Gatot Prakosa
Sepasang burung pipit hinggap di bahunya. Dia terkejut, dan burung-burung kecil itu terbang. Di pohon talok di pekarangan bangsal perawatan, belakang kami, keduanya bercicit. Seekor pipit, entah salah satu dari dua yang tadi atau pipit lainnya, hinggap di atas kepalaku. Lalu seekor lagi menyusul ke bahu kananku. Aku merasa seperti nabi Sulaiman.
Sepasang burung pipit hinggap di bahunya. Dia terkejut, dan burung-burung kecil itu terbang. Di pohon talok di pekarangan bangsal perawatan, belakang kami, keduanya bercicit. Seekor pipit, entah salah satu dari dua yang tadi atau pipit lainnya, hinggap di atas kepalaku. Lalu seekor lagi menyusul ke bahu kananku. Aku merasa seperti nabi Sulaiman.
“Apa aku masih berbau keju? Burung pipit barangkali suka keju.”
“Gaklah, Yah. Kalau bau, semua orang pasti lari ketakutan.”
Aku membayangkannya. Istriku benar, aku sudah lama tidak membuat kue, jadi tidak mungkin masih bau keju. Burung di atas rambutku mematuki kepalaku. Aku membiarkannya saja. Tapi istriku mengusirnya pergi.
“Dulu aku pernah bilang padamu. Waktu kita mengadopsi anak itu. Tapi kau cuma ketawa waktu itu.”
Istriku diam. Aku tahu dia sedang mengingat-ingat.
“Apa sih?”
“Dulu waktu kita mengambil anak itu, aku bilang padamu, kalau aku membawanya pulang agar aku belajar kehilangan.”
“Apa kau pernah bilang begitu? Kok aku lupa, ya?”
“Aku sudah belajar menghadapi dirimu yang jadi pelupa.”
“Apa kamu dapat firasat bakal kehilangan anak itu?”
Dua perawat masuk ruang perawatan di depanku. Pakaiannya yang putih-putih, kadang masih menyakitiku. Seperti sekarang.
“Jangan khawatir, Yah. Anak kita sehat. Sedang digendong perempuan itu. Entah siapa dia.”
“Kau tadi bertanya apa maksud belajar kehilangan itu artinya aku tahu anak itu akan mati? Tidak. Aku tidak membayangkan seperti itu. Aku cuma bilang kita akan belajar kehilangan.”
Kulihat istriku terbengong.
“O, aku ingat. Dulu sewaktu kita menikah, kau pernah mengatakan yang seperti itu juga. Kamu menikah supaya kamu belajar kehilangan, begitu kan?”
Aku menggaruk kepalaku. Dia mengingatnya. Kali ini aku yang lupa.
“Ya. Aku marah padamu. Aku enggak mau ke tempat tidur, padahal itu malam pertama kita. Kamu berusaha menjelaskannya. Dan aku tidak peduli. Kamu meracau tak jelas.”
Aku baru ingat. Aku ingat sampai berbusa mulutku meminta maaf dan menjelaskannya.
“Jadi, dulu kamu tidak mendengarkan penjelasannya, ya? Kau tidak memaafkan aku sampai sekarang? Kupikir urusan itu sudah selesai.”
“Kau sudah merencanakan bercerai, bahkan sebelum kita menikah. Bagaimana bisa seorang perempuan akan sabar mendengar suaminya menjelaskan hal semacam itu? Aku kecewa waktu itu. Karena aku sudah sah jadi istrimu dan jatuh cinta padamu. Aku memikirkannya. Bisa apa aku?”
“Ya sudah, maafkan aku.”
“Sekarang anak itu. Kau ingin belajar kehilangan anakmu? Kau ingin anakmu pergi? Kau ingin anakmu mati?” Dia berdiri dan memukuli aku. “Sialan kamu! Lihat! Lihat! Kau dan aku yang mati! Ini azab buat pikiran jahatmu! Kita benar-benar berpisah dengan anak itu.”
“Apa aku keliru?”
“Omong apa sih kamu.”
“Baiklah, baiklah. Aduh. Jangan pukuli aku seperti maling begini. Aku jelaskan lagi, deh.”
Dia duduk lagi. Kukira dia tahu tak ada gunanya memukuli aku.
