Handry TM /1/ Lereng Merapi, di bulan Oktober. Sekolah Dasar itu menjadi satu-satunya bangunan tertinggi di antara satu dua rumah penduduk di bawahnya. Terletak di lereng perbukitan yang bertanah subur dan pertanian menghijau. Keramaian terdengar riuh di sana, bahkan dari bawah pun tawa-canda anak-anak menyerupai para peri di balik awan. Meski tinggal di permukiman terpencil di lereng gunung yang dikenal kerap meletupkan lahar dan api, anak-anak itu tak bisa menyembunyikan rasa kebahagiaannya. Terlebih sejak Bu Guru Ratri, satu dari sekian banyak ibu guru mereka, menjadi guru baru di sekolah dasar itu. Perempuan muda berwajah cantik alami tersebut seolah dikirim Tuhan melalui Malaikat ke tempat ini. “Ibu adalah pengganti matahari di kala awan menebal dan menutupi cahaya yang sebenarnya,” kata Lintang, salah seorang siswi paling cerdas yang dimiliki sekolah ini. Ratri tidak bisa berkata-kata. Hanya bisa menatap lekat mata muridnya, kemudian mengelus ubun-ubun rambut Lintang dengan ra...
Wilson Nadeak Agak mengejutkan surat Mama. Mungkin karena masa mudanya ia guru bahasa Indonesia, renungan dan kenangan masa lampau mencuat kembali dalam benaknya. Usia pada dekade kedelapan, membuatnya cerah kembali pada masa lampau. Bahkan ia mengingat masa lampau lebih cerah daripada masa kini. Kejutan dalam surat Mama dimulai dengan cukilan puisi Sitor Situmorang yang rada “diplesetkan”: Jika tiba musimmu nanti/jemputlah Ibunda di rumah sendiri. Aku segera menelepon Mama. “Memangnya Mama di mana sekarang?” “Ya, Mama ada di rumah sendiri.” “Maksud Mama?” “Ya, Mama ada di sini.” Aku terhenyak. Diam agak lama. “Mengapa diam?” tanya Mama. “Aku tidak mengerti, Ma.” “Mama ada di rumah sendiri.” “Bukankah Mama ada bersama abang, di Jerman?” tanyaku. Kini Mama yang diam. Lama tidak menjawab. “Mama sudah ada lagi di Bandung?” tanyaku. “Sejak satu minggu yang lalu, Nak.” “Mama langsung dari bandara ke Bandung?” “Prita menjemput Mama dan minta supaya langsung saja ke Bandung. Dengan bus.” Ak...