Langsung ke konten utama

Menjelang Bebas

Sori Siregar


Dengan debar jantung seorang penderita aritmia, Hendar terus menatap ke luar jendela dari lantai dua rumahnya. Cemas menghantuinya sejak sebulan lalu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hari tuanya setelah ia pensiun akan terganggu seperti ini.

”Ayah tidak boleh terus-menerus ketakutan seperti itu. Putusan yang ayah jatuhkan benar-benar berdasarkan hati nurani dan sesuai dengan ketentuan undang-undang,” ujar putranya Hamonangan.

Hendar tampaknya tidak mendengar kata-kata anaknya itu. Atau pura-pura tidak mendengarnya. Ia terus menatap ke luar jendela. Kelihatannya ia menunggu sesuatu atau seseorang yang entah kapan munculnya.

”Ia tidak sejahat seperti yang ayah katakan. Ayah adalah temannya sejak sekolah dasar. Walaupun ia bekas kepala preman dan dikenal dengan sebutan Preman Besar, aku yakin ia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Kebebasan yang akan diperolehnya tidak akan membuatnya gegabah. Percayalah, Ayah,” Hamongan melanjutkan.

Hendar mengalihkan tatapannya ke wajah anaknya. Namun, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tetap yakin, Gorga akan datang menemuinya dan melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Itu yang tak pernah terpikirkan olehnya selama lima tahun terakhir, selama Gorga disekap, sejak ia menjatuhkan putusannya. Karena keputusan itu pula banyak pujian yang dilontarkan kepadanya, termasuk dari berbagai media arus utama. Hendar dianggap berani, karena tokoh yang dihadapinya adalah orang yang terkenal berdarah dingin dan berani berbuat apa saja untuk kepentingannya.

Karena ayahnya tidak mengindahkan sarannya, Hamonangan meninggalkan orangtuanya seorang diri di lantai dua itu. Hamonangan merasa ia harus mengucapkan kata-kata yang sama keesokan harinya, keesokannya lagi dan hari-hari seterusnya.

Gorga bukan hanya sekali diajukan ke pengadilan. Tetapi ia senantiasa lolos, karena para hakim yang mengadilinya tetap mengeluarkan keputusan bebas murni. Desas-desus pun tak terelakkan. Keputusan bebas murni itu diberikan karena para hakim takut pada orang yang mereka adili. Hanya Hendar yang berani menjatuhkan putusan lima tahun penjara kepada Gorga, temannya sejak sekolah dasar itu.

Sebelum putusan mengejutkan itu diucapkan, Gorga sudah merasa Hendar akan berani mengambil keputusan sesuai dengan tuntutan jaksa. Gorga merasa seperti itu karena Hendar bukan orang mudah melumpuhkan hati nuraninya. Hati nurani itu tidak mengenal kompromi, teman, famili, atau ancaman. Apalagi ia sadar, putusan yang dijatuhkan bukanlah putusan yang diambilnya seorang diri, tetapi keputusan bersama dengan empat hakim anggota lainnya. Karena itu Gorga tidak berharap kali ini ia akan bebas dari hukuman. Ia akan menerima hukuman tersebut dan tidak akan berupaya untuk mengajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Hendar sendiri pun yakin, Gorga akan menerima hukuman seperti yang dijatuhkan kepadanya. Karena itu ia tidak pernah sedikit pun merasa takut untuk mengucapkan putusan yang telah disepakati bersama itu. Hendar sadar, ia dan Gorga berteman sejak sekolah dasar. Tetapi perjalanan hidup telah membuat mereka berada pada kutub yang berbeda dan tidak saling berkomunikasi selama bertahun-tahun. Tidak berkomunikasi bukanlah berarti mereka saling melupakan apalagi berseteru. Hendar tahu bahwa Gorga adalah raja dunia hitam yang ditakuti di kota mereka. Begitu pula Gorga. Ia tahu Hendar adalah penegak hukum yang tegas dan tidak jarang membuat terdakwa yang diadilinya gentar walaupun mereka didampingi penasihat hukum yang punya nama besar yang selalu memenangkan kliennya.

