Langsung ke konten utama

Kue Itu Memakan Ayahku

Guntur Alam


”Pelan-pelan, aku akan mati karena dimakan sebuah kue.”

Itu ayah ucapkan padaku tepat satu minggu setelah ia diangkat menjadi juru potong kue di kantornya. Awalnya aku bingung, kok bisa ayah menjadi juru potong kue, padahal kata ibu, ayah seorang akuntan yang hebat.

”Di kantor, kita bisa menjadi apa saja,” terang ayah saat aku mengemukakan kebingunganku. ”Kadang-kadang, seorang sarjana ekonomi bisa menjadi tukang ketik surat. Sarjana teknik sipil bisa jadi tukang fotocopy.” Aku ingat persis, ayah tersenyum lebar saat mengucapkan kalimat itu padaku.

Aku melipat kening, ”Kok, bisa?”

Ayah terkekeh. ”Lah, namanya saja bekerja, ya tergantung bos butuh tenaga kita sebagai apa.”

”Jadi, bos ayah butuh tukang potong kue?”

Ayah mengangguk. Aku bergidik. Dalam benakku, bos ayah pasti seseorang bertubuh tambun, mempunyai pipi chubby, bibir tebal, mulut lebar yang tak berhenti mengunyah dan jari-jari tangan pendek nan gemuk. Namun, seminggu setelah itu, khayalanku tentang bos ayah buyar, saat kami secara tak sengaja bertemu dengannya di pusat perbelanjaan. Dia laki-laki kurus dengan kulit kisut, rambut beruban dengan gaya jabrik—yang kupikir tidak cocok dengan umurnya, dan selalu tertatih-tatih mengikuti istrinya yang sibuk memasuki toko demi toko, seolah di sepasang kaki perempuan itu sudah tertanam baterai dengan daya listrik full.

”Itu istri ketiganya,” bisik ayah. Dan aku hanya melongo mendengarnya. Kuharap, ibu tak pernah mendengar ucapan itu.
?

”Mula-mula, kue itu memakan otak ayah. Kemudian mata, lidah dan mulut.” Ucapan itu ayah utarakan saat kami duduk berdua di teras belakang, selepas hujan jelang magrib dan ayah baru saja menerima telepon dari bosnya. Tepat sebulan setelah ucapan pertama ayah.

”Ayah pikir, setelah itu, dia akan memakan hati dan jantung ayah.”

Aku gemetar mendengarnya, ”kalau semua dimakan, ayah bisa mati,” mataku berkaca-kaca. Lututku gemetar di bawah meja.

Ayah tergesa menoleh, menautkan pandangan di wajahku yang pasi. Dia berusaha tersenyum, tapi aku mengenali senyum ayah. Ulasan di bibirnya petang itu terlihat penuh beban, sangat dipaksakan, sepertinya kue itu telah memakan bibir ayah secara perlahan, membuat ayah tak bisa tersenyum semanis yang kukenal.

”Ayah harap tidak,” suaranya serak, ”bila ayah mati dimakan kue itu, bagaimana kau dan ibu? Ayah tentu tak akan pernah meninggalkan kalian.”

Aku hampir saja menangis mendengar ucapan ayah itu, tapi tergesa tersenyum lantaran ayah tersenyum demikian manis. Lalu ayah bangkit dari kursinya dan berlutut di depanku. Tiba-tiba saja ayah memelukku. Aku dapat mendengar debar jantungnya. Pelukan ayah begitu erat dan perlahan aku mendengar isak lirih di telingaku, pundak ayah terguncang.

?

”Apa kau tahu kalau ibu dan ayah berkencan pertama kali di kafe yang terkenal dengan
kuenya?”

Ibu menceritakan ini padaku saat kami sibuk di dapur, memasak bolu nanas favorit ayah. Aku tergesa menggeleng dan berkata, ”ayah belum pernah bercerita.”

Ibu melirik padaku dan tersenyum simpul.

”Dia mungkin lupa,” tangan ibu kembali mengaduk adonan kue. Aku meratakan selai nanas di atas plastik yang nanti akan dipasang pada setiap lapis kue bolu ini. ”Kau tahu kan, kalau ayah suka sekali dengan kue?”

