itu, cucu pemilik rumah yang naksir nenek buyutku itu, mendatangiku. Tanpa bisa kucegah, ia tiba-tiba nongol berdiri tepat di hadapanku, menutupi cahaya matahari.
Ia perlahan bergerak mengambil posisi duduk di depanku. Memudahkan aku untuk melihatnya dari dekat. Sinar matahari pagi membuat beberapa bagian rambutnya yang telah memutih tampak keperakan. Kutaksir umurnya sekira awal 60-an tahun. Sejumlah kerut di beberapa bagian wajahnya, menyiratkan perjalanan masa yang membuat kematangan tampak terlihat gagah di mataku. Matanya yang menyiratkan senyum, memunculkan geliat di perutku setiap kali aku naik ke atap rumah jika nenek memintaku membenahi genteng yang bergeser. Tanpa bisa kukendalikan, aku merasakan telapak tanganku membasah dan kubetulkan posisi dudukku yang tadi sekenanya saja karena aku hampir selalu sendirian di tempat ini.
“Kamu tak takut digondol penunggu hutan di belakangmu?” tanya lelaki ini sambil tersenyum. Matanya melirik ke arah bukuku yang tergeletak di pangkuanku. Aku menggeleng menjawab pertanyaannya.
“Great Expectations. Charles Dickens. Kamu sedang punya harapan besar ya dengan baca buku itu?” tanyanya lagi dengan nada menggoda. Aku mengangkat bahu menjawab pertanyaannya.
“Entahlah. Aku sepertinya tak pernah berharap akan apa pun. Lagi pula ceritanya bikin aku tak berani berharap apa pun.”
“Gitu ya?” sahutnya pendek. Di banyak percakapan setelahnya, aku tandai bahwa ia sering kali menimpali sesuatu dengan kata-kata ini.
“Kamu tak berharap untuk melihat hutan di belakangmu?” tanya dia lagi sambil bergerak mencari posisi tidur telentang di sebelahku. Kedua tangannya melipat menopang kepalanya. Matanya terpejam sehingga dia tidak melihat aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaannya. Sepertinya jawabanku tak penting baginya karena kemudian sambil mengembuskan napas, ia berkata, “Enak juga ya tiduran di sini.” Ia kemudian membuka matanya dan mengarahkan pandangannya kepadaku. “Aku boleh ya, ikut menemanimu di sini?” Aku mengangguk. Percuma juga melarang karena ia sudah terbaring di sebelahku.
Tak lama dalam keheningan – aku sempat menyangka ia tertidur-tiba-tiba ia menanyakan lagu apa yang tengah kudengarkan. “Lagu In The Wood Somewhere,” ujarku sambil melepas sepenunya satu earphone yang tadi masih menempel di lubang telinga kiriku.
“Lagunya tentang apa?”
“Lirik-liriknya mengumpulkan potongan-potongan fragmen tentang seseorang yang mendengar teriakan perempuan dari dalam hutan, saat berlari mencari, ia ternyata melihat seekor rubah yang terluka yang membuatnya memutuskan untuk mengakhiri luka rubah itu. Dan entah bagaimana, ia merasa mengenali mata yang memandangnya di dalam hutan itu. Ia pun kemudian lari dari hutan dan berharap menyelamatkan hidup yang bukan miliknya.”
“Gitu ya?” sahutnya sambil kemudian membuka matanya yang tadi terpejam dan kini memandangku. “Kamu nggak seram dengar lirik semacam itu sementara kamu duduk di pinggir hutan?”
Aku menggeleng yakin. Buatku, lagu yang dilantunkan Hozier ini tak membuatku seram sama sekali.
“Kamu antik juga ya,” ujarnya sambil tersenyum. Dalam hati aku merasa ganjil dengan cara ia menilaiku antik dan bukannya unik.
Tak ada yang tahu bahwa aku bisa menghentikan hujan. Sekaligus juga mendatangkan hujan. Aku tahu kemampuanku ini ketika mendapati ibuku tak pernah lagi pulang saat suatu senja ia berpamitan kepadaku dan berkata aku akan baik-baik saja dengan Nenek. Saat itu aku masih berusia tujuh tahun dan karena kesedihanku, selama sepekan hujan tak pernah berhenti turun di desaku. Barulah hujan berhenti ketika nenekku mengatakan jika aku tak berhenti sedih, aku akan dibuang nenekku ke dalam hutan. Barulah karena ketakutan akan ancamannya, aku pun berusaha tak sedih lagi dan hujan pun berhenti. Sebagai hadiah buatku, Nenek memberiku seekor anjing yang kunamai Sago.
