Yanusa Nugroho
Salya termangu. Dataran luas Kurusetra, yang sekejap lalu dipenuhi manusia saling bacok, tiba-tiba kosong. Lengang, seperti sebuah beranda dengan bangku bambu yang bisu.
Di atas kereta perangnya, Salya terpaku. Dia merasakan angin lembah membelai pelipisnya yang beruban, yang basah berkeringat. Musim apakah saat ini? Ada panah mendesing, entah dari mana, dan entah mengenai siapa, tetapi yang tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti dibawa angin, atau jin, mungkin malaikat; siapa yang paham?
Kurusetra kosong. Kurusetra seperti seraut wajah manusia berusia 300 tahun; renta, rapuh, sepi, dan tak bisa ditandai lagi.
“Lalu, aku harus bagaimana, ayah?” tiba-tiba Candabirawa, pemuda ganteng yang terlalu cantik-mungkin terlalu perempuan untuk disebut laki-laki. Tetapi, barangkali, memang tak penting itu semua, karena Candabirawa sesungguhnya bukan bangsa manusia, sehingga batasan ‘laki-perempuan’ tentu tidak berlaku baginya. Jika dia berwajah ganteng, cantik, atau menakutkan, itu pun tak lebih karena mata manusia memandangnya demikian.
“Kau saksikan sendiri, dan tolong jelaskan padaku, Candabirawa…apa sebenarnya yang kita pandang saat ini?” bisik Salya dengan mata masih menyapu tepian sepi Kurusetra.
“Ayah, aku harus meminum darah manusia. Aku harus mengunyah daging mereka. Dari setiap udara yang pecah dalam butiran darah itulah, aku memperoleh daya hidup. Dan perang ini, bukankah seperti yang ayah janjikan, bukankah ini memang kesempatanku untuk memperpanjang hidup?”
“Candabirawa…untuk apa memperpanjang hidup? Kurang panjangkah hidupmu di dunia ini?”
“Ayah, aku tidak punya jawaban untuk itu, dan maaf…aku hanya tahu membunuh manusia dan meminum darahnya…”
Seekor gajah, tiba-tiba, tersungkur. Tubuh besarnya rubuh, diiringi lengkingan panjang kematiannya. Sebuah tombak menancap, begitu dalam, di biji matanya. Tubuhnya yang besar, menimpa beberapa orang penyerangnya, yang tak sempat menghindar. Perang tiba-tiba hadir di mata Salya. Perang pecah begitu saja, dan hiruk-pikuk meledak tanpa tanda.
Senja.
Musim apakah saat ini? Peperangan ini masih menuntut ratusan ribu nyawa lagi. Mayat-mayat yang dikubur pada tanah gersang Kurusetra, masih hangat oleh anyir darah mereka sendiri. Bangkai-bangkai gajah dan kuda, dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang besar. Beberapa panggung kayu pembakaran jenazah para pangeran dan raja-raja, telah menyala, berkobar-kobar apinya dimainkan angin padang. Para pendeta menggumamkan doa dan mantra, menggelombang dengungnya seperti meredam panas peperangan. Ratusan orang masih hilir-mudik dengan alat-alat pengangkut jenazah maupun bangkai, membersihkan medan perang yang telah menelan puluhan ribu nyawa itu.
Dan Salya, masih saja mematung, hanya saja kali ini di dalam tenda peristirahatannya. Setelah Burisrawa dan Rukmarata, kedua anaknya yang juga menjadi korban perang, lantas menantunya, Karna, menyusul kemudian, Salya tercenung. Para panglima, guru-guru perang, bahkan Bisma-sesepuh keluarga Bharata-pun mati di medan perang. Sambil mereguk anggurnya, duduk di sebuah bangku kayu Nagasari, sambil memandang bentangan Kurusetra dari celah belahan tendanya, Salya beku. Begitu senyap hiruk-pikuk peperangan.
Sore itu, adalah hari ketiga perang berhenti, untuk menghormati kematian guru bagi kedua wangsa yang berseteru. Dorna mati, tiga hari lalu, kepalanya dipancung Drestajumena, yang membalas dendam atas kematian ayahnya di tangan Dorna. Salya mereguk anggurnya.
“Setyawati, kekasihku, maafkan suamimu ini. Aku membuatmu bersetia kepada kesepian dan kesedihan…”
Celah tenda tersibak, dua laki-laki muda berjubah pendeta, menyeruak masuk, langsung bersimpuh di hadapan Salya.
“Candabirawa, kaukah kalian?”
