Handry TM
/1/
Lereng Merapi, di bulan Oktober.
Sekolah Dasar itu menjadi satu-satunya bangunan tertinggi di antara satu dua rumah penduduk di bawahnya. Terletak di lereng perbukitan yang bertanah subur dan pertanian menghijau.
Keramaian terdengar riuh di sana, bahkan dari bawah pun tawa-canda anak-anak menyerupai para peri di balik awan. Meski tinggal di permukiman terpencil di lereng gunung yang dikenal kerap meletupkan lahar dan api, anak-anak itu tak bisa menyembunyikan rasa kebahagiaannya.
Terlebih sejak Bu Guru Ratri, satu dari sekian banyak ibu guru mereka, menjadi guru baru di sekolah dasar itu. Perempuan muda berwajah cantik alami tersebut seolah dikirim Tuhan melalui Malaikat ke tempat ini.
“Ibu adalah pengganti matahari di kala awan menebal dan menutupi cahaya yang sebenarnya,” kata Lintang, salah seorang siswi paling cerdas yang dimiliki sekolah ini.
Ratri tidak bisa berkata-kata. Hanya bisa menatap lekat mata muridnya, kemudian mengelus ubun-ubun rambut Lintang dengan rasa kagum yang sempurna.
“Siapakah yang mengajarimu pintar berkata-kata?”
Gigi Lintang menyeringai. Nampak putih rata, bersih dan memesona.
“Bapak saya.”
“Ha?”
“Iya, Bapak saya adalah laki-laki penjaga lereng di perbukitan ini. Di malam hari ia suka nembang dan berkata-kata dengan para lelembut penjaga Gunung Merapi. Ia laki-laki pemberani, suaranya indah jika bernyanyi.”
Dari kata-katanya itu, Lintang terlihat bangga sekali dengan bapak yang sedang dikisahkannya.
“Bu Guru Ratri…,” tiba-tiba Lintang bertanya seperti menekan.
“Iya, Nak?”
“Maukah Bu Guru Ratri bertemu Bapak saya?”
“Tentu saja, tapi untuk apa?”
“Biar Bapak saya tahu, perempuan seperti apa yang Lintang inginkan sebagai pengganti Ibu.”
Ratri harus hati-hati menanggapi kisah muridnya yang satu ini. Belum sempat ia bertanya lebih jauh, buru-buru Lintang sudah menyambung ceritanya sendiri,
“Ibu meninggal saat melahirkanku dulu.”
Itulah pertemuan pertama dengan Lintang yang membuat Ratri mulai sulit memejamkan mata.
Terhadap anak seperti Lintang, apakah ia harus mengajarkan satu ditambah satu sama dengan dua? Bagaimana kalau tiba-tiba ia bertanya, “Bu Guru Ratri, mengapa satu ditambah satu harus sama dengan dua?!” Membayangkan pertanyaan itu Ratri ngeri sendiri.
/2/
Kabut masih tersisa di kawasan lereng perbukitan ini. Menyerupai helai kapas yang sebagian menutup ruas jalan dan pohon-pohon di kiri kanannya. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang tinggal di gunung, kesibukan dimulai sejak matahari menampakkan diri.
Di manakah tanaman padi yang biasanya terlihat hijau di persawahan? Di mana pula sekumpulan petani yang berteriak riuh sembari menghalau burung dengan hantu-hantuan?
Hantu-hantuan itu terbuat dari karung goni atau kain lusuh yang dibentuk menyerupai tubuh manusia. Di atasnya dipasangi caping, jika digerakkan tali, sosok hantu-hantuan itu akan bergerak menakutkan.
Sasaran utama keberadaan hantu palsu itu adalah burung-burung sawah. Orang menyebutnya Bondol Peking, nama latin burung itu adalah Lonchura punctulata. Tubuhnya yang kecil mampu hinggap cepat di ujung padi. Meski gerakannya lincah ia takut pada gerakan si hantu palsu.