Jadi ketika hujan terus-terusan turun selama tiga bulan terakhir ini membuat banyak tanaman di kebun-kebun di desaku jadi gagal panen, aku mulai cemas. Sebenarnya kecemasanku lebih karena aku tak lagi bisa sering menghabiskan pagi di pinggir hutan dan bertemu dengannya. Hujan membuatku terperangkap di dalam rumah. Aku makin merasa sedih ketika dia sendiri mengeluhkan hujan yang terus-terusan turun. Ternyata sebagian besar tanah perkebunan milik warga desa ini masih menjadi milik keluarganya selama bertahun-tahun. Meski ia sudah siap merugi, aku tahu ia terlihat kecewa berat dan membuat berat badannya turun dua kilo, yang membuatku tak suka karena aku lebih suka tubuhnya lebih berisi.
Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang mengaku sebagai kakek buyutku yang katanya mati di dalam hutan. Ia berkata kepadaku bahwa jika ingin menghentikan hujan, aku harus menemuinya di dalam hutan.
Pagi harinya, aku terbangun dan melihat mendung tebal membuat beranda rumahku tampak suram. Aku pun kemudian memakai sweter dan syal berwarna biru gelap yang pernah diberikan oleh dia. Kusempatkan berpamitan pada Nenek dan mengatakan jangan khawatir, aku pasti pulang jika hujan mulai turun.
Di pinggir hutan, aku memandang langit yang masih berwarna kelabu. Udara terasa dingin dan lembap. Rumput di bawah sepatuku terlihat basah sisa hujan deras yang turun tadi malam. Sembari satu telapak tanganku memegang syal di leherku, aku melangkah memasuki hutan. Tak kusangka, hutan ini tak menyeramkan seperti bayanganku sebelumnya. Pepohonan juga tak terlalu rapat, masih ada cahaya matahari yang jatuh ke tanah. Aku terus berjalan ke dalam, di antara pepohonan, dan berusaha menyingkirkan pikiran-pikiranku tentang larangan nenekku untuk memasuki hutan. Bagaimanapun, aku sudah berada di dalam. Tak mungkin lagi aku kembali pula, karena saat menoleh ke belakang, aku tak lagi bisa mengetahui jalan pulang.
Di sinilah aku pun tiba. Ketika kakiku mulai kelelahan berjalan, aku duduk di bawah sebatang pohon besar dan mengatur napasku. Hutan ini sunyi. Tak ada suara seekor binatang pun. Sambil duduk bersandar di batang pohon, aku melepaskan syal di leherku dan menaruhnya di pangkuanku. Kulayangkan pandanganku ke atas dan melihat langit di atas terlihat biru. Mendung yang tadinya terlihat tebal saat aku masih berada di pinggir hutan, telah hilang sama sekali. Aku pun merasa tenang karena aku telah menghentikan hujan untuknya.
Mungkin aku akan berada di sini, beberapa jam atau bisa jadi berhari-hari kemudian, atau bahkan bertahun-tahun lamanya. Hingga jantungku tak lagi berdetak, hingga tubuhku tak lagi utuh, atau hingga seekor binatang mengendus sisa jasadku. Hanya satu hal yang kuketahui sebelum aku terlelap, jauh di dalam hutan, entah di mana, aku menunggunya.
Dewi Ria Utari, lahir di Jepara, 15 Agustus 1977. Berkarier sebagai jurnalis di sejumlah media: Detik.com, Koran Tempo, Beritasatu, dan sekarang sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sarasvati. Sebagian besar karya cerpennya muncul di sejumlah buku antologi cerpen pilihan Kompas. Ia telah menerbitkan buku kumpulan cerpen Kekasih Marionette, novel remaja The Swan, dan novel Rumah Hujan.