“Yang datang pasti akan pergi. Kamu percaya itu, kan?” Dia cemberut. “Aku menikah denganmu. Sama seperti yang lahir akan mati. Kita tidak tahu berapa kali nantinya kamu kehilangan anting. Berapa kali aku nantinya kehilangan uang. Aku cuma mau bilang: kita benar-benar belajar kehilangan sesuatu biar kamu tidak terlalu jatuh kalau aku mati duluan.”
Istriku diam. Aku tak menyusulkan dengan kata-kata lainnya. Biar dia punya cukup waktu memikirkannya.
“Apa kamu sudah belajar kehilangan pada akhirnya?” tanyanya setelah jeda yang lumayan lama, sampai lima putaran napas.
“Kau mau memaafkan aku?”
Kulihat senyumnya yang malu-malu.
“Apakah kita sudah belajar kehilangan dia?”
Aku tertegun. “Anak itu? Kita tidak belajar. Tidak sempat.”
“Anak itulah yang belajar kehilangan. Bukan kita.”
“Tapi dia masih 3 bulan. Dia belum bisa belajar yang abstrak seperti itu.”
Aku setuju. Istriku benar. Tak ada yang belajar kehilangan dari anak itu. Anak itu belum sempat masuk rumah kami. Karena di perjalanan pulang dari panti, mobil kami ditabrak truk bermuatan pasir. Anak itu selamat dan dibawa kembali ke rumah panti asuhan. Orang-orang tidak melanjutkan mengurus surat-surat keperluan adopsi yang menurut rencana akan disusulkan ke rumah.
Perawat yang tadi masuk ruangan, keluar lagi, persis ketika masuk, dengan baki dan kertas-kertas, juga seragam putihnya.
“Bagaimana kondisi orang tua itu? Kemarin suaminya mati tiba-tiba. Jantung. Apa selalu jantung yang datang tiba-tiba? Sekarang, baru tiga bulan setelah si suami. Mungkinkah dia akan menyusulnya?”
“Kalau ibu tua itu mati. Anak itu berarti sudah kehilangan dua ayah-ibunya. Kita tidak tahu ayah-ibu yang melahirkannya. Kalau mereka juga sudah mati, dan karenanya anak itu terdampar di panti itu, berarti anak itu punya tiga ayah dan tiga ibu yang mati.”
“Dan ibu muda, mungkin adik dari ibu ketiga itu, akan jadi ibu anak itu selanjutnya. Dia ibu ke-4. Suaminya jadi ayah ke-4.”
“Kalau begini, kita akan benar-benar menghilang. Tidak ada yang mengingat kita sebagai orangtua ke-2 anak itu.”
“Kau kira begitu?”
“Sangat disayangkan, begitulah kiranya. Kecuali ada orang di panti yang cerita kalau dulu anak itu sudah dibawa orangtua asuh, orangtua malang, yang hanya sempat membawanya keluar panti selama duapuluh menit saja.”
“Anting-anting anak itu. Kau lihat, kan? Itu pemberianku.”
“Kamu sempat memakaikannya?”
“Di panti itu, sebelum berangkat. Perawat di panti yang memakaikannya. Anting yang dipakainya murahan, karenanya aku membelikannya. Itu berlian. Aku memilihnya sendiri.”
“Kamu memberinya tanda. Kamu lebih beruntung daripada aku. Meski tanda itu tidak menyebutkan namamu. Orang tahunya anting itu pemberian orangtuanya yang sekarang sedang sakit itu.”
Hari kelima di rumah sakit. Ibu yang ke-3 putri kami wafat.
“Anak itu sepertinya pembawa sial.”
“Sekarang anak itu punya 4 orang ibu 4 orang bapak. Serakah ya.”
“Kita benar-benar menghilang dari dunia anak itu. Anting-antingmu jadi tak berguna menolongmu eksis. Berapa juta kau membelinya? Tak ada yang mengingatkan anak itu kepada kita.”
“Katamu, kita belajar kehilangan dari anak itu.”
Aku tertunduk lesu. “Kamu benar.”
Anak itu sudah remaja sekarang. Dia perempuan yang baik hati. Suka menyapa tetangga, selalu menurut perintah dan larangan ayah-ibu ke-4 yang sudah menginjak usia 50.
Ayah-ibu yang ke-3 sekarang ada di sini, bersama kami. Mereka selalu berisik. Ada saja yang mereka bisa bicarakan. Aku dan istriku biasanya memilih menjauh saja. Mereka tahu kok, kalau kami tidak suka keramaian. Seringnya mereka yang menyingkir. Karena bagaimanapun kami punya hak sebagai orangtua yang lebih duluan dari mereka. Tapi mereka tidak mau jauh-jauh. Mereka seperti kami juga, menyayangi anak perempuan itu. Mereka ingin ikut mengawasi dan menjaganya.
