Langsung ke konten utama

Peri Ayu Lembah Wilis

Bre Redana


35 tahun empat bulan dua hari tiba saatnya Peri Ayu Lembah Wilis menagih janji kepada Lawrence Pasa—begitu ia menamakan dirinya. Sebelumnya, ia menamakan diri Lor Ing Pasar yang berarti ”sebelah utara pasar”, sesuai tempat tinggalnya di masa kecil. Pada perkembangannya, ia internasionalisasikan nama tersebut mengikuti kaidah bunyi, atau dalam ilmu bahasa disebut diftong: Lor Ing Pasar menjadi Lawrence Pasa. Berkali-kali ia mengubah nama. Banyak orang tidak tahu nama dia sebenarnya, termasuk ia sendiri.

”Bangun,” kata Peri Ayu.

Ia perhatikan lelaki itu di tempat tidur. Tidurnya selalu begitu. Tampak nyenyak justru di pagi hari. Tangan bersedekap di dada. Kaki lurus. Seperti posisi orang mati. Dia tak memperdengarkan suara apa pun seperti misalnya mendengkur. Diam, lurus, napas teratur.

”Bangun, saatnya kamu kembali padaku,” Peri Ayu mengulang kata-kata.

Perlahan Lawrence Pasa membuka mata. Begitu mata terbuka, ia tergeragap kaget. Dia, benarkah ini dia, Lawrence terkejut luar biasa. Ia datang, dia tak memercayai apa yang tengah dilihatnya.

”Ya, ini aku,” Peri Ayu tersenyum.

Ketika dalam hitungannya persis 35 tahun tak ada kejadian apa-apa, Lawrence mengira perjanjiannya dengan Peri Ayu dulu memang sebenarnya tak bakal menuai akibat apa-apa. Mengikat perjanjian dengan peri hanya omong kosong. Ia sempat merasa lega. Ternyata tak ada konsekuensi atau implikasi apa pun.

Dugaannya keliru. Kini, tiba-tiba, 35 tahun lebih empat bulan dan dua hari, dia muncul di kamar di pinggir ranjangnya pada pagi hari. Lawrence Pasa sulit percaya pada apa yang tengah dialaminya. Mudah-mudahan ini cuma mimpi. Ia mengucak-ngucak mata. Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata.

Semua manusia yang melakukan perjanjian dengan peri banyak yang salah kira. Dulu Lawrence meminta waktu 35 tahun untuk lepas darinya. Dalam hitungannya, kalau usia dia saat
itu ditambah 35 tahun berarti ia sudah tua, atau bisa saja sudah mati. Dengan demikian, ia tak perlu pusing dengan urusan membayar utang janji. Menurut pendapatnya, 35 tahun juga bukan waktu yang pendek. Siapa tahu peri lupa pada saatnya tiba nanti.

Yang tidak diketahui banyak manusia adalah perbedaan pengertian mengenai waktu antara dunia manusia dan dunia peri. Pada dunia manusia waktu bersifat linear, ada awal ada akhir. Di antara kedua titik itu terdapat kronologi.

Pada dunia peri, sebagai zat yang sifatnya immortal, dengan tidak adanya kematian atau akhir, dengan sendirinya awal juga tidak ada. Jelas sangat sulit manusia memahami ini. Karena tak ada awal tak ada akhir, waktu ya berhenti di situ saja. Yang dalam dunia manusia seperti pada kasus Lawrence Pasa adalah 35 tahun, pada Peri Ayu Lembah Wilis itu hanyalah satu kerjapan mata.

Makanya dulu Peri Ayu mengiyakan saja ketika Lawrence meminta waktu 35 tahun berpisah darinya, tak ingin diganggu, ingin kembali sebagai manusia, menginjak bumi, tak melayang-layang dalam kehidupan bersama peri. Ia memberikan waktu bukan karena kebaikan hati, melainkan memang itu tak ada arti apa-apa baginya. Dalam sekejap, lelaki ini akan berada lagi di pangkuannya.


Perjumpaan mereka dulu terjadi di Lembah Wilis. Pada Lembah Wilis terdapat air terjun cantik, di bawahnya telaga berair bening, sebelum air mengalir ke bawah mengarungi lembah menjadi sungai dan anak-anak sungai dengan air berkilatan menjadi sungai mutiara. Sebagai peri kahyangan, Peri Ayu bersama beberapa makhluk sejenisnya turun untuk mandi di telaga.

Cerita ini niscaya sudah didengar banyak orang. Ketika para peri di telaga, mengendap-endap perjaka tukang intip perempuan mandi. Dia adalah Lawrence Pasa, yang waktu itu bernama Lor Ing Pasar.