Hutan itu mungkin terdiri dari berbagai macam pepohonan dan tumbuhan. Aku tak pernah yakin karena aku hanya berani sampai di batas luar hutan itu yang ditandai dengan sebuah lapangan rumput seluas kira-kira selapangan sepak bola, untuk memberi jarak dengan perkebunan bermacam-macam milik beberapa warga desa. Aku sebut bermacam-macam karena memang mereka menanami kebunnya dengan bermacam-macam tanaman secara bergantian. Tergantung musim dan tergantung mana yang harganya tengah bagus di pasaran. Sering kali penduduk di sini menanaminya dengan jagung, kedelai, sayur-sayuran seperti kacang panjang, hingga tembakau. Keluargaku juga memiliki sebagian lahan kebun, namun karena sudah tak ada lagi lelaki di rumah kami, aku dan nenekku menyewakannya kepada orang lain. Terserah mereka mau menanami apa.
Sering kali begitu subuh mulai memperlihatkan cahaya, aku berjalan-jalan melintasi kebun-kebun ini hingga tiba di lapangan rumput itu. Sembari duduk di atas rumput, aku memandangi tepian hutan itu dan mulai berpikir macam-macam. Sebagian besar pikiranku berkisar pada siapa yang pernah masuk ke sana, seperti apa suasana hutan di dalam sana, dan seperti apa binatang yang hidup di tengah hutan. Sering pula aku membawa tikar dan buku, menggelarnya sedikit mendekat tepian hutan, dan membaca buku yang kubawa sambil tiduran. Hingga matahari mulai panas pukul delapan pagi, aku baru mengakhiri kegiatanku ini.
Tak banyak penduduk desa yang berjalan mendatangi kebun hingga batas lapangan rumput yang menjadi tempat favoritku setiap pagi. Paling jika ada, itu pun mereka yang tengah memanen hasil kebunnya, atau memeriksa hingga sejauh mana tanaman mereka rusak jika hama tengah terjadi, atau mengejar tikus, musang, atau hewan perusak tanaman lainnya. Selebihnya, aku tak pernah terusik. Paling jika mereka menemukanku di sana, mereka selalu mengingatkanku untuk tak masuk hutan.
Sebenarnya yang dilarang untuk masuk ke hutan ini cuma keluargaku saja. Tapi lama kelamaan, kebanyakan warga desa ini juga enggan untuk masuk hutan. Sehingga lambat laun, mereka yang pernah melihat isi dalam hutan ini cuma segelintir orang tua yang masih tersisa. Mereka, orang-orang tua itu bercerita bahwa dulu mereka dan sesepuh mereka, sering menjelajah tanah desa hingga masuk ke dalam hutan. Namun mereka tak lagi berani masuk ketika suatu pagi, kakek buyutku hilang di dalam hutan dan tak pernah kembali. Ada yang bilang ia tersesat dan tak bisa menemukan jalan pulang, ada juga yang berkata bahwa ia dimangsa binatang buas, dan sebagian lagi percaya ia sebenarnya terpikat makhluk jejadian penunggu hutan. Sebelum meninggal, nenek buyutku bercerita kepadaku, bahwa sebenarnya suaminya ditangkap pada suatu subuh dan saat itu juga digelandang ke pinggir hutan bersama puluhan orang dari beberapa desa lain. Di sana mereka disuruh berdiri berjajar menghadap ke hutan, dan ditembak mati oleh lelaki-lelaki berseragam. Tubuh-tubuh mereka kemudian diseret dan dibawa masuk ke dalam hutan.
Cerita ini tak pernah berani dibisikkan oleh warga desa selama bertahun-tahun. Hingga sekarang, anak-anak muda di desa hanya menerima begitu saja sebuah kepercayaan bahwa hutan ini angker dan akan membuatmu hilang jika memasukinya.
Selain larangan memasuki hutan, aku juga memiliki satu larangan lagi dari nenekku. Larangan itu adalah berbicara dengan pemilik rumah paling besar di desaku ini, yang halaman rumahnya ada tiga pohon liang liu. Jangankan bicara, mendekati rumah itu pun aku tak diperbolehkan. Kata nenekku, aku bisa kesurupan atau kesambet jika mendekati rumah itu. Tapi kata beberapa tetanggaku, pemilik rumah itu dulu pernah naksir nenek buyutku tapi entah kenapa kalah bersaing dengan kakek buyutku yang akhirnya mendapatkan nenek buyutku. Kini rumah itu dihuni cucu pemilik rumah itu dan aku sama sekali belum pernah melihatnya karena aku patuh pada larangan nenekku.