”Masih Gorga juga yang ditunggu?” tanya istrinya.

Hendar yang menghadapkan kursinya ke jendela rumahnya di lantai dua itu tidak merasa perlu menjawab pertanyaan istrinya. Ia merasa anaknya, Hamonangan, dan istrinya, Lumongga, hanya berupaya mengusir, paling tidak mengurangi rasa takutnya. Bisa saja mereka juga takut, tapi itu tidak mereka perlihatkan.

”Bapak dan teman-teman hakim pernah menjatuhkan hukuman yang sama beratnya kepada seorang tokoh politik, pemimpin partai dan pejabat penting. Tapi Bapak tenang-tenang saja sampai bekas pejabat penting itu dibebaskan. Apa bedanya dengan Gorga? Mengapa Gorga begitu menyiksa pikiran Bapak?”

Lalu lintas di jalan raya masih ramai dengan kekurangajaran pengguna jalan itu. Masing-masing saling mendahului, saling serobot dan saling menyalib. Hendar menyaksikan semua itu tanpa reaksi, karena hal itu memang telah menjadi kebiasaan pengguna jalan. Tidak ada yang perlu dirisaukan karena lalu lintas yang semrawut itu.

”Mengapa Bapak tidak menemui keempat hakim teman Bapak ketika menjatuhkan hukuman itu untuk mengetahui apakah mereka juga gusar dan takut karena Gorga akan bebas bulan depan? Bapak tidak perlu menanggung beban ini seorang diri,” tutur istrinya lagi.

Pemikiran yang baik, ujar Hendar kepada dirinya. Bisa saja teman-temannya yang menjatuhkan hukuman itu tidak merasa ada yang mengkhawatirkan yang akan terjadi. Apalagi mereka adalah hakim-hakim yang baik, jujur dan terpuji integritasnya. Tetapi mereka semua bukan teman Gorga sejak sekolah dasar. Bahkan, mereka tidak mengenal Gorga secara pribadi. Perlukah aku menemui mereka? Hendar bertanya kepada dirinya. Ah, tidak. Kerisauanku ini tidak perlu diketahui orang lain, selain istri dan anakku.

Hari pembebasan Gorga semakin mendekat. Kegalauan Hendar juga meningkat. Terkadang tengah malam ia membuka gorden jendela dan menatap jauh ke ujung jalan. Waktu tidurnya semakin berkurang dan tubuhnya semakin kurus. Tanpa ada yang menganjurkan akhirnya ia memutuskan untuk langsung menemui Gorga di penjara dan menghentikan aktivitasnya menunggu di depan jendela di lantai dua rumahnya.

”Aku akan ke penjara menemui Gorga,” katanya kepada istrinya setelah selesai sarapan pagi.

Istrinya yang tidak percaya pada pendengarannya itu, berpaling dan bertanya.

”Menemui Gorga di penjara?”

”Ya.”

”Untuk apa?”

”Untuk meminta maaf.”

”Bapak tidak bersalah. Bapak telah mengambil putusan yang benar.”

”Ada wartawan yang mengatakan, Gorga menjadi korban peradilan sesat. Yang bersalah sebenarnya bukan Gorga, tetapi orang lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Orang itulah yang membunuh hakim pemberani itu. Gorga hanya menjadi korban dari orang yang akan menggantikannya.”

”Orang yang akan menggantikannya?”

”Ya, orang yang akan menggantikannya sebagai pelindung dan penyelamat orang-orang penting di kota itu. Sebelum ini mereka membutuhkan Gorga, belakangan mereka berpaling dari Gorga karena Preman Besar ini telah melanggar janji dan bersekutu dengan aparat.”

