Langsung ke konten utama

Lelucon Para Koruptor

Agus Noor


Ada yang tak disampaikan ketika ia masuk penjara: mesti menyiapkan banyak lelucon. Mungkin Join Sembiling SH lupa soal itu. Pengacara yang menangani kasusnya itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir selama menjalani 8 tahun masa tahanannya karena segala sesuatunya sudah ada yang atur dan urus. “Percayalah, penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi koruptor,” katanya setengah tertawa.

Kehilangan kebebasan, bagaimanapun membuatnya merasa tertekan. Ia membayangkan kehidupan yang begitu membosankan dan akan mati kesepian. Tapi pengacara berpenampilan perlente itu, yang sudah menangani puluhan kasus korupsi, menenteramkannya, “Anggap saja kau hanya pindah tempat tidur. Kau tetap bisa menjalankan bisnismu dan menikmati hal-hal yang kau sukai seperti biasanya.”

Ia kini benar-benar percaya dengan semua yang dikatakan pengacaranya. Ia tak perlu pusing memikirkan kebutuhan hidup bulanan istrinya karena sudah ada yang menanggung, juga biaya sekolah anak-anaknya. Kawan- kawan dan atasan yang merasa diselamatkannya-karena ia tak menyebutkan nama mereka selama persidangan-telah diatur oleh Join Sembiling SH agar membantu semua kebutuhan rumah tangganya sebagai “ucapan terima kasih”. Bahkan, ia masih bisa berkomunikasi dengan mereka, dan istrinya bisa sewaktu-waktu menemuinya bila memang ia membutuhkan untuk “menyelesaikan hasratnya”. Bila merasa bosan dan pengin sedikit refreshing berjalan-jalan di luar, semua “prosedur formal akan dibereskan dengan biaya secukupnya”. Bila kangen makanan kesukaan, tinggal telepon dan akan segera ada yang mengantarnya.

Yang menggelisahkan justru karena ia mesti menyiapkan lelucon. Ini ia ketahui setelah dua minggu dalam penjara. Ia diundang mengikuti pertemuan dengan para penghuni lama. “Ini pertemuan yang rutin diadakan tiap malam Rabu,” ujar Sarusi, kawan satu selnya, anggota dewan yang tertangkap tangan karena kasus suap reklamasi. “Kau bisa berkenalan dengan orang-orang terhormat di sini. Kesempatan langka, yang mungkin tak akan bisa kau dapatkan bila kau masih di luar sana.” Sarusi tersenyum. “Siapkan saja satu lelucon paling lucu yang kau punya, yang bisa menentukan martabatmu.” Ia bingung saat itu.

Akhirnya ia tahu. Setiap yang hadir bergiliran menyampaikan satu lelucon. Yang paling lucu akan naik martabatnya karena akan dilayani oleh yang kalah, yakni yang dianggap paling tak lucu. Menjadi raja dalam seminggu, yang boleh memerintah atau mengerjai siapa pun yang kalah, misalkan menyuruh berdiri dengan satu kaki, menangkap seekor kecoa, dicoreng wajahnya dengan spidol dan tak boleh dibersihkan selama seminggu, memijiti tiap malam, dan bahkan menyuruhnya membersihkan sel.

Lelucon-lelucon itu menghiburnya, sekaligus membuatnya mati kutu. Saat pertama kali hadir dalam pertemuan itu, ia dianggap paling tak lucu dan disuruh menyanyikan lagu nasional yang didangdutkan sambil goyang ngebor. Sialan! Rupanya semua telah sepakat untuk memplonconya sebagai warga baru karena ia tahu, sebenarnya lelucon Pak Hakil lebih tak lucu dari leluconnya.

