Sori Siregar
Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh menuju markas tentara Jepang di pojok jalan. Dengan bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar menghentikan langkah para pemuda yang dibakar amarah itu. Lelaki bertubuh besar itu maju ke depan.
“Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk mengambil semua senjata yang kalian miliki,” katanya kepada para pengawal.
Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh teriakan ketika para pemuda itu semakin mendekati markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang berada di depannya juga diam. Rasa takut belum meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan diri dari rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari tiga tahun ditindas oleh tentara-tentara bermata sipit itu. Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa.
Gozo Yoshimasu yang bertugas sebagai komandan di markas tentara di kota Tebing Tinggi itu menatap mata lelaki bertubuh besar yang berada tidak jauh di depannya. Yoshimasu bukanlah tentara yang mudah lepas kendali. Di kalangan sesama perwira tentara Jepang, Yoshimasu yang berpangkat kapten itu dikenal lembut menghadapi siapa saja. Ia bukanlah prototipe tentara pendudukan yang terkenal garang dan tanpa belas kasihan.
“Boleh saya tahu mengapa kalian datang ke markas ini?” Ia bertanya tetap dengan tenang.
Tanpa harus menunggu lama, ia mendengar teriakan lelaki bertubuh besar yang berdiri di depannya.
“Kami datang untuk mengambil senjata yang kalian miliki. Sebagai bangsa yang kalah perang, tentara kalian tidak berhak memiliki senjata lagi. Serahkan senjata itu kepada kami dan kami tidak akan mengganggu tuan dan anak buah tuan.”
Peristiwa yang sedang dihadapi Yoshimasu bukan hanya sekali terjadi di negeri ini setelah Jepang menyatakan takluk kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Karena itu, Yoshimasu tidak terkejut. Ia diam dan berpikir. Para pemuda di depannya mulai tidak sabar dan kembali berteriak-teriak dengan amarah walaupun tetap dibarengi rasa takut.
“Senjata kami hanya akan dilucuti oleh Tentara Sekutu, bukan oleh pihak lain. Jika kami memberikan senjata-senjata yang kami miliki kepada kalian, kami dilarang keras untuk melakukan itu dan akan ditindak tegas oleh Tentara Sekutu.”
“Serahkan sekarang juga,” ujar lelaki bertubuh besar itu. “Jika tidak, kami akan menyerbu masuk dan korban akan berjatuhan di pihak tuan. Tuan lihat betapa banyaknya pemuda di belakang saya.”
Gozo Yoshimasu menatap mata lelaki bertubuh besar kemudian menatap semua pemuda di depannya. Kapten yang oleh rekan-rekannya dikenal lembut ini tampak berpikir untuk mengambil keputusan. Ia sadar betul bahwa para pemuda di depannya benar-benar membutuhkan senjata karena mereka ingin mempertahankan kemerdekaan yang baru mereka kumandangkan. Namun, jika ia memberikan senjata yang mereka miliki, Tentara Sekutu akan memberikan hukuman berat kepadanya. Ia akan dianggap membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentara Sekutu tidak menghendaki itu. Mereka memiliki rencana sendiri untuk bangsa ini.
Dalam keadaan kritis tersebut, Kapten Yoshimasu harus mengambil keputusan segera untuk menghindari pertumpahan darah. Keputusan yang ditunggu itu pun diambilnya dan ia siap untuk menanggung segala risiko untuk itu.
“Masuklah dan ambillah semua yang kalian inginkan,” ujar Yoshimasu dengan suara keras dan tegas.
Mendengar keputusan itu, semua pemuda menyerbu masuk dan merampas semua yang terdapat di dalam markas. Yoshimasu menyaksikan semua itu dengan perasaan tercabik. Namun, ia merasa keputusannya tersebut paling tidak akan dapat menyelamatkannya dan anak buahnya. Namun, kenyataan berkata lain. Salah seorang pemuda yang menyerbu ke markas menodongkan ujung bambu runcingnya ke leher Yoshimasu. Lelaki bertubuh besar merampas bambu runcing itu dari pemiliknya dan melemparkannya ke halaman markas. Ia tidak ingin Yoshimasu cedera.