“Uwa Prabu Salya, saya Nakula dan ini Sahadewa,” ucap lelaki kembar itu lembut.
Salya tua, terpanah hatinya, merangkul dua kemenakannya dan menangis sedih-barangkali juga gembira, bahkan dirinya sendiri tak tahu yang mana. Terguncang pundaknya, merangkul dua anak Madrim, yang harus besar tanpa ayah-ibu.
“Maafkan kehadiran kami yang tiba-tiba. Salya, ayahku…”
“Nakula, Sahadewa…kita berseberangan, tapi rinduku pada kalian, tak ada yang bisa membendungnya, bahkan perang besar ini. Ada apa, anakku?”
“Kami mengemban titipan bunda Kunti. Ini…” Nakula mengeluarkan wadah dari anyaman bambu berisi sirih pinang lengkap dengan tembakaunya.
Salya membuka wadah dan mengambil selembar daun sirih hijau segar. Lalu, jemarinya mengoleskan kapur, meracik gambir dan pinang. Aroma sirih segar itu membawanya pada sebuah tempat yang barangkali hanya ada di kenangannya. “Aku paham…” gumamnya kepada Nakula dan Sahadewa.
“Jika demikian, tuturkanlah kepada kami.” Nakula setengah berbisik. Di luar sana terdengar kobaran api menderu membakar jenazah para raja yang mati di medan laga.
“Nakula dan Sahadewa, katakan pada ibumu, juga kepada Kresna yang agung…ah, tentu sebetulnya dia tahu ini semua, besok…persiapkan Puntadewa sebagai panglima tertinggi.”
Kedua pemuda itu tertunduk. Antara paham dan tidak, keduanya tercekat dalam kebisuan. Mengapa harus Puntadewa? Mengapa bukan Arjuna, atau Bima sang jagoan perang? Seumur hidupnya Puntadewa tak pernah mengenal senjata, tak pernah berkelahi dan dia lebih memilih dilukai daripada melukai.
“Ketahuilah oleh kalian. Kematian datang dengan caranya yang tak bisa kita pahami. Sebagaimana Bagaspati, dulu, pernah mengatakannya kepadaku, bahwa kematianlah yang memilih kita, dan adalah sepenuhnya kekuasaan dia menentukan bentuknya.”
“Candabirawa yang paduka miliki menjadi pelindung?”
“Hahaha…ketahuilah Sahadewa, Candabirawalah yang kulindungi…dia adalah titipan Bagaspati, mertuaku, untuk kupelihara sampai kematiannya tiba.”
“Tapi, tak satu pun manusia bisa mengalahkan Candabirawa?”
“Pandu–ayah kalian, pernah mengalahkannya.”
Nakula dan Sahadewa terdiam, mereka tak mengenal ayah mereka yang mati ketika keduanya masih sangat kanak-kanak.
“Mengapa bahkan Kresna, raja agung itu tak bisa mengalahkan Candabirawa?”
“Ingatlah…jalan kematian seseorang tidak bisa digenggam begitu saja, dan jawabannya tak mungkin bisa kita pahami,” jawab Salya seraya meludahkan air sirihnya.
***
Malam tiba-tiba mengelam. Angin dingin bercampur asap belerang menebar. Obor-obor masih menyala. Ini adalah malam terakhir ‘masa dukacita’, dan esok kerang perang akan ditiup kembali. Banjir darah akan terjadi. Siapakah yang salah atau benar, tak ada yang bisa menelisik lagi. Jawaban yang tersedia adalah hidup atau mati.
“Jadi ayah besok akan menjadi panglima?” bisikan Candhabirawa menggema di relung hati Salya. Dia tak perlu menjawab, Candhabirawa seperti sudah tahu jawaban yang akan diucapkan Salya.
Bukan darah, bukan pula daging manusia yang menjadikan Candhabirawa abadi, tetapi nafsu amarah dan keangkuhan manusia yang dicari. Candhabirawa akan menghisap nafsu-nafsu itu sebagai makanannya. Itu sebabnya, setiap kali Candhabirawa terlukai, setiap tetes darahnya akan membelah diri menjadi dua, empat, enam belas, dan…sebanyak nafsu membunuh yang dimiliki musuhnya, sebanyak itu pula Candhabirawa menghisap dan membelah diri.
Dulu, ketika Salya masih muda, masih bernama Narasoma, dan Candhabirawa baru saja diterima dari mertuanya,…manusia mana yang mampu mengalahkan Narasoma. Narasoma cukup memancing lawan dengan tantangan, lawan tersulut amarah, Candhabirawa yang menghabisinya.