Pak Hakil, mantan hakim konstitusi, sebenarnya tak pernah bisa membuat lelucon lucu. Leluconnya nyaris sudah basi dan garing. Tapi semua yang mendengar selalu tertawa. Misal, suatu kali Pak Hakil melontarkan tebak-tebakan, “Kenapa di rel kereta api selalu ditaruh batu? Karena kalau ditaruh duit, pasti habis diambil kita semua.” Ia tahu, itu hanya lelucon lama yang dimodifikasi, tapi semua tertawa. Bahkan, ketika Pak Hakil menceritakan lelucon usang soal “kereta api yang berhenti di stasiun karena rodanya kempes”, semua tertawa ngakak. Apa lucunya? Kemudian Sarusi membisikinya, “Kau harus tertawa meski tak lucu. Pak Hakil sudah cukup menderita karena divonis seumur hidup, jadi anggap saja kita sedekah tawa karena ingin membuatnya terhibur. Ingat, menyenangkan orang lain itu dapat pahala. Ha-ha..”

Kemudian, ia memahami, soal masa hukuman itu termasuk hal penting yang harus dihormati. Semakin lama masa hukuman, maka akan semakin tinggi kehormatannya. Yang lebih rendah vonis hukumannya harus menghormati yang dihukum lebih lama di atasnya. Bila lebih dari 15 tahun penjara, ibaratnya berpangkat setingkat jenderal. Yang dihukum seumur hidup langsung dapat gelar jenderal bintang lima anumerta. Kalau cuma dua tiga tahun, itu kelas kopral.

Jumlah yang dikorupsi juga menentukan martabat. Bung Jayus, pegawai pajak yang masih muda tapi menilep miliaran, dipandang lebih terhormat dari Pak Muad Arim, bupati yang sudah berumur 70 tahun, tetapi hanya kesandung uang recehan ratusan juta. Makin banyak uang makin terpandang dan disayang. Setidaknya makin disayang para sipir penjara, kata Mas Unas, mantan ketua sebuah partai. Mas Unas tetap merasa dirinya hanya dikorbankan. “Saya tak bersalah. Terbukti saya tidak menerima satu rupiah pun., sebab yang saya terima dalam bentuk dollar.” Lelucon-leluconnya sering mengejutkan.

Di pertemuan malam Rabu itulah-yang sering dibilang Mas Unas sebagai “tadarus lelucon”- setiap yang hadir seperti ingin saling menghibur, tetapi kadang juga terasa ingin meneguhkan kehormatan dan martabatnya dengan saling sindir saling ledek. Dan Mas Unas kerap menjadi bintang dengan lelucon-leluconnya. Bung Jayus sering kena sasaran. “Kamu tahu, pajak itu mudah, yang sulit membayarnya,” kata Mas Unas. Semua tertawa. Bung Jayus mesam-mesem. “Orang pajak itu paling pelit. Saya punya kawan, perempuan yang pacaran dengan pegawai pajak. Tiap makan, selalu perempuan itu yang bayar. Ketika perempuan itu kesal, pegawai pajak itu bilang, ‘tenang, kamu yang bayar makannya, saya yang urus pajaknya’.” Kembali semua tertawa.

“Tapi harus diakui, di antara kita semua, pegawai pajak yang akan gampang masuk surga. Ketika mau masuk gerbang surga, tiap orang akan ditanyai malaikat. Nah, ketika sampai di gerbang surga, justru pegawai pajak yang malah menanyai malaikat, ‘Tolong perlihatkan SPT pintu gerbang surga ini?! Apakah sudah melunasi pajak pintu gerbang surga?’ Mendengar itu, malaikat cepat-cepat menyuruh pegawai pajak itu masuk surga biar urusan pajak nggak diungkit-ungkit.”

“Mas Unas,” timpal Bung Jayus, “semua orang itu jujur, kecuali soal pajak.”

Kelebihan lain Mas Unas ialah piawai memberi konteks leluconnya dengan apa yang aktual. “Saya baru baca berita, kalau saat ini jumlah orang miskin hampir 100 juta. Sementara ekonomi hanya dikuasai oleh 10 orang terkaya. Menurut saya, ini berita bagus.”

