Langsung ke konten utama

Malam Laksmita

S Prasetyo Utomo


Tengah malam, dalam pulas tidur, Ayah mengigau, ketakutan, serupa diburu setan. Berteriak-teriak. Tak jelas benar kata-kata yang diteriakkan. Menampakkan rasa ngeri.

Laksmita pernah bertanya pada Ayah, mimpi apakah yang selalu menghantuinya. Ayah tak pernah memberi tahu peristiwa mimpi yang senantiasa mencekam tidur malamnya.

Ayah seorang preman, melarikan diri dari pembantaian penembak misterius. Sejak dalam pelarian ke lereng Gunung Merapi, Laksmita, kelas dua sekolah dasar, selalu mendengar teriakan-teriakan ketakutan dalam mimpi Ayah. Bertahun-tahun kemudian Laksmita tumbuh sebagai gadis, terus didengarnya tiap tengah malam, igauan ketakutan. Ayah yang lumpuh, dan selalu terbaring di tempat tidur, menyisakan kengerian masa silam dalam mimpinya.

Meninggalkan lereng Gunung Merapi, kembali menempati rumah tua di pinggir kota Yogya yang sepuluh tahun lebih ditinggalkan, Laksmita merasakan hal yang merisaukan. Ayah terus mengigau tiap tengah malam. Laksmita tak pernah bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dalam mimpi Ayah.

Hal yang tak pernah dipikirkan Laksmita, Ayah menampakkan perangai tenteram sepanjang siang. Ayah seperti terbebas dari prasangka akan menerima peristiwa yang buruk. Tak lagi merasa sebagai seorang preman buron yang bisa ditembak setiap saat, dan bangkainya dibuang di tempat sampah, tanggul sungai, atau di sisi gelap rel stasiun tua.

Sesekali Ayah membicarakan Ibu, yang selama ini meninggalkan mereka. Ayah, sebagai preman yang diburu penembak misterius, tak bisa mencegah ketika istri meninggalkannya. ”Kau tak pernah mendengar kabar ibu? Ia dulu penuh rasa takut meninggalkan kita. Sejak kita bersembunyi di desa senyap lereng Merapi, aku tak pernah dengar kabarnya.”

”Apa yang mesti saya lakukan? Melacak Ibu?”

”Tidak harus melacaknya. Siapa tahu kau dapat kabar tentang dia. Ajak dia kembali ke rumah ini.”

”Semoga Ibu segera kembali ke rumah ini. Hidup bersama kita.”

”Kalau suatu hari kau nikah, mudah-mudahan ia sudah berada di sisiku. Kau bisa ikut suami.”

”Saya tak pernah punya pikiran akan meninggalkan Ayah.”

Laksmita sadar, ibunya tak pernah benar-benar ingin kembali pada Ayah, preman yang menjadi buron. Teman-teman Ayah ditembak, dibuang jenazahnya seperti bangkai anjing di tempat sampah, di tepi jalan, di tanggul sungai. Selama Ayah melarikan diri, tinggal di tempat tersembunyi, Ibu tak pernah mencari Ayah.

Ketika melakukan persembunyian, Ayah membeli dan menempati rumah sunyi di lereng Gunung Merapi, Ibu tak pernah menampakkan diri. Laksmita seorang diri merawat Ayah yang lumpuh, dan ia tumbuh sebagai gadis yang dicekam rasa takut, curiga pada setiap orang, dan mengasingkan diri. Ia hanya terbuka pada seorang lelaki yang membuatnya berperasaan nyaman: Broto.

Ketika Ayah memutuskan untuk pulang ke kota, menjual rumah dan lahan sunyi di lereng Merapi yang selama ini ditempatinya pada Broto. Ayah meminta kembali menempati rumah lama di kampung pinggir kota. Laksmita tak bisa menolak. Ia mengikuti saja kemauan Ayah, meskipun ia kerasan tinggal di lereng Gunung Merapi. Ia terbiasa dengan kesunyian, dan merasa nyaman dengan alam yang menenteramkan.

Ia tak biasa memasuki kehidupan kampung pinggir kota dengan rumah-rumah berimpitan, suasana yang gaduh. Ia merindukan kicau burung kacer yang selalu bertengger di atas dahan randu alas bila mencuci dan mandi di sendang. Ia kangen mendengar nyaring irama tonggeret dari hutan yang jauh melintasi pohon-pohon nangka yang merekahkan harum buah.

Tiap malam datang, Laksmita merasakan ketakutan mencekam. Dalam tidur Ayah selalu mengigau, berteriak-teriak, seperti diburu seseorang yang mengancam akan mencincangnya.

♦♦♦

Ayah semakin sehat, bisa berjalan, tertatih-tatih dengan tongkat, setelah sebulan menempati kembali rumah tua di pinggir kota. Ayah seperti ingin mengenali kembali rumah yang dulu ditinggalkannya, lebih sepuluh tahun, seperti orang asing yang ingin mengakrabi suasana di sekitarnya. Ayah tampak lebih segar, lebih bergairah, menyapa tetangga-tetangga yang telah lama ditinggalkannya. Rumah itu melapuk, dan tetangga yang sebagian besar masih sama seperti saat ditinggalkannya–menampakkan perasaan takut, sungkan, dan berpura-pura tunduk.

