Langsung ke konten utama

Mince, Perempuan dari Bakunase

FANNY J POYK


Apa yang akan kaulakukan jika suamimu kerap memukulimu, lalu ia melakukan pelecehan dengan mempermalukanmu di depan umum kemudian mengarang kisah yang sangat imajinatif seolah-olah kaulah yang melakukan perbuatan tercela, hingga akhirnya masyarakat menghakimimu dengan gosip nyinyir yang sangat menyakitkan? Apa yang akan kaulakukan jika suamimu pemabuk, minum ”sopi” setiap saat, lalu marah-marah bila pulang ke rumah tanpa ada makanan di meja makan, sementara ia kadang memberi uang belanja atau bahkan sering tak memberi? Apa yang akan kaulakukan bila suamimu bermain gila dengan perempuan lain, kemudian terang-terangan membawa perempuan itu ke rumah dan tidur seranjang hari dengannya di hadapanmu dengan sikap penuh ejekan?



Mince Messakh, perempuan dari Bakunase, sebuah kampung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menjawab dengan ringan, tegas dan penuh nada amarah. ”Cuki mai, beta akan ambil parang, beta cincang dua-duanya sampai dong dua pung batang leher putus!” Katanya dingin dengan suara tinggi. Mengerikan memang mendengar kalimat itu. Namun, ketika pemukulan dan penyiksaan terjadi lagi, ia hanya mengambil pakaiannya, surat nikah, lalu membawa keluar rumah dua anak perempuannya. Mince meninggalkan rumah itu dengan wajah kaku tanpa ekspresi, sementara dua anak perempuannya menangis tersedu-sedu. Ia enggan mengadu pada polisi tentang semua perlakuan itu, sebab hal itu sudah berkali-kali dilakukannya dan jawaban yang ia peroleh selalu sama, ”Pulanglah, berdamailah dengan suamimu, ini biasa terjadi di dalam kehidupan berumah tangga!”

Mince telah mengukuhkan hatinya. Kali ini ia enggan untuk berbalik. Katanya ketika seorang tetangga bertanya mengapa ia keluar dari rumah itu, rumah yang ia bangun dengan air mata dan peluh yang bercucuran, ”Beta sudah capek mendampingi laki-laki keparat itu. Biar saja itu perempuan tinggal bersama dia, nanti pada saat memuncaknya derita, dia juga akan meninggalkan laki-laki itu, sama seperti yang beta lakukan.”

Kemudian setelah duapuluh tahun berlalu, seusai ia menuntaskan kewajibannya sebagai istri yang tak pernah dihargai, Mince tak lagi cemas memikirkan bagaimana ia bisa mencari nafkah, menyekolahkan, dan menjaga anak-anaknya hingga mereka lulus sekolah menengah atas. Sebab, ia bukan perempuan yang pantang menyerah. Selama ini, secara kasatmata ia yang menjadi penunjang perekonomian keluarga, suaminya Johny Messakh, lebih banyak berperan sebagai manusia mandul dengan temperamental tinggi dan pengumbar amarah dengan sumpah serapah serta ancaman demi ancaman. Pernah tebersit di benak Mince untuk membunuhnya melalui racun tikus yang ia beli di Pasar Inpres Koenino, tetapi itu urung dilakukannya. Ia selalu teringat masa-masa manis ketika John, masih berulah baik dan penuh perhatian pada keluarga.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketika ia menjadi satpam di sebuah hotel megah di Kota Kupang, dan para temannya mengajak ia untuk mengakhiri jam terakhir dari pekerjaannya dengan minum sopi, juga minuman lainnya yang dioplos dengan arak dan cap tikus, berangsur-angsur perangainya berubah. Mince melihat suaminya menjadi sosok yang lain. Gosip sang suami kerap memakai sabu dan main perempuan pun akhirnya bukan lagi sekadar isapan jempol belaka. Perempuan yang mengaku berasal dari pesisir Pantai Lasiana, Kupang, kemudian datang ke rumahnya. ”Beta su hamil tiga bulan. Lu pung laki yang buat beta begini,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang mulai membuncit. Mince membisu. Setelah sang suami menyeret perempuan itu keluar dari rumahnya, ia tak pernah mendengar lagi berita tentangnya. Mungkin suaminya telah memusnahkan bayi di kandungan perempuan itu, menghapusnya dari daftar catatan perempuan pacar gelapnya, lalu mencari perempuan lain yang lebih segar, sama seperti ikan segar yang baru diturunkan dari perahu penangkap ikan nelayan Pulau Semau, di gugusan pulau yang ada di NTT.