Jerih payah para petani dilakukan tanpa henti. Di hampir dua pertiga hari mereka menghalau si Bondol Peking di hamparan sawah yang tanahnya mulai mengering. Di manakah timbunan padi menguning setelah dipanen? Tidak banyak orang yang tahu, kecuali mereka menyaksikan sejumlah truk membawanya pergi dari lereng perbukitan ini.
Baru pukul 06.00 ketika Ratri tergopoh-gopoh memasuki halaman SD tempatnya mengajar.
“Bu Ratri, Lintang sudah berada di kelas,” kata Pak Sarto, tukang kebun sekolah.
“Lintang?“
Pak Sarto menganguk.
Buru-buru langkah Ratri diayun menuju ke kelas. Seluruh jendela ruangan sudah terbuka.
Pada celah jendela kedua, Ratri telah menangkap wajah Lintang yang masih membaca sebuah buku di mejanya.
Serta-merta wajah Lintang menoleh ke arahnya. Kedua mata perempuan berbeda usia itu beradu.
“Bu Guru Ratri…,”
Lintang pun memberi hormat atas kehadiran ibu gurunya dengan berdiri. Lintang mengangguk, ia terlihat gembira atas kehadiran Ratri.
“Benar, kan, kata-kata Lintang. Bu Guru Ratri akan menjadi pengganti cahaya matahari,” sambung Lintang tanpa ada rasa takut.
“Matahari akan memberimu cahaya penuh hari ini. Bu Guru Ratri tidak perlu menjadi pengganti matahari.”
“Di hati Lintang, kadang matahari tidak mencahayai kehidupan. Cahayanya redup sekali.”
Mata Lintang tidak berkedip, ia berani menatap Ratri sambil bibirnya setengah membuka.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Ibu tidak hanya rembulan dan matahari, Ibu adalah alam semesta. Bu Guru Ratri, hari ini anak-anak akan bertanya tentang ancaman gunung berapi. Bapak Kepala Sekolah mengumumkan, kemungkinan sekolah kita akan libur panjang untuk menghindari meletusnya Gunung Merapi.”
“Oh, iya? Kapan itu?”
“Ketika upacara bendera hari Senin. Bu Guru Ratri belum mengajar di sekolah ini.”
“Apa ruginya kalau kita libur panjang sambil menunggu letusan besar berhenti?”
“Tidak mau! Kami tetap akan tinggal di rumah-rumah, kami tidak akan meninggalkan sekolah.”
“Sangat membahayakan, Lintang. Batu-batu panas dan bergulung lahar dari puncak gunung akan menggulung desa-desa yang dilewati.”
“Tidak, Bu Guru! Kata Bapak saya, desa kami sudah ada yang menjaga. Kami akan tetap tinggal di rumah, hingga letusan Merapi mereda.”
“Tapi Lintang…”
“Tidak, Bu Guru Ratri!! Tidaaak!!!”
Kali ini Lintang berteriak keras sekali. Matanya nyalang dan tidak bersahabat. Ia tampak sedang marah karena ibu gurunya tidak berpihak padanya.
“Semua guru mendukung libur panjang itu. Hanya Bu Guru Ratri harapan terakhir kami.”
Perbincangan hampir tidak berkesudahan. Ketika air mata Ratri ikut menitik, ketika itu pula suasana di luar kelas mulai ramai. Kendaraan, sepeda dan obrolan guru serta murid sudah terdengar.
Menyadari hal itu, Lintang segera menyusut air matanya, demikian juga Ratri. Satu dua murid mulai masuk ke kelas ini. Mereka terkejut, mengapa Lintang dan Bu Guru Ratri sudah berada di kelas.
“Selamat pagi, Bu!” mereka memberi hormat saling bersahut-sahutan. Sambil kemudian mengambil duduk di tempat biasanya.
“Selamat pagi, anak-anak, Ibu izin ke kantor dulu,” Ratri bergegas meninggalkan kelas.
Air matanya masih tersisa.
/3/
Angin tiba-tiba menderu kencang dari arah gunung menuju ke tanah lapang. Anak-anak bersorak, tangan-tangan kecil itu melakukan gerakan seperti menghalau agar angin segera pergi dari tempat mereka berdiri.