Pemilik bambu runcing yang sedang diamuk amarah merampas senapan dari tangan temannya yang baru mengambil senjata itu dari markas. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh Yoshimasu yang tidak berdaya. Lelaki bertubuh besar berteriak mencegahnya. Dengan sekuat tenaga, pemuda pemilik bambu runcing itu menusukkan sangkur yang melekat di senapan itu ke dada Yoshimasu. Perwira Jepang itu bersimbah darah. Lelaki bertubuh besar itu mencoba menolong Yoshimasu. Tapi, saat itu juga sangkur yang masih merah dengan darah itu diarahkan sang pemuda ke dada lelaki bertubuh besar itu.
Jika salah bersikap, ia akan mengalami nasib seperti Yoshimasu. Setelah mengerang beberapa saat, tubuh Yoshimasu tidak lagi bergerak dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Setelah itu lelaki bertubuh besar hanya dapat menyaksikan dengan rasa tidak percaya semua yang dilakukan para pemuda yang tadi dipimpinnya. Setelah semua anak buah Yoshimasu dilumpuhkan, mereka diseret ke tengah-tengah kota. Di sana mereka diberondong seorang demi seorang di depan penduduk yang datang menonton.
Kekejaman yang dilakukan para pemuda yang berada di belakang lelaki bertubuh besar itu tak pernah dapat diusirnya dari ingatannya. Dua puluh tahun kemudian, kekejaman yang serupa terjadi di negeri ini. Anak lelaki bertubuh besar juga gagal mencegah kekejaman teman-temannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika para anggota ormas yang dipimpinnya membantai puluhan orang yang belum tentu bersalah akibat gejolak politik yang tidak diinginkan.
Ketika anak semata wayang itu mengutarakan perasaan bersalahnya karena tidak dapat mencegah kejadian yang memilukan itu, sang ayah, lelaki bertubuh besar itu, berupaya menenangkannya.
“Dua puluh tahun ayah juga merasa dikejar-kejar dosa karena tidak dapat menyelamatkan perwira Jepang itu dari kekejaman yang dilakukan para pemuda di Tebing Tinggi itu. Seandainya Yoshimasu bersikap keras dan melepaskan tembakan ke arah kami, ayahlah orang pertama akan tersungkur ke bumi. Tapi, Kapten Yoshimasu mengizinkan kami masuk ke markasnya dan mengambil semua senjata yang terdapat di sana. Ia hanya menyaksikan kami tanpa reaksi apa pun. Lalu, mengapa teman-teman ayah itu harus membunuh Yoshimasu dan semua anak buahnya?”
Lelaki bertubuh besar itu menarik napas. Ia dapat membaca semua yang tersimpan dalam benak anaknya. Peristiwa yang membuat anaknya merasa berdosa itu baru berlalu satu tahun. Itu pun pastilah tidak seberat yang dirasakan ayahnya selama dua puluh tahun.
“Ketika itu kita memang terbelenggu oleh rasa cemas, takut, dan amarah sehingga kita tidak dapat berpikir jernih. Mereka telah takluk dalam perang dan apa yang dapat mereka perbuat sebagai pecundang terhadap kita? Mereka telah menyerah kepada nasib dan menunggu tindakan Tentara Sekutu. Hal yang sama juga kau alami. Apa yang dapat diperbuat kekuatan kiri itu setelah mereka dinyatakan terkubur di negeri ini. Mengapa teman-temanmu harus membunuh para petani, buruh, dan para ibu yang belum tentu bersalah itu, sedangkan kau tidak dapat menghentikannya? Mereka orang- orang sederhana yang diperalat oleh kekuatan politik durjana. Paling tidak kau telah berusaha menghentikan kebuasan itu, tetapi apalah artinya tenaga satu orang menghadapi kekuatan massa.”