Laksmita yang terbiasa hidup menyendiri menikmati kesunyian lereng Gunung Merapi, canggung bergaul dengan tetangga di masa kecil. Ia dihantui rasa asing, cemas, dan curiga dengan orang-orang yang ditemuinya. Tapi rupanya Ayah sudah terbebas dari rasa cemas itu, dan ia mengikuti kebebasannya.

Yang membuat hati Laksmita tenang, Ayah senantiasa berangkat ke surau tiap kali terdengar azan berkumandang. Tertatih-tatih ia dengan tongkat, berangkat dan pulang dari surau, menemukan teman- teman baru, yang dulu mungkin menaruh kebencian padanya. Wajah Ayah tampak bersih, lebih bersinar, meski tampak goresan luka miring, bekas bacokan senjata tajam di pipi kanan. Ayah tak menyembunyikan bekas luka itu, dan tak pernah merasa malu dan rendah diri dengan bekas luka itu.

Sore itu sambil minum teh di teras, Ayah meminta Laksmita untuk menungguinya. Ayah kembali merokok, dan seperti mengenang kebiasaan-kebiasaan di masa silam. Laksmita merasa bakal lama hidup bersama Ayah. Ia hanya ingin menyelaraskan diri dengan tetangga di masa lalu, dan melupakan pandangan-pandangan jijik teman- teman semasa kecilnya.

Ia kini memang tak menemukan pandangan-pandangan jijik seperti masa silam, tidak lagi dikucilkan teman-teman seperti anjing kudisan. Teman- teman masa kecilnya itu kini sudah sama besar dengannya. Mereka tampak sebagai orang asing yang canggung.

”Ayah akan sangat bahagia kalau kau mau bergaul dengan teman-teman masa kecil dulu.”

♦♦♦

Sungguh tak pernah diduga Laksmita bila senja itu Ayah menunggu kehadiran Broto, lelaki muda yang membeli lahan dan rumah mereka di lereng Merapi. Apa yang dibicarakan Ayah? Tampak sekali Ayah bicara dengan muka yang serius. Terlalu serius. Laki-laki muda itu, seorang penari lereng Gunung Merapi, serupa binatang tangkapan Ayah, yang tak berkutik sama sekali. Ia seperti terperangkap, dan tak bisa lepas dari jeratan Ayah.

Ketika Laksmita menyuguhkan teh dan makanan, lelaki muda penari dari lereng gunung itu menunduk, sama sekali tak berani mengangkat muka. Alangkah santun ia, atau sedang menyembunyikan hasrat?

Perbincangan yang pelan dan berat berlanjut antara Ayah dan Broto. Laksmita merasakan sesuatu yang disembunyikan di antara mereka. Melihat lelaki muda itu gagup ketika berpamitan pulang, lenyap dengan mobil yang dikemudikannya, Laksmita memendam kecurigaan yang lebih dalam. Ia ingin menyingkap rahasia perbincangan Ayah dengan Broto. Tapi Ayah membungkam. Tak berkenan membicarakannya pada siapa pun. Wajah Ayah kelihatan tenang, tenteram. Laksmita tak pernah melihat wajah ayahnya setenang itu.

Juga ketika makan malam, Ayah tampak menikmati rahasia perbincangan dengan Broto yang disembunyikan dari hadapan Laksmita. Ayah berangkat tidur lebih awal dari biasanya. Laksmita menutup pintu dan jendela, dengan harapan nanti malam Ayah tidak mengigau ketakutan dalam mimpinya. Sepanjang malam itu memang senyap. Laksmita merasakan ketenteraman yang tak lazim, Ayah tidur tanpa mengigau ketakutan.

♦♦♦

MASIH terlalu pagi ketika terdengar ketukan pintu, gencar, bertubi-tubi. Terdengar percakapan-percakapan orang- orang kampung, gaduh, memanggil-manggil nama Laksmita. Gelap, mungkin lepas subuh, Laksmita menggeliat, tersisa nikmat tidur semalam yang melelapkannya. Ia malas bangun, masih ingin melanjutkan mimpi-mimpi yang terputus. Tak pernah ia merasa setenang ini dalam tidur.

Langkah kakinya memberat saat ia meninggalkan kamar, mendapati beberapa lelaki menunggu di depan pintu pendapa, yang dibentangkannya. ”Ayahmu meninggal di surau.”

Laksmita terpana. Tapi ia tak memekik. Ia bergegas mengikuti orang-orang melangkah ke surau. Menemukan Ayah terbujur di atas karpet. Bersedekap. Memejamkan mata. Wajah itu sangat damai. Orang-orang membopongnya ke rumah Laksmita. Dibujurkan di atas meja. Disungkup kain batik.