Aku mengangguk. Kami semua tahu itu, ayah menyukai kue. Dulu, nenek, almarhum ibu dari ayah, seorang pembuat kue. Ayah kerap bercerita padaku bagaimana mahirnya nenek membuat berbagai kue yang akan dijual di teras rumah setiap pagi. Dan kue favorit ayah adalah kue bolu nanas. Cara membuatnya mirip dengan kue lapis, tapi bedanya di kue bolu nanas, setiap akan dituang adonan baru, akan dipasang terlebih dahulu selai nanas.

”Saat itu ibu memesan brownies kukus,” lanjut ibu.

”Kenapa?”

Ibu tergesa menoleh padaku. ”Kenapa apanya?”

”Kenapa brownies kukus?”

”Oh,” ibu tersenyum, lucu sekali. ”Karena kafe itu terkenal dengan brownies kukusnya yang enak. Jadi ibu dan ayah ingin membuktikannya. Apa kau ingin tahu komentar ayahmu saat pertama kali menggigit kue itu?”

Mata ibu berubah jenaka. Aku menegakkan punggung, ”apa? Apa?”

Ibu tertawa kecil, ”kata ayah, nggak enak banget. Lebih enak buatan ibuku.”

Aku sudah menduganya. ”Ibu percaya begitu saja?”

”Oh, tidak,” ibu tergesa menggeleng.

”Lalu?”

”Ibu meminta ayahmu membuktikannya?”

”Caranya?”

”Tentu saja membawa ibu ke rumahnya dan mengenalkan ibu pada nenekmu.”

”Aahh!” aku menjentikkan jemari sembari mengedipkan mata. ”Ibu nakal sekali. Dengan begitu, ayah langsung mengenalkan ibu sebagai belahan jiwa pada nenek.”

Wajah ibu memerah dan dia tergesa membuang muka, tangannya pura-pura sibuk mengaduk adonan kue. Aku tergelak.

?

”Tolong, singkirkan itu dari meja,” ayah menunjuk piring kecil berisi kue bolu nanas yang dihidangkan ibu bersama secangkir teh.

Tanganku yang hendak terangkat menjangkau kue itu seketika turun kembali. Kutatap ibu, yang ternyata memandangku.

”Ini kue kesukaan ayah,” suaraku lirih.

”Ayah sedang tak ingin makan kue,” ayah membuang muka.

”Kenapa?”

Ayah bergeming. Dia memandang jauh, menyeberang halaman belakang dan melewati rumput, seolah dia tenggelam di sana. Dan aku serta ibu ada di dunia lain, yang terpisah oleh jarak dan waktu.

Itu kejadian pertama ayah menolak kue yang biasanya menemaninya menghabiskan petang usai penat di kantor. Mula-mula, aku dan ibu menduga, ayah hanya bosan. Dia sedang tak ingin makan kue. Namun dugaan kami itu sirna. Ayah bukan hanya tak ingin makan kue lagi, tapi dia terlihat takut melihat kue.

Pernah ayah terlonjak kaget, dia langsung berdiri dari kursi ketika ibu menghidangkan kue brownies untuk ayah. Kata ibu, ”mungkin saja ayah suka. Kan kami punya kenangan manis dengan brownies,” sembari mengedipkan mata nakal padaku. Dan aku terkekeh geli melihatnya.

Namun sayang, dugaan ibu meleset jauh. Ayah histeris dan refleks mendorong piring kue itu hingga jatuh berkeping-keping di lantai dapur rumah kami.

Aku dan ibu tertegun. Syok melihat reaksi ayah yang menurutku sangat berlebihan.

”Sori,” ayah mendesis dengan tangan gemetar ketika melihat aku dan ibu ketakutan. Ibu bahkan tergesa menarikku untuk berlindung dalam pelukannya.

”Sori,” ayah berdiri dari duduknya, langkahnya gemetar, juga tangannya. Dia merentangkan kedua tangan, memeluk kami yang terdiam. Tak ada yang bicara. Namun kesunyian telah menerangkan kepadaku dengan sangat benderang; ayahku telah berubah. Dia bukan berubah menjadi power rangers atau superman seperti serial kartun yang sering kutonton saban hari Minggu. Bukan. Ayah berubah dalam arti lain. Sesuatu yang tidak pernah bisa kupahami. Aku hanya tahu satu saja; ayahku tidak lagi menyukai kue, dia justru membencinya sekarang. Dan aku tak tahu alasannya.

?

”Ayah pikir, ayah akan segera mati dimakan kue-kue ini.”