Tanah lapang ini terletak persis di sebelah sekolah mereka, bersebelahan dengan pertanian sayur dan ubi-ubian. Posisinya agak ke atas dari gedung sekolah, sehingga menjadi kawasan tertinggi di lereng perbukitan. Agak ke bawah, hamparan sawah membentuk petak-petak padi yang mulai menguning.
“Bu Guru Ratriii!! Ayo menghalau angin, di sini anginnya kencang!!!” Seorang murid laki-laki berteriak. Yang lain ikut mengajak.
Ratri mengangkat dahi, matanya membelalak lebar. Ia menganggukkan. Nampaknya mereka memang sedang berbahagia. Itu terlihat dari raut muka mereka.
Tapi tidak terlihat Lintang di antara mereka. Murid pintar yang kemarin pagi berdebat panjang di kelas itu tidak bersama teman-temannya. Ia duduk menyudut, di bawah sebatang pohon kelapa. Sendiri. Tatapan matanya kosong, hanya sesekali ikut tersenyum ketika teman-temannya melakukan tingkah lucu di lapangan.
Setengah menyesal, Ratri segera menghampiri Lintang dengan langkahnya yang cepat.
Anak itu kurang begitu menyadari kalau Ibu Guru yang dijulukinya sebagai matahari mendekatinya.
“Anak cantik, kenapa hanya berdiam? Teman-temanmu sedang menghalau angin di tanah lapang,” tegur Ratri dan ikut merapat di bawah pohon kelapa.
Lintang menoleh ke Ratri, senyum kecutnya terulas.
“Saya sedang membayangkan sekolah ini libur panjang, kami mengungsi di tempat yang berpencaran.”
Ratri tidak bisa berkata-kata lagi. Rupanya perbincangan pagi kemarin masih membekas.
Dan Ratri adalah satu-satunya murid yang paling keras menentang rencana libur panjang sekolah.
“Sebelum libur panjang, kalian harus memanfaatkan suasana gembira ini,” rajuk Ratri.
Lintang menggeleng.
“Teman-teman tidak mengerti bagaimana rasanya sepi. Sekolah ini akan kosong jika libur panjang benar-benar terjadi. Mungkin lahar panas akan menghancurkan sekolah ini, dan mereka sulit sekolah lagi.”
“Belum akan terjadi, Lintang. Ayo, ikut bersenang-senang bersama mereka!”
“Bu Guru Ratri harus menjadi matahari bagi ketakutan anak gunung seperti saya.”
Keras kepala Lintang, di satu sisi memunculkan kekaguman, namun di sisi lain memakan hati luar biasa.
Ketika anak-anak menghambur ke tempat Ratri dan Lintang berdiri, keduanya tak berdaya apa-apa, karena anak-anak itu menariknya ke tengah tanah lapang.
“Ibu harus menggiring angin itu sampai pergi. Jika dibiarkan berputar-putar, ia akan jahat sekali,” kata salah satu dari murid-murid itu.
Mereka sudah tidak bisa dikendalikan. Anak-anak ingin melihat Ratri membuktikan janjinya.
“Ayo, Bu Guru!!” Salah satu dari mereka berseru, yang lain mengikuti.
Suara serempak anak-anak itu memunculkan irama gaduh yang enak didengar telinga.
Mereka seperti menyerukan sebuah koor yang rancak, kompak dan berirama. Sampai beberapa guru menyempatkan diri melongok ke arah tanah lapang itu. Apa yang sebenarnya terjadi, di sekolah ini belum pernah kekompakan antara guru dan murid seindah ini.
“Mari kita ke tengah!” Ratri memerintah.
“Horeee!!” Murid-murid membalas dengan sorak-sorai.
“Berdiri membentuk lingkaran. Ibu akan berada di tengah-tengah kalian.”
“Horeee!!”
Kebahagian serupa apakah yang sebenarnya sedang mereka rasakan, sampai anak-anak itu mengeluarkan air muka yang bercahaya. Lintang yang semula muram pun ikut tertawa lebar bersama teman-temannya.