****
Dan lihatlah, mereka sudah saling bunuh. Pasukan panah pihak Pandawa menghujani pasukan Kurawa. Tubuh mati bergelimpangan. Kartamarma memerintahkan pasukan Kurawa membalas serangan, dan tubuh-tubuh lawan pun bergelimpangan. Di sisi lain, saling tombak, saling gada, terjadi begitu mengerikan. Batok kepala yang pecah, usus yang terburai, darah yang memerah, begitu saja terjadi. Bima dengan gadanya menghabisi pasukan hanya dengan beberapa kibasan. Pasukan Kurawa hancur berhadapan dengan Bima.
Dengan kereta perangnya, Salya melaju, menusuk dan membelah lautan manusia. Dia mengarah kepada Bima, yang tengah mengamuk dengan gadanya. Kereta perang Salya menabrak Bima yang kukuh karang. Kereta pecah, kudanya mati, Salya melompat dan tegap berdiri, membuat Bima ternganga.
“Oh, inikah cara raja Mandaraka berperang? Mari kulayani.” dan Bima menyerang dengan tenaganya yang besar. Salya berteriak melarang, namun telinga Bima tertutupi nafsu berperangnya.
Sekelebat sosok pemuda ganteng itu menghadang Bima. Bima terhenti tiba-tiba, diamatinya laki-laki berwajah perempuan itu, yang matanya memandang kedua mata Bima dengan tajam, seolah menembus tengkorak kepalanya. Hanya sesaat.
Gada Bima terayun, menghantam pemuda berambut panjang ikal indah menggelombang sepinggang. Sedikit pun pemuda itu tak beringsut, dan menerima pukulan itu dengan kepalanya. Pecah. Darah muncrat, dan sekejap kemudian menjelma pemuda yang sama, gerakan yang sama, berdiri tegak mengelilingi Bima. Rambut-rambut mereka seperti nyala api, berkobar ke angkasa.
Bima makin marah, gadanya berputar dengan cepat. Pemuda-pemuda itu mulai bergerak melakukan serangan. Setiap kepalanya pecah terhantam gada Bima, secepat itu pula puluhan pemuda itu menjelma. Bima kewalahan, tenaganya susut, dia melompat secepat kilat lari meninggalkan gelanggang.
Candhabirawa menjadi sepasukan makhluk aneh, berwajah lelaki yang terlalu cantik, atau perempuan yang terlalu tampan, menghantam siapapun yang menghadang hanya dengan kibasan tangan. Semakin musuh menghujaninya dengan panah atau tombak, dan darah dari tubuhnya mengalir, semakin berlipat jumlah Candhabirawa.
Yudistira memerintahkan saisnya memajukan kereta perangnya, menghadang ribuan Candhabirawa. Nakula dan Sahadewa berkuda di samping Yudistira.
Yudistira adalah raja, Darmakusuma adalah juga namanya, anak tertua keluarga Pandawa, turun dari kereta perangnya, duduk bersila, memejamkan mata, dengan setangkup sembah telapak tangannya di dada. Dia adalah darma bagi makhluk seisi semesta, dan darma adalah kebaikan, kebaikan adalah kesabaran, kesabaran adalah pengunci hawa amarah. Maka, Kurusetra menjadi dingin, tak ada kemarahan, bahkan senyap dari pekik dosa.
Candhabirawa yang melaut jumlahnya, tertegun. Tubuh mereka membeku, dan seperti buih, lenyap mengudara entah rimbanya.
Salya turun dari kereta perangnya, lututnya lemas tak kuasa menahan kelembutan Darmakusuma. Dia pun berlutut di tanah Kurusetra, tersenyum menyambut sang ajal yang membayang di matanya.
Yudistira menunduk takzim kepada orang yang dituakannya, sebelum merentang busur beranak panah. Dia tak akan membunuh Salya, tetapi menyerahkannya kepada maut, terserah apakah maut akan menyambutnya atau tidak, bukan keputusan Yudistira. Dia merentang busur beranak panah, sekadar menjalani kewajiban seorang panglima perang, dan itulah penghormatan tertinggi bagi seorang lawan di medan perang.
Mata Yudistira terpejam. Bibirnya bergetar membaca doa. Anak panah melesat. Gaung terompet kerang menggema merayapi lembah Kurusetra.
Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Pernah duduk sebagai redaksi majalah Berita Buku IKAPI, lalu menjadi copywriter di Indo-ad, kemudian memilih menjadi penulis lepas. Cerpennya pernah menjadi Cerpen Terbaik Kompas.