Anak lelaki bertubuh besar menatap ayahnya. Baginya, banyak orang merasa peristiwa sejarah di masa lampau tak perlu dikenang atau disesalkan. Semua itu harus diterima apa adanya. Mungkin itu benar buat orang yang tidak bersinggungan sedikit pun dengan peristiwa sejarah itu. Tapi tidak buat orang yang kehilangan sesuatu atau terbelenggu kejaran dosa karena peristiwa sejarah itu. Anak lelaki bertubuh besar itu mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Kemarin aku membaca feature menarik di koran Strait Times yang kubeli di sebuah toko buku di bandara. Seorang laki-laki yang mengaku dirinya cucu dari seorang perwira Jepang di Indonesia bernama Gozo Yoshimasu sedang mencari informasi tentang makam kakeknya dan bagaimana kakeknya terbunuh. Benarkah ia tertembak karena membangkang perintah Pasukan Sekutu? Aku rasa ayah dapat memberikan informasi yang benar kepadanya. Alamatnya jelas tertulis di akhir tulisan itu. Jelaskanlah, Tentara Sekutu sama sekali tidak ada urusannya dengan kematian Yoshimasu. Jelaskan juga bahwa ayah tidak tahu di mana jenazahnya dikuburkan atau dibuang bersama dengan mayat-mayat anak buahnya.”
Lelaki bertubuh besar itu membisu. Lama ia berpikir. Adakah manfaatnya jika ia menceritakan peristiwa sebenarnya kepada orang yang mengaku sebagai cucu Yoshimasu itu? Apakah tidak lebih baik aku membiarkannya berpikir bahwa Tentara Sekutulah yang membunuh kakeknya. Dengan begitu aku dapat menyelamatkan nama baik para pemuda yang menyerbu ke markas Yoshimasu, termasuk diriku.
Anak lelaki bertubuh besar seakan menyadari apa yang tersimpan dalam kepala ayahnya. Agar ayahnya tidak dikejar-kejar dosa sepanjang hidupnya, ia pun menyuarakan pendapatnya.
“Ayah sebaiknya menghubunginya dan menuturkan semua yang ayah ketahui. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kakeknya yang menjadi korban. Cobalah ayah baca artikel yang bagus dan mengharukan itu. Kalau sekadar ingin tahu nasib ayahnya sebenarnya cukup jika ia menulis surat pembaca. Tetapi, ia menulis artikel karena peristiwa di Tebing Tinggi itu selalu menjadi pembicaraan tentang Jepang yang kembali dari Sumatera. Nama kota itu ditulisnya berkali-kali dalam artikel itu. Dengan menceritakan semua yang terjadi pada Yoshimasu, percayalah, ayah, akan terbebas dari kejaran dosa yang tak berujung itu.
“Kau sendiri bagaimana?”
“Orang-orang yang menjadi korban temanku seorganisasi bukanlah orang-orang penting seperti Kapten Yoshimasu. Hingga saat ini pun aku tidak pernah mendengar ada orang yang mempersoalkan hal itu. Siapa mereka dan mengapa mereka dikorbankan. Hanya para pelaku kejahatan itu yang dapat menjawabnya. Atau mereka pun tidak tahu karena perbuatan tidak terpuji itu mereka lakukan secara membabi buta karena amarah yang mencapai puncak. Biarlah ayah aku terus menanggung dosa ini hingga suatu saat nanti aku dapat terbebas dari kejarannya. Siapa tahu dengan pengakuan ayah terhadap cucu Yoshimasu secara bertahap kejaran itu akan berhenti. Siapa tahu”.
Lelaki bertubuh besar masih membisu. Kemudian ia menghampiri anaknya dan memeluknya.
“Berikan alamatnya kepada ayah”
Jakarta, 16 Maret 2017
(Diilhami oleh buku The Dawn of Sumatra” karya Takao Fusayama, diedarkan oleh Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area (PRIMA) dan Lina Computer Press-tanpa tahun penerbitan).
Sori Siregar. Menulis cerpen sukar dihentikannya. Karena ia menulis terus, akhirnya ia bingung sendiri mau ke mana cerpen-cerpen itu dikirimkan. Media memang banyak, tetapi untuk mengikuti semua media itu tentu memerlukan kerja ekstra. Karena itu, cerpen-cerpen tersebut disimpannya sendiri. Kompas adalah tempat utama ia menyalurkan cerpen-cerpennya.
Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh menuju markas tentara Jepang di pojok jalan. Dengan bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar menghentikan langkah para pemuda yang dibakar amarah itu. Lelaki bertubuh besar itu maju ke depan.
“Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk mengambil semua senjata yang kalian miliki,” katanya kepada para pengawal.
Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh teriakan ketika para pemuda itu semakin mendekati markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang berada di depannya juga diam. Rasa takut belum meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan diri dari rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari tiga tahun ditindas oleh tentara-tentara bermata sipit itu. Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa.
Gozo Yoshimasu yang bertugas sebagai komandan di markas tentara di kota Tebing Tinggi itu menatap mata lelaki bertubuh besar yang berada tidak jauh di depannya. Yoshimasu bukanlah tentara yang mudah lepas kendali. Di kalangan sesama perwira tentara Jepang, Yoshimasu yang berpangkat kapten itu dikenal lembut menghadapi siapa saja. Ia bukanlah prototipe tentara pendudukan yang terkenal garang dan tanpa belas kasihan.
“Boleh saya tahu mengapa kalian datang ke markas ini?” Ia bertanya tetap dengan tenang.
Tanpa harus menunggu lama, ia mendengar teriakan lelaki bertubuh besar yang berdiri di depannya.
“Kami datang untuk mengambil senjata yang kalian miliki. Sebagai bangsa yang kalah perang, tentara kalian tidak berhak memiliki senjata lagi. Serahkan senjata itu kepada kami dan kami tidak akan mengganggu tuan dan anak buah tuan.”
Peristiwa yang sedang dihadapi Yoshimasu bukan hanya sekali terjadi di negeri ini setelah Jepang menyatakan takluk kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Karena itu, Yoshimasu tidak terkejut. Ia diam dan berpikir. Para pemuda di depannya mulai tidak sabar dan kembali berteriak-teriak dengan amarah walaupun tetap dibarengi rasa takut.
“Senjata kami hanya akan dilucuti oleh Tentara Sekutu, bukan oleh pihak lain. Jika kami memberikan senjata-senjata yang kami miliki kepada kalian, kami dilarang keras untuk melakukan itu dan akan ditindak tegas oleh Tentara Sekutu.”
“Serahkan sekarang juga,” ujar lelaki bertubuh besar itu. “Jika tidak, kami akan menyerbu masuk dan korban akan berjatuhan di pihak tuan. Tuan lihat betapa banyaknya pemuda di belakang saya.”
Gozo Yoshimasu menatap mata lelaki bertubuh besar kemudian menatap semua pemuda di depannya. Kapten yang oleh rekan-rekannya dikenal lembut ini tampak berpikir untuk mengambil keputusan. Ia sadar betul bahwa para pemuda di depannya benar-benar membutuhkan senjata karena mereka ingin mempertahankan kemerdekaan yang baru mereka kumandangkan. Namun, jika ia memberikan senjata yang mereka miliki, Tentara Sekutu akan memberikan hukuman berat kepadanya. Ia akan dianggap membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentara Sekutu tidak menghendaki itu. Mereka memiliki rencana sendiri untuk bangsa ini.
Dalam keadaan kritis tersebut, Kapten Yoshimasu harus mengambil keputusan segera untuk menghindari pertumpahan darah. Keputusan yang ditunggu itu pun diambilnya dan ia siap untuk menanggung segala risiko untuk itu.
“Masuklah dan ambillah semua yang kalian inginkan,” ujar Yoshimasu dengan suara keras dan tegas.
Mendengar keputusan itu, semua pemuda menyerbu masuk dan merampas semua yang terdapat di dalam markas. Yoshimasu menyaksikan semua itu dengan perasaan tercabik. Namun, ia merasa keputusannya tersebut paling tidak akan dapat menyelamatkannya dan anak buahnya. Namun, kenyataan berkata lain. Salah seorang pemuda yang menyerbu ke markas menodongkan ujung bambu runcingnya ke leher Yoshimasu. Lelaki bertubuh besar merampas bambu runcing itu dari pemiliknya dan melemparkannya ke halaman markas. Ia tidak ingin Yoshimasu cedera.