“Seperti yang Ibu janjikan kemarin, hari ini kita akan menggiring angin.”
“Horeee!!”
“Angin itu tidak berumah, ia senantiasa berada ruang terbuka, ia sedang mencari di tempat mana harus singgah. Di saat cuaca buruk, sekumpulan angin bisa saja lenyap dari lereng-lereng gunung. Ia akan turun perlahan menuju ke pantai dan bertemu laut. Karena angin tidak berumah, maka ia akan bertualang di tempat mana dirinya aman.”
“Jadi…??” tanya Lintang seperti memprotes.
“Kita sudah menggiringnya turun hingga ke pantai.”
Ratri mengangguk, meyakinkan. Anak-anak kecewa, namun pikirannya mengelana.
“Selagi Gunung Merapi ini tidak memunculkan bencana, sekumpulan angin akan kembali menuju ke sini dan kita akan bersua.”
Semua diam, tapi hanya ada seorang murid sejak tadi wajahnya tegak menatap ibu gurunya.
“Tapi, Bu Guru Ratri….”
“Kenapa Lintang?”
“Saya tetap akan masuk sekolah seorang diri, meski sekolah diliburkan. Saya akan menyapa jagung dan padi, juga kebun ubi yang sedang tumbuh subur di sini.”
Ratri hanya bisa membalas tatapan Lintang dengan perasaan yang tidak berdaya.
_____________________
Handry TM selain pernah menjuarai berbagai sayembara cerita pendek, ia juga menulis novel dan skenario film. Cerpen-cerpennya antara lain, Cinta yang Dilupakan masuk 10 besar Sayembara Cerpen Nasional yang diselenggarakan Universitas Padang dan Daikin University Australia (tahun 2000), “Pasar Gang Baroe” terpilih 10 besar Lomba Cerpen Nasional yang diselenggarakan Yayasan Obor (2014) dan ” Di Bawah Kaki Gunung Pesagi” masuk 10 besar Sayembara Cerpen Nasional Krakatau Awards 2018.
/1/
Lereng Merapi, di bulan Oktober.
Sekolah Dasar itu menjadi satu-satunya bangunan tertinggi di antara satu dua rumah penduduk di bawahnya. Terletak di lereng perbukitan yang bertanah subur dan pertanian menghijau.
Keramaian terdengar riuh di sana, bahkan dari bawah pun tawa-canda anak-anak menyerupai para peri di balik awan. Meski tinggal di permukiman terpencil di lereng gunung yang dikenal kerap meletupkan lahar dan api, anak-anak itu tak bisa menyembunyikan rasa kebahagiaannya.
Terlebih sejak Bu Guru Ratri, satu dari sekian banyak ibu guru mereka, menjadi guru baru di sekolah dasar itu. Perempuan muda berwajah cantik alami tersebut seolah dikirim Tuhan melalui Malaikat ke tempat ini.
“Ibu adalah pengganti matahari di kala awan menebal dan menutupi cahaya yang sebenarnya,” kata Lintang, salah seorang siswi paling cerdas yang dimiliki sekolah ini.
Ratri tidak bisa berkata-kata. Hanya bisa menatap lekat mata muridnya, kemudian mengelus ubun-ubun rambut Lintang dengan rasa kagum yang sempurna.
“Siapakah yang mengajarimu pintar berkata-kata?”
Gigi Lintang menyeringai. Nampak putih rata, bersih dan memesona.
“Bapak saya.”
“Ha?”
“Iya, Bapak saya adalah laki-laki penjaga lereng di perbukitan ini. Di malam hari ia suka nembang dan berkata-kata dengan para lelembut penjaga Gunung Merapi. Ia laki-laki pemberani, suaranya indah jika bernyanyi.”
Dari kata-katanya itu, Lintang terlihat bangga sekali dengan bapak yang sedang dikisahkannya.
“Bu Guru Ratri…,” tiba-tiba Lintang bertanya seperti menekan.
“Iya, Nak?”
“Maukah Bu Guru Ratri bertemu Bapak saya?”