Anak itu duduk di kelas II SMP. Saat ini, seorang teman lelaki datang dan kami para ayah-ibu mencium gelagat yang buruk. Orangtua yang ke-4 putri kami terlalu sibuk dengan pekerjaan, meninggalkan anak itu dengan pembantunya yang kurang perhatian.
Cinta selalu sulit dimengerti. Tapi kami sepakat, putri kami jangan jatuh cinta dulu. Masih muda, belum mengenal dunia.
Anak lelaki itu sering datang meminjam dan mengembalikan buku atau kertas-kertas entah apa. Berduaan di teras, sampai orangtua ke-4 pulang.
Suatu kali lengan kausnya tersingkap. Anak lelaki itu menggaruk kulitnya di situ, mungkin karena digigit semut atau apa. Si ibu ke-3 yang melihat tato itu. Karena tato itulah, kami para orangtua jadi cemas.
“Orangtua anak itu keterlaluan. Maksudku orangtua ke-4.”
“Pembantunya itu yang kebangetan.”
“Lantas mau apa? Kita sudah janji mau melindungi putri kita kan?”
“Kita mesti turun tangan. Demi putri tercinta.”
“Ya. Anak ini harus dijauhkan dari putri kita, secepatnya. Jangan sampai terlambat.”
“Tapi apa yang bisa kita lakukan? Anak itu tidak takut hantu. Aku sudah menampakkan diri di depannya. Dia hanya membuang muka.”
“Bagaimana kalau kita bagi tugas. Kalian mengawasi lelaki itu,” usul si ayah ke-3. “Mengikutinya ke mana pun perginya. Kita perlu mengenal anak lelaki ini sambil kita cari tahu bagaimana cara menjauhkannya dari putri kita.”
“Kalau ternyata dia anak lelaki yang baik, apa kita akan biarkan dia mendekati anak kita?”
“Kita akan bicarakan lagi nanti. Kita masih akan sering bertemu.”
Aku dan istriku mengalah. Kami yang pergi mengikuti anak lelaki itu. Kami jaga putri kami berempat dengan cara itu.
Masuk ke rumah dan kamar anak lelaki itu membuat kami jijik. Kamar itu seperti kapal karam. Berantakan. Ayah-ibunya kerja di pasar. Dia tiduran saja seharian sejak pulang sekolah, memainkan HP-nya. Ia menelepon putri kami di jam 8 malam.
Aku kangen kamu, Ve/ …/ Pingin denger ceritamu./ ./ Rumahmu sepi, kan?/ ./ Bayangin aku ya./ ..
Kutarik istriku menjauh. Dia bisa pingsan dengar perbincangan telepon itu. Aku juga cemas. Meski aku belum pernah lihat yang seperti kami ini pingsan, aku cuma khawatir.
Telepon dan sms, setiap waktu, seolah tak perlu mengisi pulsa. Lama-lama aku dan istriku terbiasa. Celoteh anak-anak, jangan terlalu dibuat risau. Semuanya tampak baik-baik saja. Anak lelaki itu tidak aneh-aneh. Sebulan kami memata-matainya.
Sampai suatu hari aku menemukan sebuah alat isap narkoba di tempat tersembunyi, di belakang lemari yang tidak bisa dibuat mepet dinding. Tapi kami tidak pernah melihat dia memakainya. Kami sudah mengawasinya siang-malam selama satu bulan. Barangkali barang itu sudah ada di situ bertahun-tahun lalu, mungkin anak itu insaf, atau barang itu kepunyaan temannya yang disembunyikan tanpa dia tahu.
Kami mengikutinya ke kamar mandi, mengawasinya ketika dia tidur, melamun. Kami bertahan mengikutinya sampai orangtua ke-3 putri kami yang cerewet itu puas kemauannya dipatuhi.
Tiap lelaki ini pergi ke putri kami, kira-kira dua hari sekali, kami senang bisa melihat putri kami. Kami senang sekaligus cemas.
Suatu ketika lelaki itu mau mencoba-coba merayu gadis kecil kami mengajak bermain cinta. Dari gelagat dan aroma tubuhnya, bisa kami menduga begitu. Para ayah-ibu geger. Putri kami malu-malu, dia tidak melakukan penolakan.
