Langsung ke konten utama

Kari Mak Qori

Ayi Jufridar


Sebagai komandan gerilyawan yang disegani, dada Pang Min terasa membara ketika mengetahui Mak Qori memberi makan tentara musuh sebanyak tiga kali sehari, 21 kali dalam sepekan, atau 90 kali sebulan.

Perbuatan terlarang itu sudah berlangsung selama dua bulan dan baru diketahui pada pekan pertama bulan ketiga. Pang Min murka kepada Mak Qori sekaligus anak buahnya yang tidak melaporkan kejadian itu pada kesempatan pertama.

”Coba bayangkan, sudah berapa piring nasi dan lauk yang disumbangkan kepada musuh. Dari makanan yang mereka santap itu, mereka dapat tenaga, otak mereka bisa berpikir untuk menyiksa kita. Berapa banyak saudara kalian dibunuh dengan tenaga yang mereka dapatkan dari makanan yang dimasak Mak Qori. Dan kalian membiarkan saja itu terjadi! Berbulan-bulan!”

Pang Min memiliki sepuluh regu gerilyawan. Kekuatan setiap regu berbeda, demikian juga persenjataannya. Satu regu terkadang berjumlah 10 orang, terkadang hanya lima saja, tergantung kebutuhan, situasi, dan musim.

Di musim tanam padi, jumlah anggotanya berkurang sebab mereka harus turun ke sawah dan menjadi warga sipil biasa. Atau ketika terjadi operasi besar-besaran, semuanya menjadi warga sipil. Siang menjadi sipil, malamnya menjadi militer.

Kelompok itu memiliki senjata api laras panjang jenis AK-47 tujuh pucuk, tetapi sering berpindah tangan kepada setiap anggota untuk mengesankan semua gerilyawan menyandang AK-47 agar kelompok mereka lebih disegani.

Sejak masuk dalam garis perjuangan tiga tahun silam, Pang Min sudah terlibat dalam sejumlah serangan terhadap iring-iringan kendaraan tentara. Beberapa tentara terbunuh, tetapi anak buahnya mengembuskan kabar bahwa sudah puluhan tentara mengembuskan napas terakhir di tangan Pang Min.

Ditambah lagi dengan cerita yang sengaja disampaikan kepada masyarakat dengan sedikit keraguan tentang mitos Pang Min yang kebal. Kesaktian itu dibuktikan banyaknya codet di tubuhnya. Bahkan proyektil peluru pun hanya melukai permukaan kulit saja, tidak mampu menembus dagingnya yang sekeras baja.

Dengan kewibawaan sementereng itu dan mitos-mitos yang melingkupinya, Pang Min merasa hukuman terberat harus dijatuhkan kepada Mak Qori. ”Tembak saja kalau ia mengantar rantang lagi kepada musuh!”

”Apa tidak sebaiknya kita ingatkan saja, Pang?” tatap seorang anak buah Pang Min yang masih muda.

”Tak ada peringatan lagi. Dan tak ada pertanyaan lagi. Jangan sampai aku sendiri yang turun tangan.”

Sesungguhnya, beberapa anak buah Pang Min sudah lama tahu tentang rantang yang keluar masuk dengan bebas kepada perwira di pos komando tentara. Bahkan sudah ada yang mengingatkan Mak Qori agar berhenti memberi makan musuh. Tapi Mak Qori memberikan jawaban yang membuat mereka tidak punya alasan untuk mendebat.

”Baiklah, mulai besok aku berhenti menjual nasi kepada mereka. Sebagai gantinya, kalian saja yang membayarku dengan harga yang lebih rendah dari tentara itu.”

Terhadap orang lain, anak buah Pang Min bisa saja mengeluarkan kalimat sakti: ”Patuhi perintah kami atau tanggung sendiri risikonya.”

Tetapi, kepada Mak Qori, mereka masih segan. Mak Qori memiliki tiga anak gadis, dan ketiganya cantik pula. Anak buah Pang Min sudah menyenter ketiganya untuk calon istri. Bukan saja para lajang, yang sudah menikah pun mengincar anak Mak Qori untuk dijadikan istri kedua, ketiga, atau keempat.

Masalahnya, ketiga anak Mak Qori masih belia, yang tertua masih kelas tiga SMA, kedua masih kelas satu SMA dan yang bungsu masih SMP. Pernah ada yang nekat melamar si sulung, tetapi Mak Qori menolak dengan halus. ”Tunggulah dia jadi sarjana dulu.”

Anak buah Pang Min juga menghormati Mak Qori karena perempuan itu sering membantu warga sekampung memasak kari kambing ketika ada acara kenduri, baik untuk perkawinan, Maulid Nabi, turun tanah anak warga, sampai pada peringatan tujuh hari kematian. Ketika orang ingin makan kari kambing dengan daging empuk dan aroma rempah yang melekat abadi di rongga hidung, warga ingat Mak Qori.

