Langsung ke konten utama

Dolag Melukis Tuhan

Supartika


Si tua bangka Dolag menaruh kanvas lukis berukuran 90 x 50 sentimeter di atas potongan kayu yang disandarkannya pada tembok. Ia pandangi kanvas itu sebelum akhirnya menyeringai, memperlihatkan giginya yang ompong di bagian depan dan sisanya berwarna kuning kehitaman. Kumisnya yang memutih sedikit terangkat, maklum kini ia telah memasuki usia kepala tujuh.

Dolag beranjak ke meja yang berada di dekat pintu, mengambil dua kaleng cat warna merah dan hitam serta tiga buah kuas dengan ukuran bervariasi. Duduk di depan kanvas, menaruh cat, dan ia kembali menyeringai sambil membayangkan sesuatu yang akan muncul dari kanvas di depannya jika tangannya telah mulai menggoreskan kuas berisi cat.

Perlahan dan pasti ia buka tutup kedua kaleng cat itu dan tutupnya ditaruh di samping masing-masing kaleng cat dengan kondisi tengadah. Cat merah ia tuangkan pada tutup kaleng yang kemudian disusul dengan cat hitam. Ia ambil kuas yang berukuran sedang dan mulai mencelupkannya pada cat merah yang telah dituang ke tutupnya.

Sambil mengaduk diangkatnya tutup kaleng cat itu, dan ia mulai menatap kanvas yang ada di depannya. Kadang ia menjauhi kanvas, kadang ia mendekat dan bahkan sangat dekat hingga mukanya menempel pada kanvas.

Ia kembali tersenyum dan dalam sekali hentakan, ia membuat cipratan kecil warna merah pada sisi kanan atas kanvas. Diamatinya bentuk cipratan yang terbentuk, lantas ia mulai mencari bentuk obyek yang cocok dengan cipratan itu. Si tua bangka itu membayangkan bahwa cipratan yang terbentuk serupa ekor burung. Namun ia segera mengubahnya dan membayangkan itu adalah cakar naga.

”Oh tidak,” ia mulai menaruh cat dan kuas lalu mendekatkan matanya pada cipratan yang terbentuk, dengan teliti dan seksama ia pandangi setiap lekuk pada cipratan itu, ”Ini bukan ekor burung ataupun cakar naga. Ini tangan Tuhan. Ya, ini tangan Tuhan yang turun dari langit. Tangan Tuhan hadir dalam kanvasku. Luar biasa.”

Perlahan ia mendekatkan telunjuk pada cipratan cat itu. Ketika telunjuknya berjarak hanya beberapa milimeter, ia menarik kembali dengan cepat. ”Tuhan hadir di atas kanvasku.”

Dolag berdiri, menggeser kursi dan menghadapkannya pada kanvas yang bersandar di tembok. Satu batang kretek ia jepit dengan bibirnya, lalu disulutnya, dan ia menikmatinya. Asap kretek memenuhi ruangan kecil yang berukuran tak lebih dari 3 x 3 meter yang dianggapnya sebagai studio lukis sekaligus galeri tempatnya berpameran.

Sambil menghisap kretek yang tersulut ia membayangkan apa yang harus diisi lagi pada kanvas itu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di tembok tergantung puluhan lukisan dengan beragam bentuk.

Cipratan cat berwarna kuning yang ia beri judul ”Balada Seekor Burung” yang ditulis dalam sepotong kertas putih kecil yang ditempel di bawah lukisan. Garis lurus horizontal hitam di atas kanvas putih yang ia beri judul ”Tepi Langit”.

Garis melengkung berwarna merah dengan dua titik di bawahnya yang ia beri judul ”Iblis Neraka”. Dua garis sejajar warna hijau dan hitam yang dipotong satu garis miring melintang berwarna biru yang diberi judul ”Batas Maya”.

Bahkan ada sepotong kanvas kosong yang digantung di dekat pintu yang ia beri judul ”Suara Semesta”. Dan tentu masih banyak lukisan yang ia tata rapi pada tembok.

Setelah mengamati satu per satu lukisan yang tergantung di tembok, ia beranjak dari kursi. Mengambil cat hitam yang telah dituang di atas tutup kaleng dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengambil kuas yang ukurannya paling besar dan berujung runcing.