Kami harus melakukan sesuatu. Putri kami masih 15 tahun, dia belum tahu perbuatan seperti apa yang mungkin akan disesalinya.
Kami buat putri kami seolah melihat dada lelaki itu penuh bulu hitam, membuatnya jijik. Ia ketakutan ketika lelaki itu mendekat. Kami buat lelaki itu melihat seolah ada pisau di tangan putri kami, diacung-acungkan ke arahnya.
Berhasil! Anak lelaki itu lari ketakutan. Istriku sampai tertawa. Tak disangka, kami berhasil membuatnya pergi. Orangtua ke-3 putri kami gembira sekali, mengucapkan terima kasih dan bersoja ke kami.
Keadaan jadi berubah ketika putri kecil kami melangkah mundur ke kamar dengan air mata mengucur deras. Kami semua mengikutinya ke dalam kamar. Tidak ada sukacita lagi.
Kami bisa membayangkan perasaan macam apa yang bisa membuat dia seperti itu. Putri kami menyesal atas kejadian tadi. Ia merasa sudah siap menyerahkan diri sepenuhnya untuk cinta. Ia menyesal kenapa ia masih ragu-ragu. Ia bisa menerima keadaan lelaki itu. Meski dadanya berambut lebat seperti kingkong. Ia tahu cinta seharusnya meniadakan ketakutan seperti itu. Ia bersedih sekarang. Para ayah-ibu terdiam di sekeliling putri kami.
“Ternyata butuh kesabaran besar mengurus seorang anak perempuan,” seloroh istriku.
“Tidak apa-apa. Dia perlu belajar kehilangan. Kehilangan satu cinta tanpa pengorbanan, itu sungguh baik sekali. Paling tidak sebulan, ya, setelah sebulan dia akan ceria lagi.”
“Kalau dia bunuh diri setelah ini, kau tak bisa bilang begitu.”
“Kita berharap dia masih sempat belajar kehilangan.”
Gatot Prakosa, lahir di Jakarta, 28 September 1976. Kini menetap di Solo. Menulis buku Para Pujangga (novel, Mediatama, 2007), Putera Batu (buku anak, Mitra Media Pustaka, 2008), Putera Naga (buku anak, ., 2008). Karya lain yang pernah dipublikasikan: “Sekoci” dan “Daun Terakhir”, dan “Burung Pipit di Akanunu” (cerpen di Femina), beberapa cerpen pernah dimuat di Solopos, Joglosemar, Wawasan, beberapa kali ikut antologi terbitan TBJT. Berkegiatan di komunitas sastra Alit Solo.
“Gaklah, Yah. Kalau bau, semua orang pasti lari ketakutan.”
Aku membayangkannya. Istriku benar, aku sudah lama tidak membuat kue, jadi tidak mungkin masih bau keju. Burung di atas rambutku mematuki kepalaku. Aku membiarkannya saja. Tapi istriku mengusirnya pergi.
“Dulu aku pernah bilang padamu. Waktu kita mengadopsi anak itu. Tapi kau cuma ketawa waktu itu.”
Istriku diam. Aku tahu dia sedang mengingat-ingat.
“Apa sih?”
“Dulu waktu kita mengambil anak itu, aku bilang padamu, kalau aku membawanya pulang agar aku belajar kehilangan.”
“Apa kau pernah bilang begitu? Kok aku lupa, ya?”
“Aku sudah belajar menghadapi dirimu yang jadi pelupa.”
“Apa kamu dapat firasat bakal kehilangan anak itu?”
Dua perawat masuk ruang perawatan di depanku. Pakaiannya yang putih-putih, kadang masih menyakitiku. Seperti sekarang.
“Jangan khawatir, Yah. Anak kita sehat. Sedang digendong perempuan itu. Entah siapa dia.”
“Kau tadi bertanya apa maksud belajar kehilangan itu artinya aku tahu anak itu akan mati? Tidak. Aku tidak membayangkan seperti itu. Aku cuma bilang kita akan belajar kehilangan.”
Kulihat istriku terbengong.
“O, aku ingat. Dulu sewaktu kita menikah, kau pernah mengatakan yang seperti itu juga. Kamu menikah supaya kamu belajar kehilangan, begitu kan?”
Aku menggaruk kepalaku. Dia mengingatnya. Kali ini aku yang lupa.