Ketika gerilyawan merayakan milad, Mak Qori pula yang memasak kari kambing. Puluhan kilo daging kambing segar dicincang para lelaki, puluhan liter santan kental juga disiapkan para lelaki. Demikian juga dengan rempah lain seperti bunga lawang, kayu manis, kepulaga, cengkih, lada, jintan manis, dan ketumbar, semuanya sudah tersedia dalam jumlah cukup, termasuk biji ganja yang diyakini akan membuat daging kambing menjadi lebih empuk.

Tapi, Mak Qori-lah yang mengolah semua bumbu tersebut dalam takaran yang pas. Aroma kari kambing yang menggugah selera menguar sejauh angin mampu membawanya. Banyak yang mengaku, hanya dengan mencium aromanya saja air liur sudah menetes.

Waktu itu, panglima gerilyawan juga hadir dan terkesan dengan kari kambing racikan Mak Qori. Dia menghabiskan satu kepala kambing seorang diri setelah puas menghirup kuah kari dari piring. Bisa dibilang Mak Qori sudah berjasa dalam perjuangan, bahkan Pang Min juga ikut menikmati kari Mak Qori. Tak pantas ia ditembak hanya karena menjual nasi untuk tentara.

Dua anak buah Pang Min memberanikan diri melawan perintah komandannya dengan mengingatkan Mak Qori untuk kedua kalinya. Senjata belum pantas meletus bagi Mak Qori. Mereka meminta Mak Qori berhenti mengantar nasi untuk komandan tentara. ”Kalau tidak, kami tak bisa membendung amarah Pang Min.”

”Oh, begitu?” seru Mak Qori. ”Jadi aku bersalah karena jual nasi untuk tentara. Bagaimana dengan penjual rokok, air, Wak Sabi yang jual kopi harusnya dilarang juga. Setiap pagi, belasan tentara ngopi di warungnya. Kenapa mereka tidak dilarang?!”

Kedua anak muda itu sadar, Mak Qori benar. Namun, mereka tetap menyarankan Mak Qori tidak lagi mengantar nasi kepada para perwira tentara, setidaknya untuk sementara waktu. ”Atau kalau mau,” saran seorang di antara anak muda itu, ”campurkan saja sedikit racun dalam kari. Setelah itu, kami akan melindungi Mak Qori sekeluarga, bahkan sampai anak cucu.”

Tatkala mendapat laporan Mak Qori masih mengantar rantang kepada tentara, Pang Min kembali murka. Sore itu juga dia turun ke kampung dekat dengan lokasi pos tentara. Tak ada yang mengenalinya di sana, seperti juga para pentolan gerilyawan yang lain yang bebas bergerak kemana saja bahkan terkadang tanpa penyamaran sedikit pun. Para tentara yang ditugaskan beberapa bulan, hanya mendengar nama mereka saja.

Sebelum gelap turun, ia sudah duduk di warung kopi yang terletak tak jauh dari pos tentara dengan ditemani beberapa anak buahnya. Dia harus menunggu Mak Qori dan seorang anak gadisnya keluar dari pos tentara dan mengikutinya sampai agak jauh.

Semakin jauh dari pos, semakin bagus karena suara tembakan akan mengundang tentara datang lebih cepat. Pang Min sering bermimpi mendapatkan pistol berperedam seperti dalam film, tetapi sejauh ini impian tersebut belum terwujud.

Dengan sepeda motor, Pang Min dan seorang anak buahnya menguntit motor Mak Qori. Perempuan bertubuh agak tambun itu duduk di belakang, dengan kedua tangannya memegang empat rantang, dua di kiri dua di kanan. Mereka melalui jalanan kampung yang berbatu dan becek di musim hujan serta berdebu di musim kemarau. Sebelum gelap turun, warga mulai bergegas pulang ke rumah sebab baku tembak antara tentara dengan gerilyawan sering terjadi pada malam hari.

Diam-diam Pang Min memegang erat pistol yang tersembunyi di balik kemeja. Saat mendekati motor Mak Qori yang dikendarai anaknya, seketika motor Mak Qori membentur batuan besar. Motor agak oleng, tetapi Mak Qori selamat. Hanya keempat rantang aluminium yang berada di tangannya terjatuh dan berserakan di jalanan berbatu.

Anak buah Pang Min juga kaget menghindari rantang yang berserakan. Dia berhenti persis di belakang motor Mak Qori yang kini mengumpulkan rantangnya kembali. Tatapan Mak Qori sempat mengarah kepada Pang Min dan anak buahnya, tetapi ia tidak merasa terganggu, apalagi terancam.

Aroma kari kambing dari rantang yang belum dicuci menguar sampai ke hidung Pang Min, mengingatkan dia pada masa-masa akrab bersama panglimanya yang kini entah berada di hutan mana. Kian lama, aroma kari itu tercium kian kental seiring dengan kian mengendurnya genggaman pistol di tangan Pang Min.



AYI JUFRIDAR, bekerja sebagai jurnalis dan penulis fiksi di Lhokseumawe, Aceh. Empat novel yang sudah terbit, Alon Buluek (2005), Kabut Perang (2010), Putroe Neng (2011), dan 693 KM Jejak Gerilya Sudirman (2015).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...