Dicelupkannya ujung kuas itu sembari diputar-putar beberapa kali. Di depan kanvas ia berjongkok. Kali ini ia tak membuat cipratan dengan cat hitam, namun perlahan didekatkannya ujung kuas dengan cat hitam pada sisi kiri cipratan. Ujung kuas menyentuh kanvas dan menciptakan sebuah titik hitam yang kemudian kuas itu ditarik dan ditaruh di atas tutup kaleng cat hitam.

Sambil memainkan ujung kumis yang menyentuh bibirnya, ia mengamati dengan seksama titik yang terbentuk.

”Aaaaa…. Ini mata Tuhan. Persis! Ini mata Tuhan. Sebentar lagi aku bisa menghadirkan Tuhan dengan sempurna di atas kanvasku.”

Ia melangkah mundur dua langkah, mundur selangkah lagi, lalu berhenti dan matanya tetap tertuju pada kanvas yang berisi cipratan cat merah dan titik hitam di sisi kiri cipratan. ”Hampir sempurna! Ini nyata. Tangan dan mata Tuhan.”

Perlahan ia menaruh tutup kaleng cat dan kuas di atas meja dan matanya masih tetap menatap kanvas. Dengan tajam ia melihat ke arah cipratan merah dan titik hitam secara bergantian. Sesekali ia melihat sisi lain kanvas yang masih kosong sambil membayangkan apa yang mesti ia lakukan dengan sisa kanvas yang masih kosong itu.

Tiga kaleng cat diambil lagi dari atas meja. Cat yang diambil berwarna putih, biru, dan kuning. Ditaruhnya ketiga cat itu di samping dua cat sebelumnya dan ia langsung membuka tutupnya. Cat biru yang pertama ia tuang ke atas tutup kaleng catnya yang kemudian disusul cat putih dan kuning.

”Tuhan yang indah, Tuhan yang maha sempurna, hadirlah, hadirlah di atas kanvasku….” Dolag menyanyi dengan nada sumbang. Tangannya sibuk mencampur dan mengaduk cat yang telah dituangnya. Pertama ia mencampur cat merah dengan putih, ditambah sedikit cat biru dan diaduk dengan rata. Setelah rata, ia mendekatkan kuas ke kanvas namun kuas itu tak menyentuh kanvas.

Ia mencoba menggerakkan ujung kuas di depan kanvas mencari bentuk yang pas. Kadang memutar, menyilang, menyamping, akan tetapi ia merasa belum menemukan obyek yang pas. Ia mengurungkan niatnya menempelkan ujung kuas di kanvas, menarik kuas, lalu meletakkannya di atas kaleng cat hitam.

Dolag mencolek warna biru dengan telunjuknya yang kemudian didekatkannya pada kanvas. Matanya dipejamkan dan dengan serampangan ia menggoreskan tangannya sebanyak tiga kali. Perlahan ia membuka mata dan terkejut, ”Tuhan hampir sempurna hadir di kanvasku.”

Seperti tak percaya, ia mengucek matanya dengan punggung tangannya. ”Ya, sempurna! Hanya perlu sedikit sentuhan lagi, maka Tuhan akan hadir dengan sempurna di atas kanvasku,” ia bergumam.

Ia kegirangan, melompat-lompat di dalam kamarnya. Usai melompat ia menari dengan tubuh yang sangat kaku sambil berjalan berkeliling kamar. Mulutnya pun tak henti-hentinya menyebut: Tuhan di atas kanvasku.

Untuk merayakan lukisannya yang belum sempurna yang disebut sebagai lukisan Tuhan, ia menarik selembar kanvas yang tergulung di atas meja. Kanvas itu lumayan panjang. Sebagaimana seorang tuan rumah menggelar tikar untuk tamunya, seperti itulah ia menggelar kanvas itu di lantai. Pada keempat ujung kanvas ia tindih dengan kaleng cat bekas.

Mulailah ia merayakan kegembiraan itu. Sisa cat yang belum dituang ke atas tutup kaleng cat, ia tuang ke atas kanvas. Setelah semua dituang, ia memulai perayaan dengan menginjak genangan cat, lalu berjalan di atas kanvas sambil melompat kecil yang dilanjutkan dengan merebahkan dirinya di atas genangan cat. Ia berguling-guling di atas kanvas, dan tangannya bergerak tak beraturan memainkan genangan cat itu.

Betapa bahagianya si tua bangka Dolag saat itu. Bagaimana tidak bahagia, semenjak memutuskan untuk jadi pelukis dan pensiun dari menulis, hal yang paling pertama ingin dilakukannya adalah melukis Tuhan.