“Tentu saja, tapi untuk apa?”
“Biar Bapak saya tahu, perempuan seperti apa yang Lintang inginkan sebagai pengganti Ibu.”
Ratri harus hati-hati menanggapi kisah muridnya yang satu ini. Belum sempat ia bertanya lebih jauh, buru-buru Lintang sudah menyambung ceritanya sendiri,
“Ibu meninggal saat melahirkanku dulu.”
Itulah pertemuan pertama dengan Lintang yang membuat Ratri mulai sulit memejamkan mata.
Terhadap anak seperti Lintang, apakah ia harus mengajarkan satu ditambah satu sama dengan dua? Bagaimana kalau tiba-tiba ia bertanya, “Bu Guru Ratri, mengapa satu ditambah satu harus sama dengan dua?!” Membayangkan pertanyaan itu Ratri ngeri sendiri.
/2/
Kabut masih tersisa di kawasan lereng perbukitan ini. Menyerupai helai kapas yang sebagian menutup ruas jalan dan pohon-pohon di kiri kanannya. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang tinggal di gunung, kesibukan dimulai sejak matahari menampakkan diri.
Di manakah tanaman padi yang biasanya terlihat hijau di persawahan? Di mana pula sekumpulan petani yang berteriak riuh sembari menghalau burung dengan hantu-hantuan?
Hantu-hantuan itu terbuat dari karung goni atau kain lusuh yang dibentuk menyerupai tubuh manusia. Di atasnya dipasangi caping, jika digerakkan tali, sosok hantu-hantuan itu akan bergerak menakutkan.
Sasaran utama keberadaan hantu palsu itu adalah burung-burung sawah. Orang menyebutnya Bondol Peking, nama latin burung itu adalah Lonchura punctulata. Tubuhnya yang kecil mampu hinggap cepat di ujung padi. Meski gerakannya lincah ia takut pada gerakan si hantu palsu.
Jerih payah para petani dilakukan tanpa henti. Di hampir dua pertiga hari mereka menghalau si Bondol Peking di hamparan sawah yang tanahnya mulai mengering. Di manakah timbunan padi menguning setelah dipanen? Tidak banyak orang yang tahu, kecuali mereka menyaksikan sejumlah truk membawanya pergi dari lereng perbukitan ini.
Baru pukul 06.00 ketika Ratri tergopoh-gopoh memasuki halaman SD tempatnya mengajar.
“Bu Ratri, Lintang sudah berada di kelas,” kata Pak Sarto, tukang kebun sekolah.
“Lintang?“
Pak Sarto menganguk.
Buru-buru langkah Ratri diayun menuju ke kelas. Seluruh jendela ruangan sudah terbuka.
Pada celah jendela kedua, Ratri telah menangkap wajah Lintang yang masih membaca sebuah buku di mejanya.
Serta-merta wajah Lintang menoleh ke arahnya. Kedua mata perempuan berbeda usia itu beradu.
“Bu Guru Ratri…,”
Lintang pun memberi hormat atas kehadiran ibu gurunya dengan berdiri. Lintang mengangguk, ia terlihat gembira atas kehadiran Ratri.
“Benar, kan, kata-kata Lintang. Bu Guru Ratri akan menjadi pengganti cahaya matahari,” sambung Lintang tanpa ada rasa takut.
“Matahari akan memberimu cahaya penuh hari ini. Bu Guru Ratri tidak perlu menjadi pengganti matahari.”
“Di hati Lintang, kadang matahari tidak mencahayai kehidupan. Cahayanya redup sekali.”
Mata Lintang tidak berkedip, ia berani menatap Ratri sambil bibirnya setengah membuka.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Ibu tidak hanya rembulan dan matahari, Ibu adalah alam semesta. Bu Guru Ratri, hari ini anak-anak akan bertanya tentang ancaman gunung berapi. Bapak Kepala Sekolah mengumumkan, kemungkinan sekolah kita akan libur panjang untuk menghindari meletusnya Gunung Merapi.”
“Oh, iya? Kapan itu?”