“Ya. Aku marah padamu. Aku enggak mau ke tempat tidur, padahal itu malam pertama kita. Kamu berusaha menjelaskannya. Dan aku tidak peduli. Kamu meracau tak jelas.”
Aku baru ingat. Aku ingat sampai berbusa mulutku meminta maaf dan menjelaskannya.
“Jadi, dulu kamu tidak mendengarkan penjelasannya, ya? Kau tidak memaafkan aku sampai sekarang? Kupikir urusan itu sudah selesai.”
“Kau sudah merencanakan bercerai, bahkan sebelum kita menikah. Bagaimana bisa seorang perempuan akan sabar mendengar suaminya menjelaskan hal semacam itu? Aku kecewa waktu itu. Karena aku sudah sah jadi istrimu dan jatuh cinta padamu. Aku memikirkannya. Bisa apa aku?”
“Ya sudah, maafkan aku.”
“Sekarang anak itu. Kau ingin belajar kehilangan anakmu? Kau ingin anakmu pergi? Kau ingin anakmu mati?” Dia berdiri dan memukuli aku. “Sialan kamu! Lihat! Lihat! Kau dan aku yang mati! Ini azab buat pikiran jahatmu! Kita benar-benar berpisah dengan anak itu.”
“Apa aku keliru?”
“Omong apa sih kamu.”
“Baiklah, baiklah. Aduh. Jangan pukuli aku seperti maling begini. Aku jelaskan lagi, deh.”
Dia duduk lagi. Kukira dia tahu tak ada gunanya memukuli aku.
“Yang datang pasti akan pergi. Kamu percaya itu, kan?” Dia cemberut. “Aku menikah denganmu. Sama seperti yang lahir akan mati. Kita tidak tahu berapa kali nantinya kamu kehilangan anting. Berapa kali aku nantinya kehilangan uang. Aku cuma mau bilang: kita benar-benar belajar kehilangan sesuatu biar kamu tidak terlalu jatuh kalau aku mati duluan.”
Istriku diam. Aku tak menyusulkan dengan kata-kata lainnya. Biar dia punya cukup waktu memikirkannya.
“Apa kamu sudah belajar kehilangan pada akhirnya?” tanyanya setelah jeda yang lumayan lama, sampai lima putaran napas.
“Kau mau memaafkan aku?”
Kulihat senyumnya yang malu-malu.
“Apakah kita sudah belajar kehilangan dia?”
Aku tertegun. “Anak itu? Kita tidak belajar. Tidak sempat.”
“Anak itulah yang belajar kehilangan. Bukan kita.”
“Tapi dia masih 3 bulan. Dia belum bisa belajar yang abstrak seperti itu.”
Aku setuju. Istriku benar. Tak ada yang belajar kehilangan dari anak itu. Anak itu belum sempat masuk rumah kami. Karena di perjalanan pulang dari panti, mobil kami ditabrak truk bermuatan pasir. Anak itu selamat dan dibawa kembali ke rumah panti asuhan. Orang-orang tidak melanjutkan mengurus surat-surat keperluan adopsi yang menurut rencana akan disusulkan ke rumah.
Perawat yang tadi masuk ruangan, keluar lagi, persis ketika masuk, dengan baki dan kertas-kertas, juga seragam putihnya.
“Bagaimana kondisi orang tua itu? Kemarin suaminya mati tiba-tiba. Jantung. Apa selalu jantung yang datang tiba-tiba? Sekarang, baru tiga bulan setelah si suami. Mungkinkah dia akan menyusulnya?”
“Kalau ibu tua itu mati. Anak itu berarti sudah kehilangan dua ayah-ibunya. Kita tidak tahu ayah-ibu yang melahirkannya. Kalau mereka juga sudah mati, dan karenanya anak itu terdampar di panti itu, berarti anak itu punya tiga ayah dan tiga ibu yang mati.”
“Dan ibu muda, mungkin adik dari ibu ketiga itu, akan jadi ibu anak itu selanjutnya. Dia ibu ke-4. Suaminya jadi ayah ke-4.”
“Kalau begini, kita akan benar-benar menghilang. Tidak ada yang mengingat kita sebagai orangtua ke-2 anak itu.”
“Kau kira begitu?”
“Sangat disayangkan, begitulah kiranya. Kecuali ada orang di panti yang cerita kalau dulu anak itu sudah dibawa orangtua asuh, orangtua malang, yang hanya sempat membawanya keluar panti selama duapuluh menit saja.”