Bahkan jauh sebelum ia memutuskan jadi pelukis dan masih jadi penulis, ia ingin sekali menulis tentang Tuhan. Namun dirinya selalu merasa gagal saat menulis tentang Tuhan. Dirasanya ada yang masih kurang. Pernah ia menulis sejarah kelahiran Tuhan dengan riset yang dianggapnya sangat mendalam, cerpen, puisi, dan semuanya tentang Tuhan, tetapi perasaan gagal selalu menghantuinya.

Dalam kegelisahannya, ia datang ke sebuah acara pameran lukisan di ibu kota dengan tujuan untuk menghibur diri dan berharap bisa bertemu dengan teman sesama penulis yang juga menggandrungi lukisan. Di sana, memang ia bertemu teman penulis yang menggandrungi lukisan dan bahkan sempat berbincang tentang masa depan dunia menulis, sekaligus mendapat sebuah jalan yang baik untuk menghadirkan Tuhan.

Ketika melihat sebuah lukisan yang berjudul ”Tuhan”, walaupun menurutnya yang ada di lukisan itu bukan sosok Tuhan, ia membuat sebuah kesimpulan bahwa cara terbaik untuk menghadirkan Tuhan bukan lewat tulisan melainkan lewat lukisan.

Sesampainya di rumah, ia mengambil selembar kertas dan pensil dan berharap dapat menghadirkan sosok Tuhan di atas kertas. Ia tak menemukannya hingga keesokan paginya memutuskan untuk membeli kanvas dan beberapa kaleng cat lengkap dengan kuas.

Sejak saat itu, mulailah ia melakukan sebuah petualangan untuk menghadirkan Tuhan di atas kanvas. Selama masa pencariannya, ia tak bisa melukiskan sosok Tuhan di atas kanvasnya dan yang bisa ia hadirkan hanya cipratan, goresan, ataupun titik yang ia pajang di tembok dan diberi judul sekehendak hati sesuai dengan perasaannya ketika itu.

Saat membuat cipratan berwarna kuning dan ia melihat seekor burung hinggap di halaman rumah, ia memberi lukisannya judul ”Balada Seekor Burung”. Begitupun saat ia membuat garis horizontal dengan tinta hitam, ia melihat langit sangat cerah dan lukisannya diberi judul ”Tepi Langit”.

Dan kini, setelah hampir sepuluh tahun ia memutuskan untuk menjadi pelukis demi menghadirkan Tuhan, baru ia merasa usahanya berhasil walaupun belum sempurna betul. Masih butuh sedikit sentuhan untuk menghadirkan bahwa Tuhan benar-benar nyata dalam lukisannya.

Usai berguling-guling di atas kanvas yang penuh cat, dan dengan tubuh yang masih berlumuran cat, ia mengambil kuas. Ia melihat setiap cat yang telah dituang sebelumnya sambil memikirkan warna apa yang paling cocok digunakan sebagai polesan penutup yang akan membuat Tuhan hadir dengan sempurna dalam lukisannya.

Ini bukan perkara mudah baginya. Jika salah menggunakan cat, maka semuanya akan gagal, dan usahanya selama bertahun-tahun, termasuk perayaan kecil yang telah ia lakukan akan jadi sia-sia. Demi hasil yang sempurna ia memejamkan matanya dan mencoba menenangkan pikiran.

Satu menit kemudian ia membuka mata, dan dengan gerakan yang cepat ia celupkan ujung kuas pada cat biru dan kuas itu ia lempar ke kanvas. Plakkk… Bulu kuas menempel tepat di tengah-tengah kanvas dan beberapa saat langsung jatuh. Dari gerakan kuas saat menempel hingga jatuh terbentuk sebuah goresan vertikal yang membuat Dolag melompat kegirangan.

Ia mengangkat kanvas dari tempatnya dan berlari ke jalan. Ia menghampiri seorang pemuda yang lewat sambil menyodorkan kanvasnya.

”Lihat, aku telah melukis Tuhan dengan amat sempurna!”
”Itu bukan Tuhan, itu hantu!” kata pemuda itu tanpa melihat lukisan Dolag.



Supartika bernama lengkap I Putu Supartika, lahir di Karangasem, Bali, 16 Juni 1994. Alumnus Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Pendidikan Matematika. Kini mengelola jurnal sastra Bali modern Suara Saking Bali dan wartawan di Tribun Bali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...