”Kenapa bisa begitu?” aku menatap ke dalam bola mata ayah yang beriak. ”Apa sebuah kue bisa membunuh?”

”Bisa,” desisnya. ”Bahkan kue yang ayah potong-potong di kantor itu telah membunuh banyak orang.”

Aku terdiam. Kutatap ayah dengan saksama. Wajahnya keruh. Seperti ada sesuatu yang menghimpit jantungnya.

”Kau tahu rumah sekolah yang atapnya ambruk kemarin itu?” tanya ayah, tiba-tiba.

Aku berpikir, mengingat-ingat. ”Oh ya,” aku menjentikkan jemari. ”Itu sekolah Ridwan. Untungnya Ridwan terkena campak, jadi dia nggak masuk sekolah. Padahal kelasnya yang roboh.”

Aku ingat. Ibu membahas cerita heboh itu saat makan malam. Mulanya ayah tak bereaksi apa pun, dia makan seperti biasa. Tapi ketika ibu menyebutkan kata-kata, ”kok bisa ya, padahal baru dibangun setengah tahun lalu.” Tiba-tiba saja ayah menggebrak meja makan, isi mangkuk kuah terciprat, membasahi taplak meja. Aku kaget, pun ibu.

”Jangan banyak bicara saat makan!” suara ayah menggeram. Aku mengkeret di kursiku.

Padahal dulu, di meja makan, kami bebas menceritakan apa pun. Ibu mengisahkan kegiatan hariannya di rumah, bersama ibu-ibu tetangga bahkan gosip-gosip dengan tukang sayur yang kerap menyajikan rumor-rumor miring penghuni komplek. Aku juga sering bercerita tentang sekolahku. PR dari guru. Bahkan tentang teman sekelas yang diam-diam kusukai. Ayah pun selalu membagikan cerita di kantornya. Tentang teman-teman kantornya, bahkan tentang gosip para lajang di departemennya yang acapkali membuat ibu tertawa cekikikan. Entah apa yang lucu. Kadang-kadang aku bingung sendiri.

”Kenapa dengan sekolah itu?” aku tak tahu hubungannya dengan kue yang dipotong-potong ayah di kantornya. Apa hubungan kue dan atap sekolah yang ambruk?

”Itu karena kue yang ayah potong-potong.”

”Apa ayah yang memotong kue tart saat peresmiannya?”

Ayah menghela napas. Dia menggeleng.

”Lalu?”

Sekali lagi, dia mengembuskan napas.

”Kelak, kalau kau sudah besar, kau akan paham.”

Dan petang itu, cerita ayah tentang kue-kue yang perlahan menggerogotinya, menjadi cerita misteri yang akhir kisahnya ditulis secara menggantung, membuatku penasaran dan malamnya pikiran kanak-kanakku berkelana, mencari-cari akhir cerita itu sendiri. Aku juga membayangkan bentuk kue itu. Apa dia sebuah kue yang menyeramkan? Mungkin dia punya mulut dengan gigi taring yang tajam, sehingga dia bisa membunuh banyak orang, termasuk ayahku–kelak.

?

Pagi ini, aku terbangun karena mendengar jeritan histeris ibu. Tergesa aku melompat dari tempat tidur dan menemukan ibu yang gemetar di dapur rumah kami. Di lantai, aku melihat ayah tergeletak kaku. Diam. Mulutnya berbusa. Di tangan kanannya masih ada sepotong kue brownies buatan ibu. Di ujung kakinya, aku melihat botol pembasmi nyamuk.

Ibu luruh di lantai, menangis. Aku perlahan mendekat. Kulihat wajah ayah, bola matanya telah hilang. Kepalanya terbelah, otaknya kosong. Kulihat juga dadanya. Ada bolong besar di sana. Jantung dan hatinya juga telah raib. Aku jadi ingat ucapan ayah seminggu setelah dia diangkat bosnya menjadi juru potong kue di kantornya, ”pelan-pelan, aku akan mati karena dimakan sebuah kue.”

Dan pagi ini, ucapan ayah terbukti.



Guntur Alam, buku kumpulan cerpen gotiknya, Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, Gramedia Pustaka Utama, 2015. Saat ini sedang menulis novel series tema urban legend bersama temannya dan diterbitkan Elex Media Komputindo, yang sudah terbit Arwah dan Tumbal (2018).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...