“Anting-anting anak itu. Kau lihat, kan? Itu pemberianku.”
“Kamu sempat memakaikannya?”
“Di panti itu, sebelum berangkat. Perawat di panti yang memakaikannya. Anting yang dipakainya murahan, karenanya aku membelikannya. Itu berlian. Aku memilihnya sendiri.”
“Kamu memberinya tanda. Kamu lebih beruntung daripada aku. Meski tanda itu tidak menyebutkan namamu. Orang tahunya anting itu pemberian orangtuanya yang sekarang sedang sakit itu.”
Hari kelima di rumah sakit. Ibu yang ke-3 putri kami wafat.
“Anak itu sepertinya pembawa sial.”
“Sekarang anak itu punya 4 orang ibu 4 orang bapak. Serakah ya.”
“Kita benar-benar menghilang dari dunia anak itu. Anting-antingmu jadi tak berguna menolongmu eksis. Berapa juta kau membelinya? Tak ada yang mengingatkan anak itu kepada kita.”
“Katamu, kita belajar kehilangan dari anak itu.”
Aku tertunduk lesu. “Kamu benar.”
Anak itu sudah remaja sekarang. Dia perempuan yang baik hati. Suka menyapa tetangga, selalu menurut perintah dan larangan ayah-ibu ke-4 yang sudah menginjak usia 50.
Ayah-ibu yang ke-3 sekarang ada di sini, bersama kami. Mereka selalu berisik. Ada saja yang mereka bisa bicarakan. Aku dan istriku biasanya memilih menjauh saja. Mereka tahu kok, kalau kami tidak suka keramaian. Seringnya mereka yang menyingkir. Karena bagaimanapun kami punya hak sebagai orangtua yang lebih duluan dari mereka. Tapi mereka tidak mau jauh-jauh. Mereka seperti kami juga, menyayangi anak perempuan itu. Mereka ingin ikut mengawasi dan menjaganya.
Anak itu duduk di kelas II SMP. Saat ini, seorang teman lelaki datang dan kami para ayah-ibu mencium gelagat yang buruk. Orangtua yang ke-4 putri kami terlalu sibuk dengan pekerjaan, meninggalkan anak itu dengan pembantunya yang kurang perhatian.
Cinta selalu sulit dimengerti. Tapi kami sepakat, putri kami jangan jatuh cinta dulu. Masih muda, belum mengenal dunia.
Anak lelaki itu sering datang meminjam dan mengembalikan buku atau kertas-kertas entah apa. Berduaan di teras, sampai orangtua ke-4 pulang.
Suatu kali lengan kausnya tersingkap. Anak lelaki itu menggaruk kulitnya di situ, mungkin karena digigit semut atau apa. Si ibu ke-3 yang melihat tato itu. Karena tato itulah, kami para orangtua jadi cemas.
“Orangtua anak itu keterlaluan. Maksudku orangtua ke-4.”
“Pembantunya itu yang kebangetan.”
“Lantas mau apa? Kita sudah janji mau melindungi putri kita kan?”
“Kita mesti turun tangan. Demi putri tercinta.”
“Ya. Anak ini harus dijauhkan dari putri kita, secepatnya. Jangan sampai terlambat.”
“Tapi apa yang bisa kita lakukan? Anak itu tidak takut hantu. Aku sudah menampakkan diri di depannya. Dia hanya membuang muka.”
“Bagaimana kalau kita bagi tugas. Kalian mengawasi lelaki itu,” usul si ayah ke-3. “Mengikutinya ke mana pun perginya. Kita perlu mengenal anak lelaki ini sambil kita cari tahu bagaimana cara menjauhkannya dari putri kita.”
“Kalau ternyata dia anak lelaki yang baik, apa kita akan biarkan dia mendekati anak kita?”
“Kita akan bicarakan lagi nanti. Kita masih akan sering bertemu.”
Aku dan istriku mengalah. Kami yang pergi mengikuti anak lelaki itu. Kami jaga putri kami berempat dengan cara itu.
Masuk ke rumah dan kamar anak lelaki itu membuat kami jijik. Kamar itu seperti kapal karam. Berantakan. Ayah-ibunya kerja di pasar. Dia tiduran saja seharian sejak pulang sekolah, memainkan HP-nya. Ia menelepon putri kami di jam 8 malam.