Namun seminggu lalu aku tak lagi bisa mematuhi larangan nenekku karena pada suatu pagi, saat aku sedang tidur-tiduran di lapangan rumput favoritku sambil mendengarkan musik dan membaca buku, lelaki itu, cucu pemilik rumah yang naksir nenek buyutku itu, mendatangiku. Tanpa bisa kucegah, ia tiba-tiba nongol berdiri tepat di hadapanku, menutupi cahaya matahari.
Ia perlahan bergerak mengambil posisi duduk di depanku. Memudahkan aku untuk melihatnya dari dekat. Sinar matahari pagi membuat beberapa bagian rambutnya yang telah memutih tampak keperakan. Kutaksir umurnya sekira awal 60-an tahun. Sejumlah kerut di beberapa bagian wajahnya, menyiratkan perjalanan masa yang membuat kematangan tampak terlihat gagah di mataku. Matanya yang menyiratkan senyum, memunculkan geliat di perutku setiap kali aku naik ke atap rumah jika nenek memintaku membenahi genteng yang bergeser. Tanpa bisa kukendalikan, aku merasakan telapak tanganku membasah dan kubetulkan posisi dudukku yang tadi sekenanya saja karena aku hampir selalu sendirian di tempat ini.
“Kamu tak takut digondol penunggu hutan di belakangmu?” tanya lelaki ini sambil tersenyum. Matanya melirik ke arah bukuku yang tergeletak di pangkuanku. Aku menggeleng menjawab pertanyaannya.
“Great Expectations. Charles Dickens. Kamu sedang punya harapan besar ya dengan baca buku itu?” tanyanya lagi dengan nada menggoda. Aku mengangkat bahu menjawab pertanyaannya.
“Entahlah. Aku sepertinya tak pernah berharap akan apa pun. Lagi pula ceritanya bikin aku tak berani berharap apa pun.”
“Gitu ya?” sahutnya pendek. Di banyak percakapan setelahnya, aku tandai bahwa ia sering kali menimpali sesuatu dengan kata-kata ini.
“Kamu tak berharap untuk melihat hutan di belakangmu?” tanya dia lagi sambil bergerak mencari posisi tidur telentang di sebelahku. Kedua tangannya melipat menopang kepalanya. Matanya terpejam sehingga dia tidak melihat aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaannya. Sepertinya jawabanku tak penting baginya karena kemudian sambil mengembuskan napas, ia berkata, “Enak juga ya tiduran di sini.” Ia kemudian membuka matanya dan mengarahkan pandangannya kepadaku. “Aku boleh ya, ikut menemanimu di sini?” Aku mengangguk. Percuma juga melarang karena ia sudah terbaring di sebelahku.
Tak lama dalam keheningan – aku sempat menyangka ia tertidur-tiba-tiba ia menanyakan lagu apa yang tengah kudengarkan. “Lagu In The Wood Somewhere,” ujarku sambil melepas sepenunya satu earphone yang tadi masih menempel di lubang telinga kiriku.
“Lagunya tentang apa?”
“Lirik-liriknya mengumpulkan potongan-potongan fragmen tentang seseorang yang mendengar teriakan perempuan dari dalam hutan, saat berlari mencari, ia ternyata melihat seekor rubah yang terluka yang membuatnya memutuskan untuk mengakhiri luka rubah itu. Dan entah bagaimana, ia merasa mengenali mata yang memandangnya di dalam hutan itu. Ia pun kemudian lari dari hutan dan berharap menyelamatkan hidup yang bukan miliknya.”
“Gitu ya?” sahutnya sambil kemudian membuka matanya yang tadi terpejam dan kini memandangku. “Kamu nggak seram dengar lirik semacam itu sementara kamu duduk di pinggir hutan?”
Aku menggeleng yakin. Buatku, lagu yang dilantunkan Hozier ini tak membuatku seram sama sekali.
“Kamu antik juga ya,” ujarnya sambil tersenyum. Dalam hati aku merasa ganjil dengan cara ia menilaiku antik dan bukannya unik.