Laksmita tak ingin berduka, meski ia tak pernah memikirkan akan secepat ini ditinggalkan Ayah. Tapi peristiwa kemarin senja, ketika Ayah berbincang-bincang dengan Broto, seperti menyampaikan rahasia, penggalan kisah yang tak pernah bisa disampaikan pada Laksmita.

Ia tak tahu harus meminta tolong pada siapa, kecuali berharap pada Broto–yang mendadak muncul, seperti telah menduga hal yang bakal terjadi menimpa Ayah. Lelaki muda itu seperti ditemukan Ayah untuk mendampingi Laksmita, agar tak lagi hidup sebatang kara. Apakah Ayah sudah mengetahui saat kematiannya sendiri?

Laksmita merasa gugup justru ketika Ayah sudah dikuburkan, dan ia pulang bersama Broto. Rumah yang ditempatinya terasa asing, dan seperti memutus kenangan-kenangan masa lalu.

”Apa yang diceritakan Ayah padamu kemarin sore?”

Broto memandangi Laksmita, seperti ingin menggoda. ”Ayah memintaku untuk menikahimu.”

Tersipu-sipu, Laksmita memandangi Broto, ingin kepastian: ini gurauan atau sungguh-sungguh? Lelaki itu dikenal Laksmita tak suka bercanda. Lelaki itu selalu serius, selalu bicara dari hatinya. Tapi tak mungkin bagi Laksmita untuk menyambut peristiwa ini dengan kebahagiaan. Ia baru saja ditinggal pergi Ayah. Ia juga belum mengenal lelaki muda itu. Ia dijangkiti rasa bimbang.

♦♦♦

KETIKA orang-orang usai tahlil, lepas isya, berpamitan pulang, pendapa rumah Laksmita kembali senyap. Tinggal Broto, gelas-gelas kosong serta sisa makanan dalam piring. Laksmita duduk bersimpuh di tikar. Memandangi Broto, dengan pandangan yang memohon.

”Kamu pulang malam ini?”

”Ya. Kenapa?”

”Tidak menginap di sini?” Laksmita meminta. Tapi ia tak berani berharap. ”Aku belum terbiasa tinggal seorang diri di rumah. Aku tak paham kebiasaan Ayah, yang bila malam selalu mengigau, teriak-teriak ketakutan. Sebenarnya, apa yang terjadi pada Ayah? Sepertinya Ayah pernah cerita padamu!”

”Kau mau mendengarnya?”

”Tentu. Aku tak pernah berhasil bertanya pada Ayah, mengapa ia selalu berteriak-teriak ketakutan dalam tidurnya. Apa karena Ayah takut akan dihabisi penembak misterius waktu itu?”

”Bukan. Ayah pernah ditangkap lima penembak misterius, dibawa ke stasiun tua tengah malam, sunyi, dengan mata tersungkup kain, kaki tangan diikat. Ayah minta dibebaskan, karena ia memiliki anak gadis kecil yang ingin diasuhnya. Ia memang dibebaskan. Tapi dengan syarat mau menghabisi seorang preman yang kebal senjata dan memenggal kepalanya. Kepala itu diletakkan di sudut stasiun tua, di tempat seharusnya ia ditembak mati.”

”Ayah membunuh preman itu?”

”Agar bisa mengasuh anak gadisnya, Ayah membunuh preman itu. Memenggal kepalanya, dimasukkan dalam ransel, dan diletakkan di sudut sunyi stasiun tua, dalam semak belukar. Ayah dibiarkan melarikan diri ke lereng Gunung Merapi.”

Laksmita terdiam. Mengenangkan kecintaan Ayah padanya. Tiap pagi hari Ayah yang senantiasa membangunkannya, memandikan, menyisir rambut yang basah sebahu, mengenakan pakaian, menyuapi makan, dan mengantarkan ke sekolah.

Bila ia sakit, selalu Ayah yang membawanya ke dokter, merawatnya, bahkan menggendongnya malam-malam, keluar rumah, melihat bulan, gemerlap bintang dan merasakan dingin angin dini hari yang mengembus.

Ketika Ibu pergi meninggalkan keluarga, Ayah tampak geram. Tapi Ayah tidak marah, menggendongnya sepulang sekolah dasar, kelas dua, dan berbisik, ”Kita hidup berdua. Cuma berdua. Jangan takut, Laksmita, aku akan menjagamu sampai datang seorang pangeran tampan baik hati yang melamarmu.”

Laksmita mengerutkan kening. Benarkah Broto seorang pangeran tampan baik hati yang akan mendampingi kehidupanku, menggantikan peran Ayah?

♦♦♦

Pandana Merdeka, Januari 2019



S Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Sejak 1983 menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa. Tulisannya antara lain dibukukan dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (antologi esai, 1985), Antologi Puisi Jawa Tengah (antologi puisi, 1994), Serayu (antologi puisi, 1995), dan Sesudah Layar Turun (antologi puisi, 1996).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...