Pemilik bambu runcing yang sedang diamuk amarah merampas senapan dari tangan temannya yang baru mengambil senjata itu dari markas. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh Yoshimasu yang tidak berdaya. Lelaki bertubuh besar berteriak mencegahnya. Dengan sekuat tenaga, pemuda pemilik bambu runcing itu menusukkan sangkur yang melekat di senapan itu ke dada Yoshimasu. Perwira Jepang itu bersimbah darah. Lelaki bertubuh besar itu mencoba menolong Yoshimasu. Tapi, saat itu juga sangkur yang masih merah dengan darah itu diarahkan sang pemuda ke dada lelaki bertubuh besar itu.
Jika salah bersikap, ia akan mengalami nasib seperti Yoshimasu. Setelah mengerang beberapa saat, tubuh Yoshimasu tidak lagi bergerak dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Setelah itu lelaki bertubuh besar hanya dapat menyaksikan dengan rasa tidak percaya semua yang dilakukan para pemuda yang tadi dipimpinnya. Setelah semua anak buah Yoshimasu dilumpuhkan, mereka diseret ke tengah-tengah kota. Di sana mereka diberondong seorang demi seorang di depan penduduk yang datang menonton.
Kekejaman yang dilakukan para pemuda yang berada di belakang lelaki bertubuh besar itu tak pernah dapat diusirnya dari ingatannya. Dua puluh tahun kemudian, kekejaman yang serupa terjadi di negeri ini. Anak lelaki bertubuh besar juga gagal mencegah kekejaman teman-temannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika para anggota ormas yang dipimpinnya membantai puluhan orang yang belum tentu bersalah akibat gejolak politik yang tidak diinginkan.
Ketika anak semata wayang itu mengutarakan perasaan bersalahnya karena tidak dapat mencegah kejadian yang memilukan itu, sang ayah, lelaki bertubuh besar itu, berupaya menenangkannya.
“Dua puluh tahun ayah juga merasa dikejar-kejar dosa karena tidak dapat menyelamatkan perwira Jepang itu dari kekejaman yang dilakukan para pemuda di Tebing Tinggi itu. Seandainya Yoshimasu bersikap keras dan melepaskan tembakan ke arah kami, ayahlah orang pertama akan tersungkur ke bumi. Tapi, Kapten Yoshimasu mengizinkan kami masuk ke markasnya dan mengambil semua senjata yang terdapat di sana. Ia hanya menyaksikan kami tanpa reaksi apa pun. Lalu, mengapa teman-teman ayah itu harus membunuh Yoshimasu dan semua anak buahnya?”
Lelaki bertubuh besar itu menarik napas. Ia dapat membaca semua yang tersimpan dalam benak anaknya. Peristiwa yang membuat anaknya merasa berdosa itu baru berlalu satu tahun. Itu pun pastilah tidak seberat yang dirasakan ayahnya selama dua puluh tahun.
“Ketika itu kita memang terbelenggu oleh rasa cemas, takut, dan amarah sehingga kita tidak dapat berpikir jernih. Mereka telah takluk dalam perang dan apa yang dapat mereka perbuat sebagai pecundang terhadap kita? Mereka telah menyerah kepada nasib dan menunggu tindakan Tentara Sekutu. Hal yang sama juga kau alami. Apa yang dapat diperbuat kekuatan kiri itu setelah mereka dinyatakan terkubur di negeri ini. Mengapa teman-temanmu harus membunuh para petani, buruh, dan para ibu yang belum tentu bersalah itu, sedangkan kau tidak dapat menghentikannya? Mereka orang- orang sederhana yang diperalat oleh kekuatan politik durjana. Paling tidak kau telah berusaha menghentikan kebuasan itu, tetapi apalah artinya tenaga satu orang menghadapi kekuatan massa.”