“Ketika upacara bendera hari Senin. Bu Guru Ratri belum mengajar di sekolah ini.”
“Apa ruginya kalau kita libur panjang sambil menunggu letusan besar berhenti?”
“Tidak mau! Kami tetap akan tinggal di rumah-rumah, kami tidak akan meninggalkan sekolah.”
“Sangat membahayakan, Lintang. Batu-batu panas dan bergulung lahar dari puncak gunung akan menggulung desa-desa yang dilewati.”
“Tidak, Bu Guru! Kata Bapak saya, desa kami sudah ada yang menjaga. Kami akan tetap tinggal di rumah, hingga letusan Merapi mereda.”
“Tapi Lintang…”
“Tidak, Bu Guru Ratri!! Tidaaak!!!”
Kali ini Lintang berteriak keras sekali. Matanya nyalang dan tidak bersahabat. Ia tampak sedang marah karena ibu gurunya tidak berpihak padanya.
“Semua guru mendukung libur panjang itu. Hanya Bu Guru Ratri harapan terakhir kami.”
Perbincangan hampir tidak berkesudahan. Ketika air mata Ratri ikut menitik, ketika itu pula suasana di luar kelas mulai ramai. Kendaraan, sepeda dan obrolan guru serta murid sudah terdengar.
Menyadari hal itu, Lintang segera menyusut air matanya, demikian juga Ratri. Satu dua murid mulai masuk ke kelas ini. Mereka terkejut, mengapa Lintang dan Bu Guru Ratri sudah berada di kelas.
“Selamat pagi, Bu!” mereka memberi hormat saling bersahut-sahutan. Sambil kemudian mengambil duduk di tempat biasanya.
“Selamat pagi, anak-anak, Ibu izin ke kantor dulu,” Ratri bergegas meninggalkan kelas.
Air matanya masih tersisa.
/3/
Angin tiba-tiba menderu kencang dari arah gunung menuju ke tanah lapang. Anak-anak bersorak, tangan-tangan kecil itu melakukan gerakan seperti menghalau agar angin segera pergi dari tempat mereka berdiri.
Tanah lapang ini terletak persis di sebelah sekolah mereka, bersebelahan dengan pertanian sayur dan ubi-ubian. Posisinya agak ke atas dari gedung sekolah, sehingga menjadi kawasan tertinggi di lereng perbukitan. Agak ke bawah, hamparan sawah membentuk petak-petak padi yang mulai menguning.
“Bu Guru Ratriii!! Ayo menghalau angin, di sini anginnya kencang!!!” Seorang murid laki-laki berteriak. Yang lain ikut mengajak.
Ratri mengangkat dahi, matanya membelalak lebar. Ia menganggukkan. Nampaknya mereka memang sedang berbahagia. Itu terlihat dari raut muka mereka.
Tapi tidak terlihat Lintang di antara mereka. Murid pintar yang kemarin pagi berdebat panjang di kelas itu tidak bersama teman-temannya. Ia duduk menyudut, di bawah sebatang pohon kelapa. Sendiri. Tatapan matanya kosong, hanya sesekali ikut tersenyum ketika teman-temannya melakukan tingkah lucu di lapangan.
Setengah menyesal, Ratri segera menghampiri Lintang dengan langkahnya yang cepat.
Anak itu kurang begitu menyadari kalau Ibu Guru yang dijulukinya sebagai matahari mendekatinya.
“Anak cantik, kenapa hanya berdiam? Teman-temanmu sedang menghalau angin di tanah lapang,” tegur Ratri dan ikut merapat di bawah pohon kelapa.
Lintang menoleh ke Ratri, senyum kecutnya terulas.
“Saya sedang membayangkan sekolah ini libur panjang, kami mengungsi di tempat yang berpencaran.”
Ratri tidak bisa berkata-kata lagi. Rupanya perbincangan pagi kemarin masih membekas.
Dan Ratri adalah satu-satunya murid yang paling keras menentang rencana libur panjang sekolah.
“Sebelum libur panjang, kalian harus memanfaatkan suasana gembira ini,” rajuk Ratri.
Lintang menggeleng.