Tak ada yang tahu bahwa aku bisa menghentikan hujan. Sekaligus juga mendatangkan hujan. Aku tahu kemampuanku ini ketika mendapati ibuku tak pernah lagi pulang saat suatu senja ia berpamitan kepadaku dan berkata aku akan baik-baik saja dengan Nenek. Saat itu aku masih berusia tujuh tahun dan karena kesedihanku, selama sepekan hujan tak pernah berhenti turun di desaku. Barulah hujan berhenti ketika nenekku mengatakan jika aku tak berhenti sedih, aku akan dibuang nenekku ke dalam hutan. Barulah karena ketakutan akan ancamannya, aku pun berusaha tak sedih lagi dan hujan pun berhenti. Sebagai hadiah buatku, Nenek memberiku seekor anjing yang kunamai Sago.
Jadi ketika hujan terus-terusan turun selama tiga bulan terakhir ini membuat banyak tanaman di kebun-kebun di desaku jadi gagal panen, aku mulai cemas. Sebenarnya kecemasanku lebih karena aku tak lagi bisa sering menghabiskan pagi di pinggir hutan dan bertemu dengannya. Hujan membuatku terperangkap di dalam rumah. Aku makin merasa sedih ketika dia sendiri mengeluhkan hujan yang terus-terusan turun. Ternyata sebagian besar tanah perkebunan milik warga desa ini masih menjadi milik keluarganya selama bertahun-tahun. Meski ia sudah siap merugi, aku tahu ia terlihat kecewa berat dan membuat berat badannya turun dua kilo, yang membuatku tak suka karena aku lebih suka tubuhnya lebih berisi.
Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang mengaku sebagai kakek buyutku yang katanya mati di dalam hutan. Ia berkata kepadaku bahwa jika ingin menghentikan hujan, aku harus menemuinya di dalam hutan.
Pagi harinya, aku terbangun dan melihat mendung tebal membuat beranda rumahku tampak suram. Aku pun kemudian memakai sweter dan syal berwarna biru gelap yang pernah diberikan oleh dia. Kusempatkan berpamitan pada Nenek dan mengatakan jangan khawatir, aku pasti pulang jika hujan mulai turun.
Di pinggir hutan, aku memandang langit yang masih berwarna kelabu. Udara terasa dingin dan lembap. Rumput di bawah sepatuku terlihat basah sisa hujan deras yang turun tadi malam. Sembari satu telapak tanganku memegang syal di leherku, aku melangkah memasuki hutan. Tak kusangka, hutan ini tak menyeramkan seperti bayanganku sebelumnya. Pepohonan juga tak terlalu rapat, masih ada cahaya matahari yang jatuh ke tanah. Aku terus berjalan ke dalam, di antara pepohonan, dan berusaha menyingkirkan pikiran-pikiranku tentang larangan nenekku untuk memasuki hutan. Bagaimanapun, aku sudah berada di dalam. Tak mungkin lagi aku kembali pula, karena saat menoleh ke belakang, aku tak lagi bisa mengetahui jalan pulang.
Di sinilah aku pun tiba. Ketika kakiku mulai kelelahan berjalan, aku duduk di bawah sebatang pohon besar dan mengatur napasku. Hutan ini sunyi. Tak ada suara seekor binatang pun. Sambil duduk bersandar di batang pohon, aku melepaskan syal di leherku dan menaruhnya di pangkuanku. Kulayangkan pandanganku ke atas dan melihat langit di atas terlihat biru. Mendung yang tadinya terlihat tebal saat aku masih berada di pinggir hutan, telah hilang sama sekali. Aku pun merasa tenang karena aku telah menghentikan hujan untuknya.
Mungkin aku akan berada di sini, beberapa jam atau bisa jadi berhari-hari kemudian, atau bahkan bertahun-tahun lamanya. Hingga jantungku tak lagi berdetak, hingga tubuhku tak lagi utuh, atau hingga seekor binatang mengendus sisa jasadku. Hanya satu hal yang kuketahui sebelum aku terlelap, jauh di dalam hutan, entah di mana, aku menunggunya.
Dewi Ria Utari, lahir di Jepara, 15 Agustus 1977. Berkarier sebagai jurnalis di sejumlah media: Detik.com, Koran Tempo, Beritasatu, dan sekarang sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sarasvati. Sebagian besar karya cerpennya muncul di sejumlah buku antologi cerpen pilihan Kompas. Ia telah menerbitkan buku kumpulan cerpen Kekasih Marionette, novel remaja The Swan, dan novel Rumah Hujan.
Komentar
Posting Komentar