Ia perhatikan peri paling cantik dan ia sembunyikan pakaiannya. Si peri cantik tak bisa lagi pulang ke kahyangan. Dia ditinggal teman-teman sejenisnya.

Dengan senyum-senyum, Lor Ing Pasar muncul. Ia menawarkan pakaian ganti dengan syarat sang peri bersedia jadi istrinya. Apa boleh buat. Sang peri tidak punya banyak pilihan. Apalagi, pemuda ini meski kelihatan kurang ajar, tampaknya lumayan baik hati. Agak bego, sang peri membatin.

Lor Ing Pasar tak bisa memercayai apa yang dialaminya. Seorang peri, dalam penampakan perempuan paling cantik tanpa ada tandingannya sejagat raya, bersedia menjadi kekasihnya. Yang dulu hanya berwujud imajinasi, kini menjadi hal yang nyata. Dia, dengan perempuan ini: Peri Ayu Lembah Wilis.

Persetubuhan tak terhindarkan. Begitu persetubuhan terjadi, sekonyong-konyong Lor Ing Pasar merasa terjadi perubahan pada dirinya. Ia tidak lagi menginjak bumi.

Pertama-tama, ia tak memercayai keajaiban itu. Dia perhatikan dan rasa-rasakan tubuhnya. Benar, telapak kakinya ternyata mengambang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.

Hah, dia kaget. Mungkin memang begitu rasanya orang sehabis bersetubuh. Dia saja yang selama ini kurang informasi, kurang tanya sana-sini kepada orang yang telah berpengalaman. Ia perhatikan dan rasa-rasakan lagi tubuhnya. Ini aneh. Ia benar- benar mengambang.

Dia pandang Peri Ayu di sebelahnya. Peri Ayu tersenyum. Tenggelam Lor Ing Pasar dalam senyum dan tatapan Peri Ayu. Ia tak peduli lagi dirinya menginjak tanah atau tidak. Asmara bersama sang peri membuat dia lupa segala-galanya, termasuk terhadap hukum gravitasi alam semesta.



Problemnya, dikarenakan pengertian waktu seperti diuraikan tadi, lama-lama bosan juga Lor Ing Pasar dengan situasi yang dijalaninya. Meski peri itu cantiknya tak terkira, menang rupo menang dedeg orang Jawa bilang (menang di wajah menang di sosok), Lor Ing Pasar tak bisa mengabaikan apalagi menyingkirkan rasa bosannya.

Peri Ayu bukannya tak menangkap gejala tersebut. Ia paham sepaham-pahamnya. Pengertian waktu bagi manusia berbeda dengan makhluk sepertinya. Waktu bisa bermakna ujian kesetiaan bagi manusia, tetapi tidak bagi makhluk seperti dirinya. Seperti disebut tadi, yang 35 tahun bagi manusia adalah sekerjapan mata bagi peri.

”Aku ingin menginjak bumiku lagi,” kata Lor Ing Pasar.

”Silakan,” jawab Peri.

”Bukan berarti aku tak cinta lagi padamu,” Lor Ing Pasar mencoba menempatkan diri sebagai manusia bermartabat.

”Aku tahu.”

Dia terharu mendapati pengertian Peri Ayu.

”Aku adalah makhluk bumi. Biarkan aku menginjak bumiku, mengolah bumiku, bergaul dengan sesama manusia yang bergembira mengolah tanah, merayakan kerja, berada di tengah mereka. Aku akan tetap bersamamu, kembali padamu. Aku hanya meminta waktu 35 tahun,” kata Lor Ing Pasar mengucapkan janjinya sendiri tanpa ada yang meminta.

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap. Seketika dengan terucapnya janji, jleg: kaki dia kembali menapak bumi. Peri Ayu hilang dari hadapannya. Lor Ing Pasar celingukan.

Di mana dia, tanyanya dalam hati. Semudah itu aku bisa kembali pada diriku, pikirnya. Kalau tahu sebegini mudah, kenapa tak kulakukan dulu-dulu, tanpa perlu menanggung keresahan didera perasaan bosan… ia berkata dalam hati.

Busyet dah…,” kata Lor Ing Pasar senyum-senyum, merasa seperti baru bangun dari tidur panjang.

Lor Ing Pasar bukan hanya lega, tapi gembira luar biasa. Dia berlari menuruni lembah. Di punggungnya serasa tumbuh sayap. Cakrawala membentang. Langit warna lembayung, kadang agak kemerahan, kesana dia menuju.

Akan aku jelajahi desa demi desa, kota demi kota, samudra demi samudra, benua demi benua. Dunia terasa baru. Untuk menyesuaikan dunia baru yang ditemukannya kembali, ia ganti namanya jadi Lawrence Pasa.