“Teman-teman tidak mengerti bagaimana rasanya sepi. Sekolah ini akan kosong jika libur panjang benar-benar terjadi. Mungkin lahar panas akan menghancurkan sekolah ini, dan mereka sulit sekolah lagi.”
“Belum akan terjadi, Lintang. Ayo, ikut bersenang-senang bersama mereka!”
“Bu Guru Ratri harus menjadi matahari bagi ketakutan anak gunung seperti saya.”
Keras kepala Lintang, di satu sisi memunculkan kekaguman, namun di sisi lain memakan hati luar biasa.
Ketika anak-anak menghambur ke tempat Ratri dan Lintang berdiri, keduanya tak berdaya apa-apa, karena anak-anak itu menariknya ke tengah tanah lapang.
“Ibu harus menggiring angin itu sampai pergi. Jika dibiarkan berputar-putar, ia akan jahat sekali,” kata salah satu dari murid-murid itu.
Mereka sudah tidak bisa dikendalikan. Anak-anak ingin melihat Ratri membuktikan janjinya.
“Ayo, Bu Guru!!” Salah satu dari mereka berseru, yang lain mengikuti.
Suara serempak anak-anak itu memunculkan irama gaduh yang enak didengar telinga.
Mereka seperti menyerukan sebuah koor yang rancak, kompak dan berirama. Sampai beberapa guru menyempatkan diri melongok ke arah tanah lapang itu. Apa yang sebenarnya terjadi, di sekolah ini belum pernah kekompakan antara guru dan murid seindah ini.
“Mari kita ke tengah!” Ratri memerintah.
“Horeee!!” Murid-murid membalas dengan sorak-sorai.
“Berdiri membentuk lingkaran. Ibu akan berada di tengah-tengah kalian.”
“Horeee!!”
Kebahagian serupa apakah yang sebenarnya sedang mereka rasakan, sampai anak-anak itu mengeluarkan air muka yang bercahaya. Lintang yang semula muram pun ikut tertawa lebar bersama teman-temannya.
“Seperti yang Ibu janjikan kemarin, hari ini kita akan menggiring angin.”
“Horeee!!”
“Angin itu tidak berumah, ia senantiasa berada ruang terbuka, ia sedang mencari di tempat mana harus singgah. Di saat cuaca buruk, sekumpulan angin bisa saja lenyap dari lereng-lereng gunung. Ia akan turun perlahan menuju ke pantai dan bertemu laut. Karena angin tidak berumah, maka ia akan bertualang di tempat mana dirinya aman.”
“Jadi…??” tanya Lintang seperti memprotes.
“Kita sudah menggiringnya turun hingga ke pantai.”
Ratri mengangguk, meyakinkan. Anak-anak kecewa, namun pikirannya mengelana.
“Selagi Gunung Merapi ini tidak memunculkan bencana, sekumpulan angin akan kembali menuju ke sini dan kita akan bersua.”
Semua diam, tapi hanya ada seorang murid sejak tadi wajahnya tegak menatap ibu gurunya.
“Tapi, Bu Guru Ratri….”
“Kenapa Lintang?”
“Saya tetap akan masuk sekolah seorang diri, meski sekolah diliburkan. Saya akan menyapa jagung dan padi, juga kebun ubi yang sedang tumbuh subur di sini.”
Ratri hanya bisa membalas tatapan Lintang dengan perasaan yang tidak berdaya.
_____________________
Handry TM selain pernah menjuarai berbagai sayembara cerita pendek, ia juga menulis novel dan skenario film. Cerpen-cerpennya antara lain, Cinta yang Dilupakan masuk 10 besar Sayembara Cerpen Nasional yang diselenggarakan Universitas Padang dan Daikin University Australia (tahun 2000), “Pasar Gang Baroe” terpilih 10 besar Lomba Cerpen Nasional yang diselenggarakan Yayasan Obor (2014) dan ” Di Bawah Kaki Gunung Pesagi” masuk 10 besar Sayembara Cerpen Nasional Krakatau Awards 2018.
Komentar
Posting Komentar