Langsung ke konten utama

Hari-hari Kehidupan

Wilson Nadeak

Agak mengejutkan surat Mama. Mungkin karena masa mudanya ia guru bahasa Indonesia, renungan dan kenangan masa lampau mencuat kembali dalam benaknya. Usia pada dekade kedelapan, membuatnya cerah kembali pada masa lampau. Bahkan ia mengingat masa lampau lebih cerah daripada masa kini. Kejutan dalam surat Mama dimulai dengan cukilan puisi Sitor Situmorang yang rada “diplesetkan”: Jika tiba musimmu nanti/jemputlah Ibunda di rumah sendiri. Aku segera menelepon Mama.

“Memangnya Mama di mana sekarang?”

“Ya, Mama ada di rumah sendiri.”

“Maksud Mama?”

“Ya, Mama ada di sini.”

Aku terhenyak. Diam agak lama.
“Mengapa diam?” tanya Mama.

“Aku tidak mengerti, Ma.”

“Mama ada di rumah sendiri.”

“Bukankah Mama ada bersama abang, di Jerman?” tanyaku.
Kini Mama yang diam. Lama tidak menjawab.

“Mama sudah ada lagi di Bandung?” tanyaku.

“Sejak satu minggu yang lalu, Nak.”

“Mama langsung dari bandara ke Bandung?”

“Prita menjemput Mama dan minta supaya langsung saja ke Bandung. Dengan bus.”

Aku merasa pasti ada sesuatu yang kurang beres. Biasanya Mama datang bergilir ke rumah kami. Sebulan di rumahku, sebulan di rumah adikku yang bungsu, Prita, dan sebulan di rumah abang Tri. Belakangan ini Tri tinggal beberapa lama di Eropa, terutama di Jerman. Ia dan keluarga dalam tugas belajar di sana. Karena penasaran aku bertanya kepada Mama mengapa begitu cepat pulang dan memberitahukan kepulangannya. Mama bertutur:

Sejak aku tiba di sana, cuaca bagiku tidak ramah. Angin dingin yang menusuk kulit menembus beberapa lapis baju. Baju hangat rasanya tidak membantu. Pemandangan di sekitar tampak memutih karena salju yang mulai turun. Orang-orang bergegas memasuki kendaraan. Rasanya, tidak ada pejalan kaki, bahkan di trotoar yang mulai ditutupi salju, butir-butir salju yang berserakan di mana-mana.

Sesampainya di rumah, aku berdiang di tengah-tengah rumah yang ada cerobongnya, menjulurkan kaki untuk mencari kehangatan dari kayu yang menyala. Persis seperti di dalam cerita Cinderella, Nak. Keluarga abangmu sibuk dengan urusan masing-masing. Tampaknya mereka telah menyesuaikan diri dengan lingkungan seperti itu. Kedua anaknya sesekali menemaniku berdiang, ngomong dengan bahasa Indonesia yang kerap diselipi kosa kata Jerman. Ibu-bapanya muncul dengan baju musim dingin yang tebal dengan tutup kepala yang menutupi kuping. Anak-anak segera diberi baju yang tebal untuk menahan dingin, dan aku pun dibebani mantel musim dingin yang tebal dengan kaus tangan yang menutupi seluruh tangan. Aku melihat jam dinding menunjuk pukul tujuh malam setempat. Segala sesuatu berjalan dengan cepat setelah mereka mematikan perapian.

Tri dan istrinya menarik tangan kedua anaknya dan mengajakku keluar. “Ayo,” katanya, “kita harus cepat.”

Aku tidak mengerti. Aku baru saja turun dari pesawat, dengan jam penerbangan yang cukup tinggi. Aku mengikut saja masuk ke dalam mobil yang ada di dalam garasi. Tri menekan tombol dan pintu garasi segera terbuka. Garasi itu tertutup dengan sendirinya.

“Ke mana, Tri?” tanyaku.

“Kita makan malam. Ke restoran yang ada dua blok dari sini.”

Mobil masuk parkir lantai bawah. Kemudian kami naik lift dan muncul di pintu restoran. Tri mengatur tempat duduk bagi kami berlima, dan pelayan restoran menyerahkan daftar menu makanan. Menu makanan yang ditaruh di atas meja sungguh asing bagiku. Kulihat Tri dan istrinya serta kedua anaknya segera melahap makanan yang hangat itu.