Pergi dari rumah adalah jalan satu-satunya untuk terbebas dari absurditas keji yang dialaminya. Mince tak takut pada ganas dan panasnya kehidupan NTT yang tandus di musim kemarau. Ia perempuan perkasa, bekerja apa saja asal halal, bukan menjadi masalah berat yang harus dipikirkannya dengan kerut di dahi. Pekerjaan sebagai juru parkir motor di lapangan depan Pasar Inpres Koenino, kini dipegangnya. Perempuan langsing berparas manis, berkulit coklat eksotis, dengan postur tubuh langsing sempurna, berambut ikal keriting itu, sesekali bisa berubah menjadi ”dewi” cantik dengan penampilan modis, ia juga bisa menjadi ”centeng” di sebuah kelab malam untuk usia lima puluhan ke atas, terkadang jika kebutuhan sekolah anak-anaknya kian meningkat, ia mencari uang cepat dengan menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah. ”Yang penting beta sonde baku cium atau tidur dengan para lelaki bajingan tengik peminum itu, beta mau hidup lurus seturut dengan kehendak Tuhan, beta mau anak-anak bisa sekolah tinggi, biar orang tahu kalau Mince bukan seorang janda picisan yang tidur dari satu lelaki ke lelaki lain untuk dapat doi!” katanya selalu dengan suara meninggi, menggebu-gebu khas perempuan NTT.

Anak-anaknya kemudian tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, ketenangan yang ia rasakan, tampaknya mulai terusik oleh ulah si sulung. Mince kembali didera drama kehidupan yang cukup memilukan dari perlakuan putri sulungnya itu. Ketika sang putri sulung hamil di luar nikah lalu pacarnya menghilang tak bertanggung jawab, Mince menangis meraung-raung.

”Kenapa kau melakukan ini pada Mama, bo’i?” tanyanya dengan derai air mata. Lalu tepat sembilan bulan sepuluh hari kemudian, putri sulungnya membawa bayi kembar laki-laki yang masih merah ke rumahnya. Mince tertegun, ia tak hanya membisu dan membiarkan putrinya menaruh anak itu di sofa, ia membiarkan air mata terus turun di kedua pipi sambil berkata dengan serak, ”Lebih baik kau bunuh saja Mamamu daripada kau buat beta menderita seperti ini.”

Sang anak perempuan sulung itu ikut menangis. Namun, di wajahnya tak ada penyesalan. Ketika Mince memarahinya dengan kasar, ia mengambil langkah seribu, meninggalkan dua bayi merah kembarnya begitu saja tanpa bekal popok atau makanan berupa susu bubuk. Biaya melahirkan pun baru dibayar separuhnya. Tatkala bidan tempatnya melahirkan menuntutnya untuk dilunasi, dengan tegas tanpa rasa salah ia memberi alamat ibunya dan meminta sisa pembayaran pada perempuan yang telah melahirkannya itu.

Mince memandang surat tagihan pembayaran melahirkan yang disodorkan padanya. ”Beta sonde punya uang. Dua bayi ini kembar sedang doyan-doyannya minum susu, bisakah beta meminjan uangmu untuk membeli susu buat bayi-bayi merah ini?” tanyanya pada asisten bidan yang membantu persalinan putrinya. Lalu kedua bayi kembar itu berada dalam asuhannya. Mince merawatnya sama seperti ia merawat kedua anak perempuannya dulu.