Di atas kereta perangnya, Salya terpaku. Dia merasakan angin lembah membelai pelipisnya yang beruban, yang basah berkeringat. Musim apakah saat ini? Ada panah mendesing, entah dari mana, dan entah mengenai siapa, tetapi yang tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti dibawa angin, atau jin, mungkin malaikat; siapa yang paham?
Kurusetra kosong. Kurusetra seperti seraut wajah manusia berusia 300 tahun; renta, rapuh, sepi, dan tak bisa ditandai lagi.
“Lalu, aku harus bagaimana, ayah?” tiba-tiba Candabirawa, pemuda ganteng yang terlalu cantik-mungkin terlalu perempuan untuk disebut laki-laki. Tetapi, barangkali, memang tak penting itu semua, karena Candabirawa sesungguhnya bukan bangsa manusia, sehingga batasan ‘laki-perempuan’ tentu tidak berlaku baginya. Jika dia berwajah ganteng, cantik, atau menakutkan, itu pun tak lebih karena mata manusia memandangnya demikian.
“Kau saksikan sendiri, dan tolong jelaskan padaku, Candabirawa…apa sebenarnya yang kita pandang saat ini?” bisik Salya dengan mata masih menyapu tepian sepi Kurusetra.
“Ayah, aku harus meminum darah manusia. Aku harus mengunyah daging mereka. Dari setiap udara yang pecah dalam butiran darah itulah, aku memperoleh daya hidup. Dan perang ini, bukankah seperti yang ayah janjikan, bukankah ini memang kesempatanku untuk memperpanjang hidup?”
“Candabirawa…untuk apa memperpanjang hidup? Kurang panjangkah hidupmu di dunia ini?”
“Ayah, aku tidak punya jawaban untuk itu, dan maaf…aku hanya tahu membunuh manusia dan meminum darahnya…”
Seekor gajah, tiba-tiba, tersungkur. Tubuh besarnya rubuh, diiringi lengkingan panjang kematiannya. Sebuah tombak menancap, begitu dalam, di biji matanya. Tubuhnya yang besar, menimpa beberapa orang penyerangnya, yang tak sempat menghindar. Perang tiba-tiba hadir di mata Salya. Perang pecah begitu saja, dan hiruk-pikuk meledak tanpa tanda.
Senja.
Musim apakah saat ini? Peperangan ini masih menuntut ratusan ribu nyawa lagi. Mayat-mayat yang dikubur pada tanah gersang Kurusetra, masih hangat oleh anyir darah mereka sendiri. Bangkai-bangkai gajah dan kuda, dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang besar. Beberapa panggung kayu pembakaran jenazah para pangeran dan raja-raja, telah menyala, berkobar-kobar apinya dimainkan angin padang. Para pendeta menggumamkan doa dan mantra, menggelombang dengungnya seperti meredam panas peperangan. Ratusan orang masih hilir-mudik dengan alat-alat pengangkut jenazah maupun bangkai, membersihkan medan perang yang telah menelan puluhan ribu nyawa itu.
Dan Salya, masih saja mematung, hanya saja kali ini di dalam tenda peristirahatannya. Setelah Burisrawa dan Rukmarata, kedua anaknya yang juga menjadi korban perang, lantas menantunya, Karna, menyusul kemudian, Salya tercenung. Para panglima, guru-guru perang, bahkan Bisma-sesepuh keluarga Bharata-pun mati di medan perang. Sambil mereguk anggurnya, duduk di sebuah bangku kayu Nagasari, sambil memandang bentangan Kurusetra dari celah belahan tendanya, Salya beku. Begitu senyap hiruk-pikuk peperangan.
Sore itu, adalah hari ketiga perang berhenti, untuk menghormati kematian guru bagi kedua wangsa yang berseteru. Dorna mati, tiga hari lalu, kepalanya dipancung Drestajumena, yang membalas dendam atas kematian ayahnya di tangan Dorna. Salya mereguk anggurnya.
“Setyawati, kekasihku, maafkan suamimu ini. Aku membuatmu bersetia kepada kesepian dan kesedihan…”
Celah tenda tersibak, dua laki-laki muda berjubah pendeta, menyeruak masuk, langsung bersimpuh di hadapan Salya.
“Candabirawa, kaukah kalian?”
“Uwa Prabu Salya, saya Nakula dan ini Sahadewa,” ucap lelaki kembar itu lembut.