“Lho kenapa?”

“Artinya, di negeri ini lebih gampang jadi orang kaya ketimbang jadi orang miskin. Kalau mau jadi orang miskin, harus bersaing dengan 100 juta orang. Tapi kalau mau jadi orang terkaya, saingannya hanya 10 orang. Artinya, kalau nanti kita keluar, kita masih tetap punya harapan untuk makin kaya karena hanya bersaing dengan 10 orang itu.”

Semua nyengir.

Menyiapkan lelucon seminggu sekali menjadi hal yang paling menggelisahkannya dalam penjara ini. Memikirkan lelucon yang harus disiapkan untuk pertemuan Rabu malam itu saja sudah membuat perutnya mual. Ia selalu tak pernah bisa yakin dengan lelucon yang ia anggap lucu. Barangkali lelucon itu memang lucu, tapi ia tak pernah bisa menyampaikannya sebagai kelakar yang menarik. Ia pasti langsung keringat dingin ketika sampai gilirannya.

Hal yang semakin membuat gelisah, ia selalu merasa, apa pun leluconnya, tak pernah ada yang menganggap lucu. Ia pernah menceritakan lelucon politik paling lucu tentang Stalin yang setiap pagi selalu mengulangi lelucon yang sama pada para pengawalnya, dan para pengawal itu tetap tertawa; sebab bila ada yang tak tertawa, langsung ditembak. Itu satir, tapi tak seorang pun tertawa ketika ia menceritakannya. Lalu, di pertemuan berikut ia memilih humor asosiatif dan menyerempet porno. Jangankan ada yang tertawa, tersenyum tidak. Malah ia jadi bahan ledekan. Ia juga sudah mencoba teka-teki konyol, tetap saja dianggap kalah lucu dengan lelucon Pak Hakil yang sama sekali tak lucu.

Bahkan, yang membuatnya tak paham sekaligus geram, ia pernah dengan sengaja memilih lelucon yang sama dengan lelucon Pak Hakil: tentang kenapa anak babi selalu jalan tertunduk sebab malu punya ibu babi. Ketika Pak Hakil yang cerita, semua tertawa terbahak. Tapi saat ia menceritakan lelucon yang sama itu, semua diam. Ia tak bisa marah kepada Pak Hakil sebab sebagaimana “kode etik” sesama tahanan, Pak Hakil lebih terhormat (hukumannya lebih lama) dan lebih bermartabat (jumlah korupsinya lebih banyak).

Selama setahun mengikuti malam lelucon itu, ia tak pernah terpilih sebagai yang paling lucu. Ia menyampaikan rasa penasarannya kepada Sarusi, tapi rekan satu selnya menghindar menjawab. Ia yakin Sarusi menyembunyikan rahasia. Ia selalu memancing agar Sarusi menjelaskannya.

“Kau tak tahu?” kata Sarusi suatu malam, saat ia terus mendesaknya. “Kamu menutupi banyak fakta, hingga hanya kamu sendiri yang masuk penjara. Kamu melindungi semua atasanmu yang terlibat. Oleh mereka yang diselamatkanmu, kamu dianggap hebat, pahlawan penyelamat. Tapi bagi kawan-kawan di sini, kamu hanyalah seorang pengecut. Karena tak pernah berani menyebutkan nama-nama yang ikut korupsi bersamamu.” Sarusi menatapnya. Ia merasakan kesunyian yang membuatnya kehilangan semua kebanggaannya.

Membayangkan sisa hukuman dengan harus memikirkan dan menyiapkan lelucon setiap minggu sungguh-sungguh menjadi siksaan yang lebih mengerikan dibanding hukuman dalam penjara yang mesti dijalani. Membuatnya merasa seperti pecundang yang sedang dihukum dengan lelucon-leluconnya sendiri.

Jakarta, 2016-2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...