”Aku harap setelah menemui Gorga dan meminta maaf Bapak akan merasa lebih tenang.”

”Tidak jadi membesuk Gorga, Ayah?” tanya Hamonangan.

Hendar diam. Ia menunda kunjungan menemui Gorga diambilnya satu jam sebelumnya. Ia tidak yakin Gorga disekap di penjara yang akan dikunjunginya itu. Jangan-jangan Gorga telah dipindahkan entah ke mana, atau telah dilenyapkan. Kata kerja pasif ”dilenyapkan” tiba-tiba seakan memberikan kekuatan kepadanya. Mudah-mudahan Gorga memang telah dilenyapkan. Dengan demikian sebuah dendam juga tak terbalaskan. Hendar kelihatan tenang. Ia telah menemukan jalan keluar. Mulai besok ia tidak akan duduk menunggu lagi di depan jendela di lantai dua itu karena Gorga telah tiada. Yang pernah ada telah menjadi tiada. Yang ditakutkan tidak pernah akan datang menyergapnya.

”Kan Ibu sudah lama mengatakan kepada Ayah, Gorga yang sering Ayah sebut itu tidak pernah dijatuhi hukuman dan tidak pernah disekap dalam bui. Ia teman Ayah, teman sejak sekolah dasar. Teman baik yang selalu datang bersilaturahim.”

”Kau yakin Gorga tidak pernah di penjara?”

”Sangat yakin. Lihat itu siapa yang datang.”

Hendar berpaling dan melihat ke halaman depan rumahnya.

”Gorga, ya Gorga.”

”Ayah dihantui pemikiran yang bukan-bukan setelah pensiun. Padahal Ayah tidak pernah menjadi hakim seumur hidup Ayah. Ayah hanya bekerja di Kementerian Kehakiman sebagai pegawai tata usaha.”

Hendar berupaya keras memanggil kembali ingatannya yang bersembunyi entah ke mana. Begitu ingatan itu kembali ke tempatnya, Hendar langsung bertanya, ”Apa yang sebenarnya telah terjadi?”

Mendengar pertanyaan Ayahnya itu Hamonangan dengan tenang berkata:

”Berbagai pemikiran dan khayalan sering kali timbul setelah seseorang pensiun. Banyak yang seperti itu. Terutama buat orang yang tidak menjaga kejernihannya berpikir. Mengurus bunga-bunga di halaman yang luasnya tidak seberapa hanya dapat menolong sedikit. Kerja-kerja sepele juga tidak membantu banyak. Mengobrol setiap hari dengan tetangga juga membosankan. Pensiun bukanlah momok. Ini merupakan momen yang sangat baik untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya terlupakan, misalnya membaca. Ayah penggemar buku, tapi Ayah jarang sekali membaca karena rutinitas di kantor. Aku lihat Ayah terlalu banyak membuang waktu untuk menjelajah dunia khayalan yang begitu liar dan menakutkan. Temuilah Gorga, ia sudah duduk di ruang tamu.”

Tanpa membantah ia memasuki ruang tamu menemui temannya sejak sekolah dasar itu.

Gorga adalah satu-satunya temannya yang paling tidak seminggu sekali datang menemuinya. Di luar waktu satu kali seminggu itulah Hendar berselancar dengan khayalan-khayalan yang mengantarkannya kepada perilaku yang tidak biasa itu. Termasuk duduk di depan jendela di lantai dua rumahnya setiap hari. Dan, semua kata-kata anak dan istrinya yang menyusup ke telinganya adalah ciptaannya sendiri.



Sori Siregar lebih dikenal sebagai penulis cerpen, walaupun ia juga menulis novel dan sejumlah tulisan di rubrik kolom berbagai media. Ia pernah dua kali mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta untuk novel-novelnya. Beberapa cerpennya juga terpilih dalam kumpulan cerita pendek Pilihan Kompas. Kini ia menetap di Jakarta. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...