Di balik langit warna lembayung, ia menemukan lapisan-lapisan langit yang lain, termasuk bintang-bintang, namanya semua perempuan. Lama-lama, ia pun lupa akan Peri Ayu.



”Sudah 35 tahun bahkan lebih empat bulan dua hari,” kata Peri Ayu yang duduk di pinggir ranjang. Suaranya datar tanpa emosi. Emosi hanya dimiliki manusia, bukan milik dunia peri. ”Masih ingat, kan, dengan janji yang dulu…,” lanjut Peri Ayu. Tahi lalat di atas bibir.

”Ke mana saja kamu?” Lawrence Pasa mengeluarkan suara untuk memecahkan sunyinya sendiri.

”Aku selalu di sini, melihat dan mengetahui apa pun yang kamu perbuat,” jawab Peri Ayu.

Dia yang tidak ditaklukkan waktu, pikir Lawrence. Belum paham juga dia, bahwa ada pengertian waktu yang berbeda antara dunia manusia dan dunia peri. Bagi Lawrence, kedatangan Peri Ayu pagi ini adalah pemenuhan janji kesetiaan. Tak ada yang berubah pada Peri Ayu. Selalu ayu, seayu-ayunya, melampaui metafora dan hiperbola.

Bangkit hasrat bercinta Lawrence Pasa. Peri Ayu melayaninya. Pagi yang indah.

Seusai itu, ketika turun dari tempat tidur, dia mendapati telapak kakinya tak bisa ia selusupkan sandal jepit merek Havaianas yang baru saja ia beli kemarin. Sadarlah dia pada apa yang pernah dialaminya: ia menjadi manusia yang tak menginjak bumi, mengambang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.

Dia pernah mendengar cerita dari dunia pewayangan mengenai ksatria Pandawa bernama Yudhistira yang keretanya tidak menginjak tanah, mengambang beberapa sentimeter di atas tanah. Itu karena Yudhistira tak pernah berbohong. Tatkala kata bohong ia ucapkan, konon roda kereta seketika mengentak bumi. Dukk.

Ingat cerita itu, Lawrence mendapat ide. Siapa tahu dengan berkata bohong, aku bisa menginjak bumi. Dia mencobanya.

”Aku bukan Lawrence Pasa. Aku Lawrence Tjandra,” kata Lawrence.

”Apa?” Peri Ayu menyahut.

”Aku bukan Lawrence Pasa,” Lawrence mengulangi kata-katanya, siapa tahu berhasil.

Ternyata gagal. Kakinya tetap saja tidak menjejak bumi seperti kereta Yudhistira. Ia tetap mengambang di atas permukaan tanah.

Peri Ayu tersenyum.

”Bohong atau tidak bohong tidak akan mengubah keadaanmu,” ucap Peri Ayu. ”Sekarang ini hanya semata-mata waktumu membayar janji padaku.”

Sadarlah Lawrence Pasa, bahwa ia tak akan sanggup lagi menginjak bumi. Sekarang dan kelihatannya selamanya. Ia pasrah.



Bre Redana, wartawan senior kelahiran Salatiga. Akhir tahun lalu meluncurkan novel Koran Kami, With Lucy In The Sky, bulan April 2018 mendatang ia akan meluncurkan buku terbarunya, Karmacinta: Biografi Sanjoto Senyatanya. Tahun 1990-1991 Bre mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Technology, Inggris.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Anak Perempuanku

TENNI PURWANTI Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini. Sebelumnya aku ingin menyampaikan bahwa aku bersyukur mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Bertahun-tahun sebelum aku mengandungmu, teknologi sudah memungkinkan para orangtua mengetahui jenis kelamin anak mereka sebelum mereka lahir. Aku yang sejak dulu meng...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Cerpen Karya Martin Aleida Terpilih sebagai Cerpen Terbaik ”Kompas” 2016

PENGHARGAAN SASTRA Dahono Fitrianto & Wisnu Dewabrata 15 Juni 2017 21:46 WIB Kompas/Hendra A Setyawan  Penulis Martin Aleida menceritakan latar belakang penulisan cerita pendek karyanya berjudul ”Tanah Air” yang terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6). JAKARTA, KOMPAS — Cerita pendek atau cerpen ”Tanah Air” karya penulis Martin Aleida terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta Pusat, Kamis (15/6) malam. Dalam acara tahunan yang digelar dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun Kompas tersebut, sastrawan Triyanto Triwikromo dari Semarang juga mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya. Penyerahan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2016 diserahkan langsung Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo kepada Martin Aleida. Sementara penghargaan Kesetiaan Berkarya diserahkan Wakil ...