Salya tua, terpanah hatinya, merangkul dua kemenakannya dan menangis sedih-barangkali juga gembira, bahkan dirinya sendiri tak tahu yang mana. Terguncang pundaknya, merangkul dua anak Madrim, yang harus besar tanpa ayah-ibu.
“Maafkan kehadiran kami yang tiba-tiba. Salya, ayahku…”
“Nakula, Sahadewa…kita berseberangan, tapi rinduku pada kalian, tak ada yang bisa membendungnya, bahkan perang besar ini. Ada apa, anakku?”
“Kami mengemban titipan bunda Kunti. Ini…” Nakula mengeluarkan wadah dari anyaman bambu berisi sirih pinang lengkap dengan tembakaunya.
Salya membuka wadah dan mengambil selembar daun sirih hijau segar. Lalu, jemarinya mengoleskan kapur, meracik gambir dan pinang. Aroma sirih segar itu membawanya pada sebuah tempat yang barangkali hanya ada di kenangannya. “Aku paham…” gumamnya kepada Nakula dan Sahadewa.
“Jika demikian, tuturkanlah kepada kami.” Nakula setengah berbisik. Di luar sana terdengar kobaran api menderu membakar jenazah para raja yang mati di medan laga.
“Nakula dan Sahadewa, katakan pada ibumu, juga kepada Kresna yang agung…ah, tentu sebetulnya dia tahu ini semua, besok…persiapkan Puntadewa sebagai panglima tertinggi.”
Kedua pemuda itu tertunduk. Antara paham dan tidak, keduanya tercekat dalam kebisuan. Mengapa harus Puntadewa? Mengapa bukan Arjuna, atau Bima sang jagoan perang? Seumur hidupnya Puntadewa tak pernah mengenal senjata, tak pernah berkelahi dan dia lebih memilih dilukai daripada melukai.
“Ketahuilah oleh kalian. Kematian datang dengan caranya yang tak bisa kita pahami. Sebagaimana Bagaspati, dulu, pernah mengatakannya kepadaku, bahwa kematianlah yang memilih kita, dan adalah sepenuhnya kekuasaan dia menentukan bentuknya.”
“Candabirawa yang paduka miliki menjadi pelindung?”
“Hahaha…ketahuilah Sahadewa, Candabirawalah yang kulindungi…dia adalah titipan Bagaspati, mertuaku, untuk kupelihara sampai kematiannya tiba.”
“Tapi, tak satu pun manusia bisa mengalahkan Candabirawa?”
“Pandu–ayah kalian, pernah mengalahkannya.”
Nakula dan Sahadewa terdiam, mereka tak mengenal ayah mereka yang mati ketika keduanya masih sangat kanak-kanak.
“Mengapa bahkan Kresna, raja agung itu tak bisa mengalahkan Candabirawa?”
“Ingatlah…jalan kematian seseorang tidak bisa digenggam begitu saja, dan jawabannya tak mungkin bisa kita pahami,” jawab Salya seraya meludahkan air sirihnya.
***
Malam tiba-tiba mengelam. Angin dingin bercampur asap belerang menebar. Obor-obor masih menyala. Ini adalah malam terakhir ‘masa dukacita’, dan esok kerang perang akan ditiup kembali. Banjir darah akan terjadi. Siapakah yang salah atau benar, tak ada yang bisa menelisik lagi. Jawaban yang tersedia adalah hidup atau mati.
“Jadi ayah besok akan menjadi panglima?” bisikan Candhabirawa menggema di relung hati Salya. Dia tak perlu menjawab, Candhabirawa seperti sudah tahu jawaban yang akan diucapkan Salya.
Bukan darah, bukan pula daging manusia yang menjadikan Candhabirawa abadi, tetapi nafsu amarah dan keangkuhan manusia yang dicari. Candhabirawa akan menghisap nafsu-nafsu itu sebagai makanannya. Itu sebabnya, setiap kali Candhabirawa terlukai, setiap tetes darahnya akan membelah diri menjadi dua, empat, enam belas, dan…sebanyak nafsu membunuh yang dimiliki musuhnya, sebanyak itu pula Candhabirawa menghisap dan membelah diri.
Dulu, ketika Salya masih muda, masih bernama Narasoma, dan Candhabirawa baru saja diterima dari mertuanya,…manusia mana yang mampu mengalahkan Narasoma. Narasoma cukup memancing lawan dengan tantangan, lawan tersulut amarah, Candhabirawa yang menghabisinya.