Tri mengajariku untuk memakan mana makanan yang pertama harus dimakan. Begitu seterusnya. Rasanya aku kembali seperti anak kecil yang belum tahu bagaiman harusnya makan, dan cara makan. Bagaimanapun rasanya, aku berusaha mengunyah makanan asing itu, menelannya secara pelahan. Seumur hidupku, aku baru merasakan makanan asing seperti itu. Kau tahu, bahwa aku jarang makan di restoran, karena ayahmu mengatakan bahwa makanan yang kumasak adalah makanan yang paling cocok bagi lindahnya. Kecuali ketika menghadiri undangan makan, aku dan ayahmu tidak pernah makan di luar. Sampai ayahmu pensiun dan meninggal dunia, ia selalu memintaku untuk memasak makanan sendiri—juga tanpa bantuan pembantu. Jadi, makan di luar rumah sungguh asing bagiku, dan setelah memasuki usia kedelapan puluh, aku harus merasakan makanan asing di negeri asing pula.

Sejam kemudian kami meninggalkan restoran karena begitu banyak orang yang antre menunggu giliran.

Sesampai di rumah, kami duduk di ruang tamu. Baju musim dingin digantung di belakang, dekat dapur. Kedua anak Tri mendekatiku dan duduk di tangan kursi yang kududuki. Keduanya mengelus punggungku dan bertanya ini-itu tentang Indonesia. Tri dan istrinya senyum-senyum saja sambil menghidupkan televisi yang menyiarkan warta berita dalam bahasa Jerman dan Inggris. Mereka kemudian menanyakan tentang kau dan keluargamu, juga tentang keluarga adikmu, Prita, suami dan anak-anaknya. Aku bercerita banyak sampai mataku terasa mengantuk. Istri abangmu masuk kamar dan kemudian memberitahukan kepada anak-anak sudah waktunya untuk tidur. Aku dituntun istri Tri ke kamar yang rasanya hangat. Di kamar itu ada tempat tidur yang empuk, selimut yang tebal. Sangat nyaman.

Karena aku tiba hari Jumat sore, mereka punya waktu luang. Mereka membawaku ke pelbagai tempat bersejarah, tetapi yang sangat mengesankan bagiku ialah mengunjungi bekas rumah kediaman Karl May yang terkenal dengan karangan-karangannya Winnetou, Di Sudut-sudut Balkan, dan bagaimana ia menulis kisah-kisah petualangan orang Indian sekalipun ia belum pernah pergi ke tempat yang dikisahkannya itu, khususnya Amerika. Kisah-kisah petualangan yang sangat menarik ketika aku masih muda. Banyak bukunya yang kubaca dan tetap tinggal dalam kenangan. Pada hari Minggu aku dibawa ke pelbagai tempat wisata yang menarik seperti yang pernah kulihat di gambar-gambar kartu pos yang populer tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan.

Keluarga abangmu sangat ramah, khususnya pada hari libur. Tetapi pada hari-hari tidak libur, mereka sangat sibuk. Abangmu kuliah, istrinya juga bekerja paruh waktu, sesudah itu antar jemput anak-anak. Nyaris tidak ada waktu hari siang bersama mereka. Aku sibuk dengan diriku sendiri, melihat televisi yang tidak kumengerti bahasanya, kecuali siaran bahasa Inggris. Dua minggu berlalu seperti sebulan rasanya. Tidak ada tetangga yang dapat diajak bicara. Di sini aku lebih banyak diam. Juga ketika petang hari tidak libur, karena anak-anak dan orang tuanya sibuk. Di luar angin musim dingin tidak ramah. Gerimis pun tidak dapat ditahan.

Minggu ketiga aku benar-benar tidak tahan menanggung hari-hari kesepian dan rasa rindu pulang ke rumah. Mengapa aku harus dikurung di rumah ini? Dikurung? Tanyaku kepada diriku sendiri. Bukankah di sini tidur dengan nyaman, segalanya serba tanpa kerja? Rasanya hari terlalu lambat bergulir. Dua minggu yang sunyi, memasuki minggu ketiga yang sepi. Aku tidak tahan lagi. Tri dan anak-anaknya harus bergerak dengan cepat, sementara aku di sini tinggal diam merajut kesunyian. Aku rindu keramaian Bandung, keramahan udaranya, dan keceriaan hidup. Aku ingin pulang ke rumah. Pulang. Hanya itu yang ada dalam pikiranku, kepada Tri dan istrinya kukatakan bawa aku ingin segera pulang. Mereka terkejut. Aku menjelaskan seperti apa yang kurasakan. Mereka maklum, dan segera mengatur tiket kepulanganku.

