Langsung ke konten utama

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA



Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya.

Jeritan siapakah itu?

Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang.

Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat?

Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian.

Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas.

Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya.

Ta-kut.

Jerit ketakutan karena tidak melihat apa pun?

Ataukah jerit ketakutan karena dalam kegelapan ternyata perempuan itu melihat sesuatu?

Mungkinkah perempuan itu menjerit karena dalam kegelapan dan kesendirian mutlak dilihatnya wajah putih pucat seperti mayat mendekat, begitu dekat, bagaikan tiada lagi yang lebih dekat?

Dalam mimpi, inilah saat untuk terbangun, tetapi ini begitu nyata, karena wajah putih pucat yang seperti bayangan melayang itu tetap maju terus ketika tangannya berusaha menahan, menembus tangan lantas melebur dan menyatu kepada wajahnya sendiri!

Seperti topeng kulit manusia yang menempel di wajahnya, tetapi yang seperti tidak akan berhasil dicopotnya, meskipun sudah berusaha ditarik-tariknya supaya lepas dengan sekuat tenaga.

Listrik menyala sebentar, terlalu sebentar, tetapi bagaikan sempat terlihat wajah sendiri, wajah yang sudah berubah menjadi wajah putih pucat, sepucat mayat yang tiada bernyawa, tetapi matanya terbuka!

Itukah yang menyebabkan terdengarnya jerit ketakutan sekeras-kerasnya, ketika listrik mati dan dunia menjadi gelap gulita, segulita kegelapan terpekat dalam kehitaman terpekat yang tidak memperlihatkan apa pun sehingga tiada batas antara mata terpejam dan terbuka?

Dalam kegelapan hanya tersisa kengerian, ketika kulit wajah sendiri yang sudah menjadi wajah orang mati tiada pernah berhasil ditarik dan dilepas, meski sudah ditarik-tarik sekuat tenaga.

Ia masih merasa seperti mendengar jerit perempuan itu.

Bagaimana kalau bukan hanya wajah, tetapi seluruh tubuh yang menopang wajah itu, yang mampu tembus ke manapun, merasuki badannya? Ia menarik-narik wajahnya sendiri seperti memang bukan wajahnyalah yang menempel itu, tetapi bagaimana pula caranya akan lepas?

Kengeriannya tiba-tiba meningkat.

Kegelapan terpekat tentu tidak memperlihatkan apapun, tetapi kegelapan terhitam tidak menghapus cahaya dalam kenangan, sehingga dalam kegelapan terpekat dan terhitam tetap tergambar dalam benaknya suatu benda yang tidak pernah dipedulikannya meski setiap hari dilihatnya belaka dalam cahaya terang dengan mata terbuka.

Di manakah kiranya?

Ia meraba dan meraba segala benda dengan ingatan yang dikacaukan kepanikan. Terdengar bunyi benda-benda berjatuhan yang dalam kepanikan bagaikan runtuhnya segenap ruangan ke jurang kegelapan tanpa dasar. Dengan perasaan terjatuh dan terputar-putar tangannya tetap meraih-raih apapun yang bisa dicapainya.

Terjatuh ke jurang tanpa dasar, kapankah akan sampainya?

Dalam perasaan jatuh dengan kepanikan teramat sangat, terdengar lagi jerit perempuan yang ketakutan itu. Masih juga takbisa dipastikannya, perempuan itu menjerit-jerit karena melihat sesuatu ataukah karena tidak melihat apapun?

Lantas tangannya merasa memegang benda itu!

Apakah ia akan melakukannya?

Wajah pucat yang mengerikan, wajah iblis, apakah harus direlakannya menjadi wajahnya?

Sekali lagi listrik menyala, dan mati lagi, lantas menyala kembali, begitu singkat. Terang gelap terang gelap dengan begitu cepat sehingga tiada apapun yang sempat terlihat kecuali wajah, ya wajah pucat seperti mayat itu, wajah pada sebuah cermin.

Kini dirinya sendiri menjerit dengan kepanikan memuncak. Dirinya sudah benar-benar berwajah iblis!

Ia mengangkat benda yang dipegangnya.

Listrik sudah menyala. Seseorang memasuki ruangan itu dan menutup pintu seperti memang tidak pernah terjadi apa-apa. Ketika listrik mendadak mati lagi, belum sempat dilihatnya lelaki dengan kulit wajah terkelupas yang terkapar meregang-regang di sebuah sudut itu, dengan pisau setajam silet di tangan kanan dan kulit wajahnya sendiri di tangan kiri.…

Lantas seperti terdengar jeritan seorang perempuan, dalam kegelapan terpekat yang tidak memperlihatkan apapun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya.

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?

Faisal Oddang Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak saya. Lehernya saya potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara. Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang. Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami sekarang, pindah ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sudah itu, saya pulang. Tentara setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang. Dan jangan kasih tahu Ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya. Dia sering dipukul ayahnya menggunakan warangka parang. Bermacam-macam persoalan menjadi penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat dengan Semmang-lelaki yang ayahnya benci secara ideologi bahkan secara personal. Yang Rahing alami sungguh tidak serumit yang di kep