****
Dan lihatlah, mereka sudah saling bunuh. Pasukan panah pihak Pandawa menghujani pasukan Kurawa. Tubuh mati bergelimpangan. Kartamarma memerintahkan pasukan Kurawa membalas serangan, dan tubuh-tubuh lawan pun bergelimpangan. Di sisi lain, saling tombak, saling gada, terjadi begitu mengerikan. Batok kepala yang pecah, usus yang terburai, darah yang memerah, begitu saja terjadi. Bima dengan gadanya menghabisi pasukan hanya dengan beberapa kibasan. Pasukan Kurawa hancur berhadapan dengan Bima.
Dengan kereta perangnya, Salya melaju, menusuk dan membelah lautan manusia. Dia mengarah kepada Bima, yang tengah mengamuk dengan gadanya. Kereta perang Salya menabrak Bima yang kukuh karang. Kereta pecah, kudanya mati, Salya melompat dan tegap berdiri, membuat Bima ternganga.
“Oh, inikah cara raja Mandaraka berperang? Mari kulayani.” dan Bima menyerang dengan tenaganya yang besar. Salya berteriak melarang, namun telinga Bima tertutupi nafsu berperangnya.
Sekelebat sosok pemuda ganteng itu menghadang Bima. Bima terhenti tiba-tiba, diamatinya laki-laki berwajah perempuan itu, yang matanya memandang kedua mata Bima dengan tajam, seolah menembus tengkorak kepalanya. Hanya sesaat.
Gada Bima terayun, menghantam pemuda berambut panjang ikal indah menggelombang sepinggang. Sedikit pun pemuda itu tak beringsut, dan menerima pukulan itu dengan kepalanya. Pecah. Darah muncrat, dan sekejap kemudian menjelma pemuda yang sama, gerakan yang sama, berdiri tegak mengelilingi Bima. Rambut-rambut mereka seperti nyala api, berkobar ke angkasa.
Bima makin marah, gadanya berputar dengan cepat. Pemuda-pemuda itu mulai bergerak melakukan serangan. Setiap kepalanya pecah terhantam gada Bima, secepat itu pula puluhan pemuda itu menjelma. Bima kewalahan, tenaganya susut, dia melompat secepat kilat lari meninggalkan gelanggang.
Candhabirawa menjadi sepasukan makhluk aneh, berwajah lelaki yang terlalu cantik, atau perempuan yang terlalu tampan, menghantam siapapun yang menghadang hanya dengan kibasan tangan. Semakin musuh menghujaninya dengan panah atau tombak, dan darah dari tubuhnya mengalir, semakin berlipat jumlah Candhabirawa.
Yudistira memerintahkan saisnya memajukan kereta perangnya, menghadang ribuan Candhabirawa. Nakula dan Sahadewa berkuda di samping Yudistira.
Yudistira adalah raja, Darmakusuma adalah juga namanya, anak tertua keluarga Pandawa, turun dari kereta perangnya, duduk bersila, memejamkan mata, dengan setangkup sembah telapak tangannya di dada. Dia adalah darma bagi makhluk seisi semesta, dan darma adalah kebaikan, kebaikan adalah kesabaran, kesabaran adalah pengunci hawa amarah. Maka, Kurusetra menjadi dingin, tak ada kemarahan, bahkan senyap dari pekik dosa.
Candhabirawa yang melaut jumlahnya, tertegun. Tubuh mereka membeku, dan seperti buih, lenyap mengudara entah rimbanya.
Salya turun dari kereta perangnya, lututnya lemas tak kuasa menahan kelembutan Darmakusuma. Dia pun berlutut di tanah Kurusetra, tersenyum menyambut sang ajal yang membayang di matanya.
Yudistira menunduk takzim kepada orang yang dituakannya, sebelum merentang busur beranak panah. Dia tak akan membunuh Salya, tetapi menyerahkannya kepada maut, terserah apakah maut akan menyambutnya atau tidak, bukan keputusan Yudistira. Dia merentang busur beranak panah, sekadar menjalani kewajiban seorang panglima perang, dan itulah penghormatan tertinggi bagi seorang lawan di medan perang.
Mata Yudistira terpejam. Bibirnya bergetar membaca doa. Anak panah melesat. Gaung terompet kerang menggema merayapi lembah Kurusetra.
Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Pernah duduk sebagai redaksi majalah Berita Buku IKAPI, lalu menjadi copywriter di Indo-ad, kemudian memilih menjadi penulis lepas. Cerpennya pernah menjadi Cerpen Terbaik Kompas.
Komentar
Posting Komentar