(… . Begitulah Mama bercerita tentang kegalauan hatinya di negeri asing. Tetapi masih ada lanjutannya mengapa ia langsung ke Bandung).

Lirik puisi yang dikutip dengan utuh, hanya satu bait saja dari penyair A. Hasyimi, penyair dari Aceh dan mantan gubernur: Pagiku hilang sudah melayang/Hari mudaku sudah pergi/Sekarang petang datang membayang/Batang usiaku sudah tinggi …

Ayahmu meninggal 15 tahun yang lalu, Nak. Beberapa tahun sesudah ia pensiun dan kalian menanjak dewasa dan baru membentuk keluarga masing-masing. Pesannya sebelum meninggal, ia katakan kepadaku (Mama) supaya jangan pilih kasih kepada anak-anak. Kalau ada anak yang kekurangan – sementara kedua anak yang lain hidup mencukupi dan membantu aku – berikanlah kepada anak yang kekurangan tanpa memberitahukan kepada anak yang mengirimkan uang kepadamu. Usahakan supaya jangan timbul kecurigaan di antara anak-anak, bahwa bantuan mereka kepadaku diberikan kepada anak yang lain. Kunjungilah mereka secara berkala, tetapi jangan terlalu lama dan mencampuri urusan keluarga mereka. Biarkan mereka membentuk masa depan mereka sendiri. Kita orangtua hanya memberi sedikit petuah, dan biarkan mereka menjalani hidup menurut kodratnya.

Ayah almarhum mengatakan kepadaku supaya selalu mandiri. Dan manakala kalian mengatakan supaya rumahku dijual dan biarlah tinggal dengan kami, hatiku pedih. Aku tidak ingin menggusari kalian, tetapi biarkanlah aku tetap di rumahku. Di sini aku membentuk masa depan kalian. Di sini aku membesarkan kalian. Aku memberi makan kalian dan membesarkan kalian, dan kala kalian masuk sekolah, aku kembali mengajar dan belajar bersama-sama kalian, dan mengajar kalian atas segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan. Satu demi satu kalian pergi dan kini aku menjadi sendiri, karena ayahmu melalui kehidupan ini sesuai kehendak Tuhan. Lagi-lagi rumah ini menjadi kenangan seumur hidupku. Ayah pergi untuk selamanya, dan aku pun menjalani hidup masa tua. Aku menoleh ke masa kecil, menoleh ke masa remaja, dan merasakan kebahagiaan bersama kalian dan anak-anak kalian.

(Mama menuturkan masa kini dan masa lalu dalam periode hidup seorang diri…)

Sejak kepergian ayahmu, kesedihan yang mendalam merasuk ke dalam hatiku. Tetapi itu sudah selesai. Tahun-tahun kenangan dan air mata telah hilang pelahan-lahan. Tetapi kehadiran itu, dalam kematangan waktu, membuat Mama sadar – seorang diri kini, tetapi kehadiran ayahmu terasa di sini, memberi aku semangat hidup mandiri.

Aku bahagia atas kehadirannya, dan kehadiran kalian, dengan anak-anak kalian, tetapi aku merasa bahagia dalam mimpi yang senantiasa menggema – bahwa kalian telah menjadi bagian dari kalbuku, mengingat kalian berarti mengingat ayahmu. Keberadaannya suatu kali dalam kehidupan ini, menjadi bagian dari kehidupanku. Aku menyibukkan diri dalam keseharianku, memasak nasi untuk diriku sendiri – bukankah pensiun ayahmu hadir dalamnya?