Aku kangen kamu, Ve/ …/ Pingin denger ceritamu./ ./ Rumahmu sepi, kan?/ ./ Bayangin aku ya./ ..
Kutarik istriku menjauh. Dia bisa pingsan dengar perbincangan telepon itu. Aku juga cemas. Meski aku belum pernah lihat yang seperti kami ini pingsan, aku cuma khawatir.
Telepon dan sms, setiap waktu, seolah tak perlu mengisi pulsa. Lama-lama aku dan istriku terbiasa. Celoteh anak-anak, jangan terlalu dibuat risau. Semuanya tampak baik-baik saja. Anak lelaki itu tidak aneh-aneh. Sebulan kami memata-matainya.
Sampai suatu hari aku menemukan sebuah alat isap narkoba di tempat tersembunyi, di belakang lemari yang tidak bisa dibuat mepet dinding. Tapi kami tidak pernah melihat dia memakainya. Kami sudah mengawasinya siang-malam selama satu bulan. Barangkali barang itu sudah ada di situ bertahun-tahun lalu, mungkin anak itu insaf, atau barang itu kepunyaan temannya yang disembunyikan tanpa dia tahu.
Kami mengikutinya ke kamar mandi, mengawasinya ketika dia tidur, melamun. Kami bertahan mengikutinya sampai orangtua ke-3 putri kami yang cerewet itu puas kemauannya dipatuhi.
Tiap lelaki ini pergi ke putri kami, kira-kira dua hari sekali, kami senang bisa melihat putri kami. Kami senang sekaligus cemas.
Suatu ketika lelaki itu mau mencoba-coba merayu gadis kecil kami mengajak bermain cinta. Dari gelagat dan aroma tubuhnya, bisa kami menduga begitu. Para ayah-ibu geger. Putri kami malu-malu, dia tidak melakukan penolakan.
Kami harus melakukan sesuatu. Putri kami masih 15 tahun, dia belum tahu perbuatan seperti apa yang mungkin akan disesalinya.
Kami buat putri kami seolah melihat dada lelaki itu penuh bulu hitam, membuatnya jijik. Ia ketakutan ketika lelaki itu mendekat. Kami buat lelaki itu melihat seolah ada pisau di tangan putri kami, diacung-acungkan ke arahnya.
Berhasil! Anak lelaki itu lari ketakutan. Istriku sampai tertawa. Tak disangka, kami berhasil membuatnya pergi. Orangtua ke-3 putri kami gembira sekali, mengucapkan terima kasih dan bersoja ke kami.
Keadaan jadi berubah ketika putri kecil kami melangkah mundur ke kamar dengan air mata mengucur deras. Kami semua mengikutinya ke dalam kamar. Tidak ada sukacita lagi.
Kami bisa membayangkan perasaan macam apa yang bisa membuat dia seperti itu. Putri kami menyesal atas kejadian tadi. Ia merasa sudah siap menyerahkan diri sepenuhnya untuk cinta. Ia menyesal kenapa ia masih ragu-ragu. Ia bisa menerima keadaan lelaki itu. Meski dadanya berambut lebat seperti kingkong. Ia tahu cinta seharusnya meniadakan ketakutan seperti itu. Ia bersedih sekarang. Para ayah-ibu terdiam di sekeliling putri kami.
“Ternyata butuh kesabaran besar mengurus seorang anak perempuan,” seloroh istriku.
“Tidak apa-apa. Dia perlu belajar kehilangan. Kehilangan satu cinta tanpa pengorbanan, itu sungguh baik sekali. Paling tidak sebulan, ya, setelah sebulan dia akan ceria lagi.”
“Kalau dia bunuh diri setelah ini, kau tak bisa bilang begitu.”
“Kita berharap dia masih sempat belajar kehilangan.”
Gatot Prakosa, lahir di Jakarta, 28 September 1976. Kini menetap di Solo. Menulis buku Para Pujangga (novel, Mediatama, 2007), Putera Batu (buku anak, Mitra Media Pustaka, 2008), Putera Naga (buku anak, ., 2008). Karya lain yang pernah dipublikasikan: “Sekoci” dan “Daun Terakhir”, dan “Burung Pipit di Akanunu” (cerpen di Femina), beberapa cerpen pernah dimuat di Solopos, Joglosemar, Wawasan, beberapa kali ikut antologi terbitan TBJT. Berkegiatan di komunitas sastra Alit Solo.
Komentar
Posting Komentar