Satu tahun Mince tidak melihat putrinya. Di tahun keempat, sang putri datang kembali, dengan perut membuncit dan seorang lelaki bertato di kedua lengannya. Lelaki itu bertubuh gempal lengkap dengan anting kecil di telinga kirinya. Sang putri memperkenalkan lelaki itu sebagai suaminya. Ia berkata bahwa dirinya sudah hamil lagi, kali ini diperkirakan dokter ia akan melahirkan bayi kembar kembali, laki-laki dan perempuan. Mince memandang jalan luas di halaman rumahnya. Kampung Bakunase yang sepi, seolah mengerat luka yang menempel di dadanya, rasanya pedih sekali. Ia duduk termenung di rumah yang berdiri di atas tanah pemberian seorang raja Kupang bermarga Nisnoni. Rumah yang ia bangun dari hasil menyisihkan uang sebagai juru parkir di Pasar Inpres Koenino. ”Bagus su, lu su menikah. Sekarang lu boleh pulang ke rumah lu pung laki, biar dia yang bertanggung jawab pada bayi-bayi yang akan lu lahirkan,” ujarnya tanpa nada tinggi.

Mince tak bisa berkata-kata lagi. Debur ombak di Pantai Tode Kisar, yang berdekatan dengan kota tua Kupang, membuat perasaannya kalut. Ingin rasanya ia berlari dan membenamkan tubuhnya di pantai hingga hilang tak berbekas. Harga diri dan nama baik, sudah menjadi jalinan semu yang tidak lagi bisa ia pertahankan. Dua bayi kembar, laki-laki dan perempuan, kembali tergeletak di sofa kumuh beranda rumahnya. Hanya secarik kertas yang ada di atas perut bayi-bayi itu. Ma bo’i, beta pi ke Malaysia cari kerja jadi TKI, beta titip beta pung anak-anak lagi Mama eee… nanti kalau beta su dapat gaji, beta kirim for Mama… JBU, Mirna.

Lagi-lagi Mince menangis meraung-raung. Perempuan dari Bakunase ini menatap bayi kembar di hadapannya, di sela-sela air matanya. Sementara sepasang bayi kembar itu menggerak-gerakkan kakinya, mengisap jempol mereka mencari puting susu ibunya yang tak pernah ada. Mince mengangkat mereka, menaruhnya di atas kasur busa yang tergeletak di atas ubin, di dalam kamarnya, lalu menanak nasi, mengambil air tajin dari atasnya, mendinginkannya dan menyendoknya perlahan, kemudian ia memasukkan air tajin itu ke bibir dua bayi sesuap demi sesuap, itu terus dilakukannya selama bertahun-tahun.

Ketika ia tahu salah satu bayi itu menderita penyakit asma, Mince merawatnya dengan segala pengetahuan tradisional yang diketahuinya, ia membawanya ke pantai di subuh yang sunyi, merawatnya hingga ia terbebas dari penyakit itu. Hingga bayi-bayi itu bisa bersekolah. Mince tak pernah menggubris perihal orangtuanya yang berjanji, tetapi tak pernah menepati janjinya untuk mengirimkan uang buat biaya kehidupan anak-anak ciptaan mereka. ”Beta masih bisa cari makan untuk mereka, beta perempuan kuat dari Bakunase!” katanya selalu usai mengantar bocah-bocah itu ke sekolah, lalu ia melanjutkan pekerjaannya sebagai juru parkir di Pasar Inpres Koenino, Kupang, NTT….

Catatan:
Beta: Saya
Su: Sudah
Sofi: Minuman keras khas
NTT dengan kadar alkohol
sekitar 80 persen
Bo’i: sayang
Lu: kau, kamu
Pi: pergi
Son: tidak
Dong: kalian
Pung: punya
Cuki mai: kata-kata makian
khas NTT
Baku: saling
Doi: duit/uang


Fanny memulai karier menulis sebagai penulis cerita anak, remaja di berbagai majalah dan surat kabar sejak tahun 1980-an. Lulusan IISIP Jakarta, Jurusan Jurnalistik ini, pernah menjadi wartawati di tabloid Fantasi (1991-2004). Sekarang menulis cerpen, cerber di berbagai majalah dan surat kabar nasional maupun daerah, novel, serta menulis berbagai buku. Salah satu cerpennya terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...