Anak lelaki bertubuh besar menatap ayahnya. Baginya, banyak orang merasa peristiwa sejarah di masa lampau tak perlu dikenang atau disesalkan. Semua itu harus diterima apa adanya. Mungkin itu benar buat orang yang tidak bersinggungan sedikit pun dengan peristiwa sejarah itu. Tapi tidak buat orang yang kehilangan sesuatu atau terbelenggu kejaran dosa karena peristiwa sejarah itu. Anak lelaki bertubuh besar itu mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Kemarin aku membaca feature menarik di koran Strait Times yang kubeli di sebuah toko buku di bandara. Seorang laki-laki yang mengaku dirinya cucu dari seorang perwira Jepang di Indonesia bernama Gozo Yoshimasu sedang mencari informasi tentang makam kakeknya dan bagaimana kakeknya terbunuh. Benarkah ia tertembak karena membangkang perintah Pasukan Sekutu? Aku rasa ayah dapat memberikan informasi yang benar kepadanya. Alamatnya jelas tertulis di akhir tulisan itu. Jelaskanlah, Tentara Sekutu sama sekali tidak ada urusannya dengan kematian Yoshimasu. Jelaskan juga bahwa ayah tidak tahu di mana jenazahnya dikuburkan atau dibuang bersama dengan mayat-mayat anak buahnya.”
Lelaki bertubuh besar itu membisu. Lama ia berpikir. Adakah manfaatnya jika ia menceritakan peristiwa sebenarnya kepada orang yang mengaku sebagai cucu Yoshimasu itu? Apakah tidak lebih baik aku membiarkannya berpikir bahwa Tentara Sekutulah yang membunuh kakeknya. Dengan begitu aku dapat menyelamatkan nama baik para pemuda yang menyerbu ke markas Yoshimasu, termasuk diriku.
Anak lelaki bertubuh besar seakan menyadari apa yang tersimpan dalam kepala ayahnya. Agar ayahnya tidak dikejar-kejar dosa sepanjang hidupnya, ia pun menyuarakan pendapatnya.
“Ayah sebaiknya menghubunginya dan menuturkan semua yang ayah ketahui. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kakeknya yang menjadi korban. Cobalah ayah baca artikel yang bagus dan mengharukan itu. Kalau sekadar ingin tahu nasib ayahnya sebenarnya cukup jika ia menulis surat pembaca. Tetapi, ia menulis artikel karena peristiwa di Tebing Tinggi itu selalu menjadi pembicaraan tentang Jepang yang kembali dari Sumatera. Nama kota itu ditulisnya berkali-kali dalam artikel itu. Dengan menceritakan semua yang terjadi pada Yoshimasu, percayalah, ayah, akan terbebas dari kejaran dosa yang tak berujung itu.
“Kau sendiri bagaimana?”
“Orang-orang yang menjadi korban temanku seorganisasi bukanlah orang-orang penting seperti Kapten Yoshimasu. Hingga saat ini pun aku tidak pernah mendengar ada orang yang mempersoalkan hal itu. Siapa mereka dan mengapa mereka dikorbankan. Hanya para pelaku kejahatan itu yang dapat menjawabnya. Atau mereka pun tidak tahu karena perbuatan tidak terpuji itu mereka lakukan secara membabi buta karena amarah yang mencapai puncak. Biarlah ayah aku terus menanggung dosa ini hingga suatu saat nanti aku dapat terbebas dari kejarannya. Siapa tahu dengan pengakuan ayah terhadap cucu Yoshimasu secara bertahap kejaran itu akan berhenti. Siapa tahu”.
Lelaki bertubuh besar masih membisu. Kemudian ia menghampiri anaknya dan memeluknya.
“Berikan alamatnya kepada ayah”
Jakarta, 16 Maret 2017
(Diilhami oleh buku The Dawn of Sumatra” karya Takao Fusayama, diedarkan oleh Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area (PRIMA) dan Lina Computer Press-tanpa tahun penerbitan).
Sori Siregar. Menulis cerpen sukar dihentikannya. Karena ia menulis terus, akhirnya ia bingung sendiri mau ke mana cerpen-cerpen itu dikirimkan. Media memang banyak, tetapi untuk mengikuti semua media itu tentu memerlukan kerja ekstra. Karena itu, cerpen-cerpen tersebut disimpannya sendiri. Kompas adalah tempat utama ia menyalurkan cerpen-cerpennya.
Komentar
Posting Komentar