Aku mencuci pakaianku, bukankah dia dahulu yang memilihkan warna pakaian untukku? Aku mengepel rumah seorang diri, bukankah setiap batu bata yang tertindih satu demi satu adalah bagian dari tetes keringatnya, dan atap bagian dari upahku mendidik dan mengajar anak-anak sebaya kalian? Hari-hari kebersamaan itu sudah berlalu, dan matahari sudah meninggi bagiku, dalam usia dekade kedelapan ini, aku sering bermimpi di sini, tanpa kuundang – kehadiran anak lelaki kecil yang selalu memanggil-manggil namaku. Aku mengusiknya, dan ia pergi untuk datang kembali. Berkali-kali. Ia bukan dari salah seorang anak kalian, cucuku. Barangkali bunga-bunga mimpi, Nak.
Tadi malam terlewat dalam benakku, sajak Sanusi Pane: Alun membawa bidukku pelahan/Dalam kesunyian malam waktu/Tidak berpawang tidak berkawan/Entah ke mana aku tak tahu.

Kuikuti segala kegiatan arisan, kumasuki ruang-ruang kumpulan orang-orang manula, kuisi waktu luang membaca sesuatu yang bermakna, dan kadangkala orang memintaku memberi ceramah bagaimana menghadapi hari-hari tua. Tampaknya mereka gagap, dan sebagian dari antara mereka meninggalkan hidup ini secara mendadak begitu lepas dari jabatan sehari-hari. Kukatakan kepada mereka supaya jangan terlalu berharap kepada siapa-siapa pun, kecuali kepada Tuhan. Juga kepada anak-anak (jangan terkejut, Nak). Bukankah harta orangtua warisan anak-anak? Tetapi harta anak-anak bukanlah warisan bagi orang tua? Harta mereka untuk membentuk masa depan mereka, dan orang tua harus tegar melangkah sendiri sampai hari-hari keletihan menjadi tantangan tersendiri.

Sebagian dari mereka memahami ceramahku, sebagian lagi tidak mengerti dalam kantuk-kantuk yang tidak tertahan. Sebagian lagi optimistis dan melakukan sesuatu yang berlebih-lebihan seolah-olah mereka tidak memerlukan bantuan orang lain, sekalipun untuk menyeberangi jalan.

Ciri kanak-kanak tampak juga dalam diri orang yang lanjut usia, Nak. Percaya diri masih kuat, sementara tubuh tidak lagi mendukungnya. Sebagian lagi dalam suasana pesimisme, mengeluhkan keluarga yang tidak ada peduli. Kukatakan kepada mereka, jikalau bepergian ke mana-mana, pahamilah batas kemampuan tubuh. Aku sendiri berkunjung kepada kalian secara tiba-tiba. Seorang diri naik mobil travel. Tiba di kota tujuan, aku telepon kalian. Kalian menjemputku sambil mengomel mengapa tidak memberitahu agar kami menjemput? Menjemput ke rumah dan mengatur hari libur kami bersama Mama? Nak, itu yang kuhindari. Tidak ingin menyusahkan kalian. Contoh seperti ini tidak masuk akal kawan-kawan sebaya. Terlalu berisiko tinggi, kata mereka.

Reuni guru-guru, teman masa lalu. Amat menyenangkan. Membuat aku lupa waktu. Kawan-kawan yang telah dimakan usia, dengan tampang wajah keriput, sibuk membicarakan berapa anak dan cucu. Memang lucu, masa lalu dan masa depan muncul dalam reuni. Kawan yang sudah tiga puluh tahun tidak pernah bertemu, setelah bertemu lalu belajar kenal lagi. Bertukar kisah, bertukar rupa. Semuanya tenggelam dalam timbang waktu yang melaju, tanpa disadari – tahu-tahu ada kawan yang sudah lama tiada.

Canda-canda masa muda yang secara spontan bermunculan dalam gurauan gaya lanjut usia. Yah, masa lalu hadir pada masa kini, suka atau tidak suka. Inilah dunia orang yang manula. Tiba-tiba, setelah reuni usai, kami tinggal sendiri, menyadari bahwa perahu kehidupan telah berlayar jauh menyusuri lautan waktu tanpa tahu di mana berlabuh. Kehidupan memang gaung waktu. Salam, Nak.

Biarkan Mama dalam kesendirian. Kalian, jalani kehidupan dalam corak waktumu.

Salam untukmu, dan anak-anakmu!
__________________

Wilson Nadeak
, lahir tahun 1942. Telah menulis sejumlah buku kumpulan cerpen, puisi, prosa. Kini tinggal di Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...